Di saat virtualitas merajalela dengan wacana Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0, kita semua disentakkan dengan pandemi Covid-19. Kesadaran kolektif kita mengalami disrupsi oleh fakta bahwa di tengah-tengah perkembangan pesat berbagai teknologi yang membuat kita sebagai manusia merasa semakin "menjiwa", "merohani", dan "memvirtual" (lihatlah ungkapan-ungkapan selebrasi We Are Virtual beberapa tahun terakhir ini), orang seperti diminta oleh alam semesta untuk kembali mengenali badannya, praktik-praktiknya, serta batas-batasnya.
Pandemi ini mengingatkan bahwa kita adalah makhluk yang berbadan dan makhluk yang meruang. Protokol kesehatan meminta kita untuk menjaga jarak. Bukan jarak psikologis, bukan pula jarak sosial, melainkan jarak fisik.
Ketika Covid-19 mengancam kehidupan dan kita didera kerinduan pergi keluar rumah, sesungguhnya kita sangat mengharapkan berada di antara orang-orang di sekitar secara jasmani. Ya, sudah saatnya kita menyadari arti penting hakikat manusia sebagai makhluk berbadan. Kesadaran yang bagi sebagian orang biasanya muncul tatkala mereka sakit atau menjelang kematian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyadari arti penting badan bukan dalam arti menuruti hasrat-hasratnya secara buta, melainkan mengingat hakikatnya dalam kemanusiaan yang beradab, termasuk memahami arti pentingnya memelihara "badan bumi" ini dari praktik-praktik badan kita yang merusaknya.
Makin Diatur, Makin Bebas
Meskipun 'badan saya' tidak sama dengan 'saya', namun badan saya jelas dibutuhkan agar saya dapat berada di dunia. Demikian dinyatakan dalam berbagai bacaan filosofis tentang badan (misalnya, Louis Leahy, 2001).
Kenyataan tersebut juga yang menjelaskan, mengapa kita jauh lebih dapat menikmati alam fisis ketimbang menikmati representasinya melalui teks, foto, atau video. Bahkan realitas berimbuh (augmented reality) pun --setidaknya dalam statusnya saat ini-- masih memiliki problem pengalaman berinteraksi, di mana realitas tersebut "does not satisfy the human criteria for personhood." (Mel Slater, dkk, 2019).
Hal itu karena hanya melalui badan kita benar-benar bebas mengambil sudut pandang atau perspektif. Badanlah yang memposisikan mata. Sedangkan, mata dengan segala perilakunya (seperti melirik, meninggi, menyipit, menatap, membelalak, mengerlip, bahkan berpaling) menentukan lapangan pandang yang mau kita alami atau kita olah dengan badan, sesuai dengan kepentingan kita untuk jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Sudut pandang merupakan hal yang bersifat sangat subjektif, sangat pribadi, melibatkan segenap pengalaman kesejarahan dan kebudayaan yang terakumulasi pada badan kita, sehingga menghasilkan perasaan unik dalam konteks spasial.
Fakta bahwa kita bebas mengambil perspektif dengan badan berkonsekuensi bahwa kita memiliki kebebasan untuk mengatur badan kita, termasuk dalam upaya menyesuaikan diri dengan protokol atau tata tertib kesehatan dalam lahan publik yang kini terbatas (misalnya, kita diharapkan mengisi hanya 50% dari ruang yang tersedia).
Dalam konteks itu, ilmu keolahragaan dan arsitektur menjadi semakin mendesak memainkan perannya. Olahraga, atau olah badan, bermakna mendisiplinkan badan. Di samping olahraga, arsitektur juga mendisiplinkan badan dalam keruangan. Sebuah kafe di Jerman memberikan topik berbaling-baling sebagai wujud arsitektural yang dikenakan pada badan perorangan untuk menjaga jarak walau dengan citarasa humor.
Usaha-usaha masyarakat lokal seperti terjadi di Kediri dengan memasang pembatas jalan dengan 'keranda dan pocong' juga merupakan kebijaksanaan lokal bernuansa arsitektural. Di Bali, terdapat arsitektur Tri Angga yang berpotensi memotong rantai penyebaran Covid-19.
Jelas bahwa para olahragawan dan arsitek dinantikan berbagai gagasannya untuk "merayakan kembali" spasialitas manusia memasuki era adaptasi kebiasaan baru (AKB).
Apabila kita kembali pada kesadaran berbadan, maka mengatur badan sesuai tata tertib kesehatan tidak akan menjadi suatu beban dan keterpaksaan --bukan lagi soal "patuh" atau "tidak patuh". Justru dengan meregulasi atau mengatur badan kita menjadi semakin bebas; bukan hanya bebas dari potensi terinfeksi oleh virus, melainkan juga bebas dalam mengaktualkan solidaritas sosial kita dengan sesama yang berada dalam berbagai ruang tempat kita berada bersama.
Perkecil Jarak Psikologis-Spasial
Ilmu psikologi tidak kalah penting. Sebuah studi berjudul Acceptance and Penetration of Bitcoin: The Role of Psychological Distance and National Culture (Abraham, dkk, 2019) sudah memperkenalkan istilah "social distancing" dan "physical distancing" jauh sebelum istilah ini populer pada masa pandemi.
Studi itu berfokus pada hal-hal yang mempengaruhi orang menerima atau menolak Bitcoin dan blockchain, dan istilah-istilah tersebut (jarak fisik, jarak sosial) digunakan dalam perspektif psikologi berdasarkan Construal-level Theory of Psychological Distance dari Trope dan Liberman (2010).
Dalam studi itu, jarak spasial atau fisik (spatial/physical distance) yang rendah merupakan jarak sejauh mana Bitcoin dan blockchain dipandang sebagai konkret. Sebaliknya, jarak spasial yang tinggi berarti Bitcoin dipandang sebagai sesuatu yang abstrak.
Jarak sosial (social distance) yang rendah merupakan jarak sejauh mana Bitcoin dan blockchain dipandang sebagai relevan dalam kehidupan keseharian. Sebaliknya, jarak sosial yang tinggi berarti Bitcoin dipandang sebagai tidak relevan secara sosial.
Studi tersebut menemukan hubungan terbalik, yakni bahwa semakin tinggi jarak spasial atau jarak sosial seseorang terhadap Bitcoin dan blockchain, maka semakin rendah penerimaan dan niat untuk menggunakannya.
Dalam konteks pandemi Covid-19, hasil studi tersebut memiliki makna tersendiri. Secara psikologis, masyarakat kita perlu memiliki jarak spasial yang rendah (bukan tinggi) terhadap virus ini agar dapat mempersepsikan dan menerima realitas Covid-19 sebagai bahaya yang nyata sehingga tidak diremehkan.
Upaya-upaya para peneliti seperti membuat visualisasi dampak Covid1-9 terhadap paru-paru dapat dipandang sebagai implementasi dari hasil studi tentang jarak spasial.
Di samping itu, masyarakat kita juga perlu memiliki jarak sosial yang rendah (bukan tinggi) terhadap virus ini. Bagaimana implementasinya?
Saya pernah menonton di televisi pada masa PSBB (Jakarta saat ini masih masa PSBB, walau namanya PSBB Transisi) masyarakat meramaikan toko mainan tanpa memperhatikan protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan memakai masker. Ketika ditanya seorang peliput mengenai potensi penularan, seorang warga yang membawa serta anak-anaknya menjawab, "Tidak apa-apa. Kan setahun sekali."
Hal itu merupakan contoh representatif bahwa masyarakat masih memiliki jarak sosial yang tinggi terhadap virus ini. Virus ini tidak relevan secara sosial dalam kehidupan mereka yang belum terinfeksi.
Gambaran ilmiah dalam bahasa yang membumi bahwa kehidupan sosial-ekonomi kita bersama (jadi, "termasuk saya") akan ambruk dua kali lipat bahkan lebih, tidak lama lagi, apabila protokol kesehatan tidak "membadan", dalam arti diterapkan dalam diri orang dan komunitasnya, perlu terus-menerus disosialisasikan kepada warga melalui berbagai media massa arus utama. Warga mungkin melihat hal tersebut masih "jauh". Yang ada di "depan mata" adalah keinginan dan hasrat-hasratnya.
Saya melihat bahwa gambaran-gambaran ilmiah tersebut sudah tersedia, namun baru pada tingkat komunikasi "elitis", antarekonom, ilmuwan sosial, atau antarjurnalis dan ilmuwan, belum sampai pada bahasa-bahasa yang lebih sederhana seperti dalam iklan layanan masyarakat, komik, stand-up comedy, dan sebagainya.
Berdasarkan psikologi spasialitas, sudah saatnya untuk kita semakin "agresif" dalam memperkecil jarak psikologi spasial, dengan menggaungkan imaji-imaji tersebut di era adaptasi kebiasaan baru --sebuah era yang mau membangkitkan perekonomian bangsa sambil mewaspadai isu kesehatan. Jadi, bukan hanya menggiatkan imbauan untuk jaga jarak, cuci tangan dengan air yang mengalir, serta mengenakan masker.
Dr. Juneman Abraham psikolog sosial Universitas Bina Nusantara