Ada yang beda saat siaran pers oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 beberapa hari lalu. Setelah sempat viral dengan tampilnya dokter muda yang berparas menarik di atas rata-rata, kali ini Gugus Covid-19 menggandeng Ketua Umum PBNU untuk memberi wejangan kepada masyarakat. Ada apa gerangan?
Angka positif covid-19 yang tidak kunjung melandai memaksa Gugus covid-19 terus mencari terobosan untuk menyadarkan masyarakat. Sadar untuk menjaga jarak, memakai masker, menjaga kebersihan, keluar rumah secukupnya, dan yang lainnya untuk mencegah penyebaran virus.
Tindakan represif-aktif sudah diupayakan oleh pemerintah. Larangan berkumpul dan penutupan pasar bisa dijadikan contoh. Keharusan memiliki tes bebas Covid-19 untuk bepergian jarak jauh pun sudah diterapkan. Ini upaya pada wilayah yuridis, kata seorang kawan pegiat hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Kota Semarang dicanangkan jogo tonggo. Pemerintah setempat mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk waspada dan saling mengingatkan terhadap orang di kanan-kiri rumahnya akan bahaya corona. Masyarakat setempat yang tahu persis kondisi orang-orang terdekatnya, tetangganyalah. Kalau yang ini bisa disebut wilayah sosiologis, kata seorang kawan peminat kajian sosiologi.
Nyatanya, kurva dan laporan yang terpapar Covid-19 masih diangka seribu lebih tiap harinya. Upaya-upaya di wilayah yuridis dan sosiologis tadi belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Harus ada terobosan lain agar ajakan untuk waspada Covid-19 lebih mengena.
Wilayah Filosofis
Tampaknya Gugus Covid-19 mendapat bisikan bahwa di samping wilayah yuridis dan sosiologis, ada wilayah filosofis yang perlu dipertimbangkan untuk membuat masyarakat patuh dan sadar. Wilayah filosofis ini memang lebih personal dan individual, karena menyangkut kesadaran diri. Tidak ada salahnya dicoba untuk menekan angka positif Covid-19.
Salah satu pendekatan dalam wilayah filosofis ini adalah pendekatan agama. Diakui atau tidak, agama berperan besar dalam diri seseorang untuk membuat keputusan, melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Agama juga berisi panduan untuk menjalankan kehidupan, dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Masalahnya, tidak semua lapisan masyarakat menguasai dan memahami secara sempurna ajaran agamanya. Tidak sedikit orang yang beragama ini hanya mengetahui sebagian kecil dari ajaran agama yang dipeluk. Pun bagian tidak bisa sepenuhnya mengerti kalau suatu perbuatan bisa berubah hukumnya, dari yang boleh menjadi tidak boleh. Dari yang dilarang menjadi tidak dilarang.
Cuci tangan misalnya, ini adalah perbuatan yang aslinya dihukumi "boleh" dalam fikih, disebut mubah. Orang bebas melakukan atau meninggalkannya. Namun dalam kondisi tertentu di mana jika tidak cuci tangan akan memberi dampak bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, maka ia menjadi wajib dan harus dilakukan. Nah, yang semacam ini tidak serta merta dimengerti semua orang.
Kalau ini yang terjadi, maka harus ada pihak tertentu yang menyadarkan dan memberi tahu masyarakat. Siapa mereka? Jawabnya adalah tokoh agama. Di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tokoh agama bisa berwujud kiai, ustaz, guru ngaji, dan dosen agama Islam.
Coba ditengok kembali apa yang diutarakan Prof Said Aqil Siradj saat siaran pers gugus Covid-19 itu. Dia mengatakan bahwa wajib hukumnya mengikuti protokol kesehatan di masa wabah Covid-19 ini. Alasannya pun jelas, ketidakpatuhan pada protokol kesehatan akan membahayakan diri dan orang di sekitarnya.
Mungkin ada yang berseloroh, tidak ada perintah di Alquran dan hadis untuk mengikuti protokol ala Covid-19. Bagi orang yang berpikiran pendek dan tidak menelaah agama secara mendalam, seloroh itu akan mendapatkan pembenaran. Dan kebanyakan masyarakat kita ya seperti ini. Sebab memang tidak ada kata Covid-19 di Alquran dan hadis.
Di sinilah urgensi kehadiran tokoh agama untuk menyentuh wilayah filosofis masyarakat. Biar tidak dipandang memberi hukum asal-asalan, Prof Said Aqil Siradj menyebutkan landasan ayat Alquran dan hadisnya. Ada hadis laa dlarara wa laa dliraara, dilarang membahayakan diri dan membahayakan orang. Juga ayat Alquran wa laa tulquu bi aidikum ila tahlukah, jangan menjerumuskan orang lain menuju kerusakan atau bahaya.
Lho, ayat dan hadis tadi tidak menyebut kata Covid-19 sama sekali! Perlu dipahami, ayat Alquran dan hadis tidak bisa dipahami secara tekstualis. Hal-hal yang secara teks tidak disebutkan untuk dilarang dalam Alquran dan hadis bukan berarti tidak dilarang sama sekali. Sekali lagi di sini nilai penting tokoh agama untuk mencerahkan masyarakat secara benar dalam beragama.
Ayat Alquran dan hadis tadi berbicara larangan untuk melakukan tindakan yang membahayakan. Bahaya untuk diri sendiri dan bahaya untuk orang lain. Nah, Covid-19 merupakan virus yang membahayakan dan sebisa mungkin dihindari dengan menerapkan protokol kesehatan. Ada titik temu "menghindari bahaya" antara ayat Alquran dan hadis dengan protokol kesehatan.
Pelibatan Terstruktur
Pada akhirnya, tokoh agama juga harus menjelaskan perubahan hukum dalam kondisi wabah Covid-19 ini. Cuci tangan, jaga jarak, dan memakai masker yang pada kondisi normal merupakan sesuatu yang mubah, berubah menjadi perkara yang wajib pada kondisi yang tidak normal ini.
Dalam terminologi hukum Islam, ada kaidah al-hukmu yaduuru ma'a illatihi wujuudan wa 'adaman. Hukum itu berkelit kelindan dengan keberadaan ilat atau alasan hukumnya. Dan menghindari bahaya merupakan ilat untuk mewajibkan cuci tangan, jaga jarak, hingga pakai masker. Allahu a'lam bis shawaab.
Untuk menyampaikan pesan tersebut ke masyarakat luas, pelibatan tokoh agama tidak cukup dalam insidental siaran pers saja. Perlu pelibatan yang terstruktur, sistematis, dan masif hingga ke masyarakat akar rumput. Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki struktur yang diisi tokoh agama hingga tingkat desa. Mereka bisa digandeng untuk memberi pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat terkait Covid-19.
Ahmad Munif dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang