Pandemi dan Era "Tanpa Ekspresi Wajah"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi dan Era "Tanpa Ekspresi Wajah"

Senin, 06 Jul 2020 15:19 WIB
Handoko Gani
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Poster
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Pandemi Covid-19 telah menyebabkan banyak sekali perubahan di dalam perekonomian hingga di dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang, warga menggunakan masker dan pelindung wajah saat berkendara, saat belanja di pasar, saat lari pagi, hingga saat bekerja di kantor.

Semua orang yang terbiasa meminta pertemuan fisik sekarang memilih untuk bertemu secara daring. Dan ketika daring tersebut, banyak orang juga terlihat masih menggunakan masker dan pelindung wajah. Khususnya, mereka yang berdaring dari luar rumah.

Daring menggunakan masker dan pelindung wajah, di satu sisi, memang pilihan utama untuk mencegah penyebaran virus corona. Namun, di sisi lain, saya justru ingin membahas dampaknya secara psikologis apabila terus menerus menggunakan masker dan pelindung wajah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah dampak negatif dari penggunaan masker dan pelindung wajah serta jaga jarak ini dalam jangka panjang?

Anda harus memahami dulu mengapa ekspresi emosi lewat wajah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia.

ADVERTISEMENT

Sejak usia dini dan sepanjang umur manusia, keterampilan emosional (Emotional Intelligence) sangat penting untuk mengkomunikasikan emosi kita kepada orang lain dan untuk menyesuaikan perilaku kita sesuai dengan pikiran dan emosi kita, serta reaksi orang lain (Saarni, 1999; Halberstadt et al., 2001).

Meskipun kita melihat benda, mendengar suara, merasakan tekstur, mencium bau, dan rasa rasa, sebetulnya sinyal visual dan Bahasa-lah yang merupakan sinyal sosial utama pada manusia (Adolphs, 2003). Dan di antara sinyal visual, ekspresi wajah adalah komponen penting dari sinyal emosional. Sinyal ekspresi wajah memungkinkan manusia memahami dan mengekspresikan pikiran, motivasi, dan emosi (Izard, 1971; Izard, 2001; Fridlund, 1997).

Dan ternyata usia sangat berpengaruh dalam ketrampilan baca ekspresi wajah ini. Seiring dengan usia, ketrampilan baca ekspresi wajah ini menurun ketika dewasa dan tua (Ruffman et al., 2008). Jadi, anak-anak hingga dewasa muda adalah puncak ketrampilan tersebut (Herba et al., 2006; Lawrence et al., 2015).

Saya mengkaitkan penelitian-penelitian di atas dengan praktek bermasker dan pelindung wajah serta jaga jarak yang sedang diterapkan oleh umat manusia di seluruh dunia.

Adanya jaga jarak menyebabkan Anda tidak bisa melihat ekspresi wajah mikro yang menunjukkan emosi sebenarnya seseorang. Apalagi, ditambah dengan wajah tertutup masker dan pelindung wajah.

Dan ketika anak-anak kita tidak bisa mempelajari makna emosi di ekspresi wajah (karena terhalang masker, pelindung wajah, dan jarak), maka anak-anak kita bisa memiliki kesulitan dalam interaksi sosial. Apalagi, anak-anak kini memiliki keterbatasan interaksi fisik karena lebih banyak belajar di rumah daripada di sekolah. Dan sekalipun bersekolah, mereka juga akan berhadapan dengan sahabat dan guru yang juga bermasker, pelindung wajah, dan menjaga jarak.

Sambil mendoakan agar vaksin dan obat corona ini segera ditemukan, kita harus melakukan serangkaian tindak pencegahan sebelum dampak negatif ini

Rumah

Rumah haruslah menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar mengenali emosi sekaligus belajar menghadapi reaksi emosi orang lain. Kasihan anak-anak apabila di rumah, karena tidak aman, ia juga harus dibatasi dengan protokol masker, pelindung wajah, dan jaga jarak, sama seperti di sekolah, di tempat kursus, atau di tempat publik.

Secara umum, saya ingin sekali menegaskan bahwa interaksi fisik antara orangtua dan anak perlu tetap dipertahankan. Tentunya, hal ini menjadi berbeda pada rumah tangga dengan orang tua yang memiliki resiko besar terpapar corona.

Dengan kata lain, saya berharap, di rumah, anak-anak bisa melihat ekspresi wajah secara jelas tanpa masker, pelindung wajah, dan jaga jarak.

Mereka bisa mempelajari langsung makna ekspresi emosi di wajah orangtua dan saudara-saudaranya, yaitu berusaha semampu mungkin menunjukkan ekspresi wajah ketika di rumah dan ataupun ketika daring atau telpon dengan anak-anak. Khususnya, ketika interaksi via daring atau telpon, Anda sebagai orangtua khususnya lebih bisa mencari tempat dan waktu yang tepat untuk membuka masker dan pelindung wajah Anda secara aman dan nyaman.

Anda bisa menggunakan berbagai alat peraga yang dijual di toko-toko ataupun Anda sendiri langsung menunjukkannya lewat wajah Anda. Anda juga bisa mengatur permainan anak-anak ataupun film-film yang mereka tonton dengan sudah lebih mendekati ekspresi manusia yang sebenarnya.

Keuntungan lain tentunya bagi Anda yang mahir ketrampilan analisis ekspresi wajah khususnya Facial Action Coding System (FACS) dan teknik Interview untuk memancing perilaku. Anda bisa mengajarkan anak Anda bagaimana memahami ekspresi wajah orang lain yang bermasker, pelindung wajah, dan berjarak dengannya. Termasuk, bagaimana anak memancing ekspresi emosi yang sama lewat tanya jawab sehingga bisa memperkuat analisis awal mereka.

Di sisi lain, mereka juga bisa mempraktikkan langsung cara bereaksi terhadap emosi yang ditunjukkan melalui wajah orangtua dan saudara-saudaranya tersebut.

Daniel Goleman mengingatkan kita betapa pentingnya memahami dan mengelola (emosi) diri sendiri dan orang lain dalam kehidupan. Dan saya mengingatkan Anda untuk memperjuangkan praktek baca dan kelola emosi ini pada anak-anak Anda di rumah.

Dengan kata lain, kita sebagai orangtua perlu mengelola waktu kita dengan bijak untuk berinteraksi sosial tanpa masker, pelindung wajah, dan jaga jarak dengan anak-anak kita di rumah. Dan kedua, di era "tanpa ekspresi wajah" ini, justru orangtua harus betul-betul mempraktekkan Emotional Intelligence lebih baik lagi karena pressure di kantor yang mungkin juga sedang beranjak naik di tengah-tengah tantangan ekonomi masa pandemi corona ini.

Webinar

Saya juga mendorong agar Mendikbud Nadiem Makarim, guru dan para orangtua murid mendorong adanya praktik tanpa masker dan pelindung wajah dalam kegiatan sekolah menggunakan aplikasi daring.

Dengan kata lain, saya justru mendorong agar kegiatan belajar tetap dipadukan antara tatap fisik dan daring webinar.

Alasan saya adalah karena tatap fisik memiliki keterbatasan pembacaan emosi di wajah, dan belajar melalui webinar/daring justru membuka peluang tersebut. Terlepas dari gadget atau komputer yang memang perlu dipikirkan oleh pemerintah, sekolah dan keluarga, saya ingin menegaskan bahwa daring memungkinkan anak-anak untuk menunjukkan wajahnya dan tentunya ekspresinya kepada guru dan teman-teman sebayanya.

Saya mengartikan hal ini dengan mendorong Kemendikbud dan Sekolah menciptakan kurikulum dan aplikasi ponsel atau komputer yang memungkinkan koordinasi tugas melalui meeting secara daring.

Saya juga mengartikan hal ini dengan mendorong keluarga khususnya membuka wadah untuk "playdate virtual" atau "interaksi bermain secara daring". Khususnya, pada anak-anak usia playgroup, TK, hingga Sekolah Dasar. Usia-usia muda seperti mereka inilah usia penting pembibitan ketrampilan baca dan kelola emosi. Mereka tidak akan menguasainya tanpa melihat ekspresi wajah.

Pemerintah, guru dan orangtua harus bekerja sama dalam menangani dampak negatif terhadap penggunaan masker, pelindung wajah, dan jaga jarak dalam jangka panjang hingga ditemukannya vaksin dan obat anti-corona.

Saya yakin kita bisa menanganinya.

Handoko Gani, MBA, BAII, LVA instruktur ahli lie detector

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads