Saya mengingat rumah Sapardi Djoko Damono beralamat di puisi. Rumah itu berada di jalan yang kita sebut jalan karena ia harus jalan. Bentuknya sederhana saja, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api. Namun rumah itu juga tabah layaknya hujan di bulan Juni. Ingatan ini mendapat revisi pada Minggu, 19 Juli 2020, pagi: Sapardi Djoko Damono telah berpulang ke rumah Sang Hyang Widi.
Tiada berapa lama setelah kabar diterima, satu demi satu teman saya membuat status WA. Ada yang mengunggah potret Sapardi dan ada pula yang memotret puisinya. Intinya sama, teman-teman mengucapkan selamat jalan dan mengirimkan doa.
Kabar pulangnya Sapardi ke rumah Sang Hyang Widi artinya juga kepindahan rumahnya yang ke sekian kali. Kita mengerti bahwa sejak kecil, Sapardi telah sering berpindah-pindah rumah. Sapardi lahir di rumah kakeknya, di Kampung Baturono, Solo pada 20 Maret 1940. Sapardi dan orangtuanya tinggal di rumah itu selama tiga tahun. Setelah itu, mereka memutuskan pindah dan mengontrak rumah di Kampung Dhawung sekitar dua tahun.
Pada tahun 1945, mereka kembali berpindah ke Kampung Ngadijayan, menumpang di rumah kakek Sapardi dari garis ibu (Bakdi Soemanto, 2006). Di rumah ketiga ini, Sapardi dan keluarganya menetap cukup lama, sekitar 12 tahun. Maka tak heran kalau rumah ini cukup melekat di hati Sapardi. Hal ini terlihat dalam puisi-puisi awal Sapardi yang terarsip dalam buku Manuskrip Sajak (2017). Simaklah puisi berjudul Dari Hadiwidjajan Dahulu:
Tak pernah kupikir akan sampai sedjauh itu/ Rasa pisah antara keluarga antara orang jang tjinta/ Hari-hari terakir kita bertjakap, paling dekat/ Lalu berpisah sebab masing-masing mesti pindah tempat.
Di Ngadijayan, keluarga Sapardi memang tidak numpang sendiri. Mereka tinggal bersama 20 keluarga lainnya yang turut magersari di rumah kakeknya yang luas. Rumah itu hanya berjarak 500 meter dari rumah sastrawan WS Rendra, B Sutiman, Bakdi Soemanto, dan Sugiarta Sriwibawa. Sekian lama menetap, keluarga Sapardi harus pindah rumah lagi. Kali ini ke wilayah utara Kota Solo, tepatnya di Kampung Komplang yang sepi dan tidak banyak hiburan seperti ketika di Ngadijayan.
Meski demikian, rumah ini penting diingat sebagai rumah kelahiran puisi-puisi awal Sapardi. Seperti yang dikatakan Sapardi pada Bakdi Soemanto bahwa suasana di Komplang yang sepi membuatnya lebih banyak tinggal di rumah untuk membaca dan menulis. Tentang rumah ini Sapardi juga mengabadikannya dalam sebuah puisi. Kita kutip satu bait puisi berjudul Di Rumah Tua yang terarsip di buku Manuskrip Sajak:
Rumah tua jang baring lesu meminggir kota/ Kusua disana kedamaian bergajut pada tjita-tjita/ Singgahlah didada omong ibu bapa malam demi malam/ Dunia jang kukenal sedari masa sekolah rendah.
Puisi demi puisi bertema rumah akhirnya lahir dari tangan Sapardi. Kita menduga saja bahwa masa lalu yang akrab dengan peristiwa berpindah rumah menjadikan Sapardi memiliki makna mendalam perihal rumah. Bahkan, imaji rumah kembali Sapardi gunakan tatkala menulis puisi tentang penyair di Majalah Basis edisi Juli 1966. Kita simak:
Aku telah terbuka perlahan2, seperti sebuah pintu, bagimu/ satu persatu aku terbuka, bagai daun-daun pintu,/ hingga achirnja tak ada apa2 lagi jang bernama rahasia; begitu sederhana: samasekali terbuka,/ dan engkau akan selalu mendjumpai dirimu sendiri disana.
Puisi ini mungkin petunjuk untuk memasuki jagat puisi Sapardi.
Pindah Lagi
Dalam perjalanan hidupnya, Sapardi telah mengalami perpindahan rumah lagi, seperti di Jogja dan di Jakarta. Sekian puluh tahun tinggal di Jakarta dan menulis puisi tak membuat Sapardi bosan dengan imaji rumah. Di buku Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang (2020) karya kolaborasinya dengan Rintik Sedu, Sapardi memberikan porsi yang cukup untuk kehadiran imaji rumah. Bahkan pembaca seakan-akan diajak bertamu ke "rumah" puisi.
Pembaca diharuskan "mengetuk pintu" di bagian pertama, sebelum "dipersilakan masuk" di bagian kedua, dan akhirnya melangkah masuk melewati pintu untuk "sampailah sudah" di bagian ketiga. Di buku ini, kita merasakan perbedaan nuansa rumah yang dihadirkan Sapardi dari puisi-puisi rumah terdahulu. Barangkali alamat tinggal dan perubahan zaman turut mempengaruhi cara seseorang memaknai "rumah".
Orang-orang di kota terlalu sering berada di luar rumah. Hampir sepanjang waktu mereka habiskan di jalan-jalan, perkantoran, pusat perbelanjaan, maupun restoran-restoran. Rumah hanya jadi semacam tempat singgah setelah memastikan tidak ada lagi tempat-tempat "penting" yang mesti dikunjungi. Orang-orang di kota jarang pulang. Alhasil, Sapardi menulis:
Pulang tidak pernah/ punya Rumah/ dan tidak bisa diseret-seret/ ke mana-mana oleh setan pun/ oleh apa pun/ bahkan oleh siapa pun/ yang merasa pernah/ melahirkannya.
Tentang hal tersebut, kita telah menjadi saksi betapa sulit dan tersiksanya orang-orang kota untuk tinggal di rumah saja, bahkan pada masa-masa pandemi seperti yang terjadi empat bulan terakhir ini. Meski begitu, bagi Sapardi, rumah bukan sekadar wujud fisik bangunan. "Rumah baru disebut rumah kalau kita ada, kan?" tulisnya. Rumah lebih lekat dengan dunia batin, ruang yang memungkinkannya "ada", yang memungkinkannya menuliskan cita-cita, harapan, dan tujuan hidupnya: puisi.
Kini, setelah sekian kali berpindah rumah, Sapardi mesti juga berpindah rumah untuk terakhir kalinya. Sapardi pun berumah di puisi.
Hanputro Widyono editor buku Jassin yang Kemarin (2017)
(mmu/mmu)