Perjuangan untuk Menjadi Keren

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Perjuangan untuk Menjadi Keren

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 07 Jul 2020 16:56 WIB
Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta -

Ada banyak hal di dunia ini yang menggerakkan kita. Ada agama. Ada nasionalisme. Ada cinta. Ada nafsu. Ada dendam dan kemarahan. Ada uang dan segala motif ekonomi. Dan satu lagi: ada urusan keren dan tidak keren.

Soal yang terakhir itu saya alami juga. Pernah pada suatu masa, saya diundang untuk berbicara di forum milik sebuah instansi besar di Jakarta. Ketika saya bersiap untuk mengeluarkan laptop saya, pihak panitia menyampaikan dengan halus bahwa lebih baik laptop saya diumpetin dulu.

Awalnya saya tidak paham apa sebabnya. Baru kemudian saya mengerti, ini soal keren dan tidak keren.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laptop saya cap Dell, lawas sekali, sudah kusam body-nya, harus selalu disambungkan ke colokan biar tetap menyala, dan ketebalannya bisa-bisa membuat Anda berpikir bahwa saya sedang membawa mesin tik merek Royal yang dulu dipakai Pramoedya Ananta Toer.

Saya menyayangi laptop itu, mungkin hampir sama kadarnya dengan rasa sayang Baim Wong kepada akun Youtube-nya. Maka, ketika saya diminta menyembunyikannya, ada sedikit rasa "aduh" yang menyerang perasaan saya.

ADVERTISEMENT

Tapi, memang ini persoalan yang sangat serius: laptop saya tidak keren. Lazimnya, dalam acara-acara besar, para pembicara sudah secara otomatis memakai laptop yang memenuhi standar keren: Tjap Apel Krowak. Begitulah kata panitia. Ini bukan perkara fungsionalitas. Ini soal keren!

Akhirnya, mau tidak mau saya berkompromi pula. Karena saya harus melanjutkan tugas-tugas presentasi berikutnya, saya pun menyerah. Saya terpaksa membeli laptop dengan standar keren yang tidak cukup saya pahami itu.

Maka, saya menceburkan diri ke dalam standar kekerenan itu, dan mulai menikmatinya. Saya bisa presentasi dengan lebih percaya diri. Tatapan mata panitia acara-acara saya lihat lebih welcome kalau saya mengeluarkan Tjap Apel Krowak. Dan mereka agaknya jadi lebih ikhlas saat memberikan amplop bisyaroh-nya. Tentu, karena pembicaranya keren. Eh, maksud saya, karena pembicaranya membawa perlengkapan yang dikategorikan keren.

Pada satu kondisi, saya sampai membayangkan bahwa Tjap Apel Krowak adalah semacam additional performance dalam seminar-seminar dan pelatihan, dan penampilan seorang pembicara tak akan dianggap lengkap tanpa kehadiran gambar apel. Ini absurd sekali.

Sebelumnya, saya tidak terlalu peduli dengan keren dan tidak keren dalam soal barang-barang. Saya tidak pernah memakai baju-baju bermerek, jam tangan mahal, sepatu juga itu-itu saja, kendaraan pun dari level sosial apa adanya.

Satu-satunya hal keren yang selalu saya pamerkan adalah cerita-cerita. Itulah kenapa saya sangat suka jalan-jalan. Jalan di mana pun itu keren buat saya. Saya merasa keren kalau sudah piknik ke sana dan ke sana lagi, posting foto saat sedang di tempat-tempat jauh, berjumpa dengan manusia-manusia unik yang tidak betul-betul saya kenal, apalagi jika saya bisa pamer tidur menggelandang di jalan. Saya merasa keren.

Sampai kemudian wabah datang, dan hal-hal keren itu tak lagi mendapat ruang. Tjap Apel Krowak pada laptop saya tak lagi berguna. Alih-alih bisa dijadikan pemain pendamping di panggung, panggung yang ada sekarang adalah Zoom dan Google Meet, bahkan bisa-bisa cuma grup WA.

Di ruang-ruang baru itu, mana bisa saya memamerkan kekerenan Apel Krowak saya? Tidak bisa. Setiap laptop sama derajatnya pada tampilan kotak-kotak pertemuan di ruang Zoom. Bahkan setiap manusia setara belaka. Tak lagi ada kasta yang membedakan antara peserta zoominar yang pakai celana Zara atau sarungan, bahkan tak ada bedanya pula antara mereka yang sudah wangi dengan yang tidak mandi tiga hari.

Lebih dari itu, saya pun tak bisa lagi memamerkan kekerenan ala saya sendiri. Mana bisa jalan-jalan jauh seenaknya, kalau buat naik pesawat saja harus ikut rapid test dulu, dan di mana-mana kita bernapas sambil khawatir akan menghirup droplet yang mengandung biji-biji korona?

Akhirnya, konsep keren dan tidak keren itu bubar. Wabah ini telah mengubah mana yang keren dan mana yang tidak keren.

Tak terkecuali, dalam soal yang lebih serius lagi.

Dua hari lalu, saya bergabung dalam obrolan bersama para pemuda yang ingin membangun desa-desa mereka. Ada masalah mendasar yang mereka hadapi selama ini, yaitu bagaimana para pemuda meninggalkan desa-desa, untuk tinggal dan bekerja di kota-kota.

Awalnya saya mengira bahwa masalah riilnya semata perkara sumber-sumber ekonomi. Di desa sawah dan ladang tidak menjanjikan hasil ekonomi yang melimpah, sementara di kota ada uang yang tumpah ruah. Asumsi saya, sesederhana itu persoalannya, dan tentu ketimpangan pembagian kue pembangunanlah asal muasalnya.

Namun ternyata, ada hal riil lain yang menjadi pandangan banyak anak muda di desa-desa, yaitu bahwa berangkat ke kota itu lebih keren daripada di desa. Mau hasil ekonominya lebih tinggi, bertani di desa itu kalah keren dibanding menjadi pekerja di pabrik-pabrik besar di Cilegon atau Tangerang, misalnya.

Ini ternyata PR besarnya. Uang saja tidak cukup. Lawan yang dihadapi tidak sesederhana duit, melainkan sesuatu yang lebih abstrak lagi, yaitu citra. Ini soal keren dan tidak keren.

Akarnya memang kompleks. Mulai warisan pandangan keluarga, pendidikan di sekolah, hingga pengaruh lingkungan dan jaringan perkawanan. Orangtua bisa jadi mewariskan gambaran hidup ideal yang sangat "priayi", bagaimana semestinya anak-anak mereka jadi orang kantoran, misalnya. Sekolah-sekolah mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang ruang-ruang aktualisasinya hanya tersedia di kota-kota, sehingga mau tak mau yang keren-keren itu hanya ada di kota.

Sebagai "gong"-nya, lingkungan sosial semakin menegaskan itu semua, dari cerita-cerita tetangga yang membanggakan anak-anak mereka yang sudah "jadi orang" di kota. "Tuh, anaknya Pak Anu sudah bekerja di pabrik milik Korea di kota sana. Keren, ya."

Wabah ini telah mengubah tatanan perekonomian, soal-soal yang terkait uang. Apa yang semula tampak berkelimpahan di kota-kota, terbukti keropos dan terancam ambruk. Sebaliknya, desa-desa kian menunjukkan eksistensi keperkasaannya. Ada kehidupan di sana, ada daya tahan, ada kemandirian.

Tapi, apakah lantas semua itu bisa dengan mudah menggeser label keren dan tidak keren? Rasanya tidak segampang itu. Dan bisa jadi ketika wabah ini berlalu, tatanan ini akan kembali seperti sedia kala.

Tidak apa-apa. Yang penting keren, kan?

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di sebuah desa keren di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads