DPR resmi menyingkirkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dalam rapat kerja, Kamis (2/7). Padahal ditinjau dari perspektif legislasi, RUU PKS memenuhi sebuah RUU yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Menurut Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Secara umum, kebutuhan hukum ialah suatu kondisi dinamis karena perkembangan atau perubahan masyarakat di mana aturan hukum yang ada tertinggal atau tak mampu mengatasi permasalahan di masyarakat sehingga dibutuhkan aturan hukum baru untuk keberlangsungan hidup, memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan.
Apa kebutuhan hukum dalam masyarakat saat ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terus Bertambah
Perkembangan kasus kekerasan seksual jumlahnya terus bertambah dan berkembang. Catatan Tahunan (Catahu) 2020 Komnas Perempuan menyebutkan, dalam kurun waktu 12 tahun kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat sebanyak 792%. Artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Tercatat ada 431,471 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sepanjang Januari hingga Juni 2020 terdata 392 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan dan laki-laki.
Kita pasti bersepakat keberadaan data di atas merupakan fenomena gunung es saja. Di tengah merebaknya kasus kekerasan seksual, perangkat hukum di negeri ini belum memadai secara sistematis dan menyeluruh untuk mencegah, melindungi, memulihkan dan memberdayakan korban serta menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menghapus kekerasan seksual.
RUU PKS dibutuhkan sebagai aturan spesifik dalam menangani kasus kekerasan seksual. Urgensi RUU ini karena selama ini persepsi kebanyakan orang tentang kekerasan seksual timpang. Hal mana merambah pada perlakukan diskriminasi dalam pergaulan di masyarakat dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dalam ranah hukum sendiri.
Dalam banyak kasus kekerasan seksual, masyarakat dan aparat yang memproses cenderung menyalahkan korban (victim blaming). Korban dianggap biang kerok dari kejadian naas yang menimpanya. Cara berpikir ini sungguh sangat tidak beradab. Tubuh adalah ranah privasi seseorang yang tidak semestinya diinjak-injak oleh siapapun.
Dampak luar biasa yang ditimbulkan dari suatu tindakan kekerasan itu sungguh luar biasa. Para korban menderita tanpa pemulihan dan harus menanggung stigma serta trauma sepanjang hayatnya. Begitu pun, masa depan mereka seketika hancur lebur karena musibah yang dialaminya itu.
Namun, kerapkali penanganan kasus kekerasan seksual berakhir damai dan tidak ada efek jera sehingga membentuk simpul pengulangan kasus. Begitu memilukan ketika mengetahui bahwa antara korban dan pelakunya kebanyakan masih mempunyai relasi kekeluargaan dekat. Seharusnya orang terdekat menjadi keluarga yang lebih bertanggung jawab untuk menjaga dan memberi rasa aman dan nyaman untuk korban.
Tidak hanya itu, pelaku kekerasan seksual juga justru pejabat yang diperintahkan oleh hukum melindungi, seperti kasus dugaan pencabulan oleh Kepala Unit P2PT2A Lampung Timur. Begitu pun oknum dalam lingkaran agama yang dianggap suci tak luput dari perbuatan bejat seperti dugaan pencabulan terhadap putra-putra altar di sebuah gereja di Depok.
Maka, RUU PKS sebisa mungkin hadir sebagai payung hukum spesialis yang memadai mengatur mengenai pencegahan, perlindungan, rehabilitasi dan peran serta masyarakat dan lain sebagainya yang condong pada kepentingan korban.
Memperburuk Keadaan
Sejak pertama kali masuk Prolegnas Prioritas 2016 hingga dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS patut diduga tidak mendapatkan perhatian yang serius. Logika sederhananya, RUU yang masuk kategori Prolegnas Prioritas disegerakan pembahasan dan pengesahannya, tapi praksis empat tahun berlalu tarik menarik kepentingan yang tidak substansial menyandera pengesahan RUU ini.
Bila RUU PKS tidak segera disahkan akan sangat memperburuk keadaan. Kekerasan seksual itu nyata dan mengancam siapapun saat ini. Mereka yang telah menjadi korban belum mendapatkan keadilan selaku korban. Pemerintah/negara bertanggung jawab untuk menciptakan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Sebab kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat manusia dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.
Selama ini, pelbagai kelompok masyarakat telah mendorong agar DPR dan pemerintah sebagai representasi dari negara dalam ranah legislasi segera mengesahkan RUU PKS, tapi belum kunjung dilaksanakan. Dalam perspektif ini, DPR dan pemerintah telah melakukan pengabaian terhadap aspirasi masyarakat.
UU mengatakan bahwa RUU dalam Prolegnas disusun berdasarkan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Sekali lagi, RUU PKS harus disahkan demi kita perlindungan dan keberlangsungan hidup yang aman, damai dan sejahtera untuk kita semua.
Korneles Materay peneliti hukum
(mmu/mmu)