Di media sosial, banyak meme berseliweran: seorang yang menyeret tas besar tertulis "sertifikat webinar". Begitulah, pandemi telah membawa habitus baru, belajar dan seminar secara online. Hampir setiap hari, di akun media sosial kita terbagikan kegiatan-kegiatan online, mulai seminar, pelatihan, kursus, best practice, konferensi sampai kiat jitu, dari yang free sampai yang berbayar. Belum lagi portal video semisal Youtube yang memanjakan kita dengan anugerah "ilmu" yang luar biasa.
Hal itu tentu saja menjadi corak baru cara belajar kita, "manusia lulusan pandemi". Seperti teman saya yang sudah mengantongi dua kodi sertifikat, yang hal tersebut bisa jadi tidak akan terjadi dalam kondisi normal, seperti sebelum masa pandemi dulu. Kemudahan ini tentu saja harus dimanfaatkan, baik secara substantif, akademik, maupun ekonomis. Substantif, karena kita dapat ilmu dengan cara yang sangat mudah: cukup siapkan kuota dan gawai pendukung.
Selanjutnya Anda bisa menikmati, sambil rebahan, duduk, kerja, atau ngopi. Akademik, karena kita dapat sertifikat sebagai pengakuan bahwa kita telah "menguasai" ilmu yang disampaikan dalam kegiatan online tersebut. Dan ekonomis, karena memanfaatkan prinsip ekonomi: sumber daya kecil untuk hasil yang besar.
Saya pun bertanya, "Kok bisa dapat sertifikat sebanyak itu?" Sampai detik ini, saya hanya dapat satu sertifikat dari kegiatan online. Nah, dari sinilah saya mendapat "ilmu" tentang kreativitas para pemburu sertifikat ini. Ternyata tidak semuanya yang ikut kegiatan online tersebut mengikuti kegiatan secara penuh, dari awal sampai akhir. Cukup menulis form registrasi, maka kita akan mendapat sertifikat.
Belakangan, panitia penyelenggara lebih canggih. Form registrasi dibagikan di aplikasi Zoom saat acara akan berakhir. Harapannya, peserta akan ikut bergabung di aplikasi dan istikamah hingga akhir acara. Mudah saja, masuk aplikasi ketika acara mau berakhir. Dapat deh!
Belakangan lagi, panitia semakin canggih: form dibagikan pada awal dan akhir, masing-masing dengan password yang berbeda. Namun, kreativitas itu tanpa batas, tetap saja bisa diatasi. Bandingkan dengan tingkah polah saya ketika mengikuti acara online. Gabung, mendengarkan, bosan dan keluar sebelum "konsumsi" form sertifikat dibagikan. Atau: gabung, menyimak dengan serius dan seksama, selesai dan lupa mengisi form sertifikat.
Lagi: gabung, menyimak, anak rewel, meninggalkan gawai, dan terang saja tidak sempat mengisi form. Atau lagi: malas mengikuti acara online, yang jelas saja tidak mendapatkan sertifikat. Terlepas dari prasangka buruk saya tersebut, yang jelas para pemburu sertifikat online ini adalah sebuah fenomena. Mereka ada karena ada pihak yang butuh mereka: panitia. Bagaimanapun panitia akan merasa berhasil jika peserta yang ikut dalam kegiatan online meluber.
Ilustrasi sederhana: coba bandingkan, ada dua seminar, yang satu menyediakan sertifikat, satu lagi tidak bersertifikat. Jumlah audiensnya akan sangat berbeda. Akhirnya, hampir semua kegiatan online saat ini bisa dipastikan menyediakan sertifikat. Faktanya, untuk menyediakan sertifikat bukanlah sesuatu yang repot dan berbiaya tinggi. Hanya butuh ketrampilan "standar" untuk bisa menggunakan aplikasi yang bisa mengintegrasikan Google Form dengan lembar desain sertifikat. Murah.
Sampai sini, tidak heran ketika acara berlangsung, di ruang-ruang percakapan aplikasi selalu saja ada yang menanyakan tentang sertifikat. Gemuruh di ruang percakapan tidak jauh dari seputar bahan/materi dan sertifikat. Tentu saja mereka ini tidak semuanya -- untuk tidak menyebut oknum. Orang baik dan serius tetap saja selalu ada.
Di era sertifikasi ini, tentu saja sertifikat itu sangat berarti. Dokumen yang bisa menunjukkan bahwa kita pernah mengikuti kegiatan --tidak ada yang lebih valid dari sertifikat. Seberapa serius dan konsen Anda dalam sebuah kegiatan atau acara, suatu saat tidak akan berarti jika tidak terekam melalui sertifikat. Sebagai bukti keterlibatan acara, sertifikat ini nantinya bisa digunakan untuk keperluan administrasi, mulai mengisi biodata diri sampai dokumen kenaikan pangkat.
Bagaimanapun, para pemburu sertifikat ini adalah pahlawan pada era pandemi. Berkat merekalah kegiatan-kegiatan online bisa sukses. Atas eksistensi merekalah para panitia mau merepotkan diri untuk inisiasi kegiatan online, yang terkadang tidak mendatangkan nilai ekonomi. Dan karena merekalah, gegap gempita sharing pengetahuan dan diseminasi ilmu bisa berjalan dengan semakin kreatif dan inovatif.
Jikalau saya belum bisa menjadi pemburu sertifikat yang baik, anggap saja tulisan ini karena rasa iri saya kepada mereka.
Muhamad Mustaqim dosen IAIN Kudus
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini