Bantuan sosial (bansos) merupakan jaring pengaman sosial bagi warga masyarakat yang kurang mampu atau miskin akibat tidak bekerja, bekerja di sektor informal, bekerja namun terkena pemutusan hubungan kerja, dan terdampak Covid-19. Supaya mereka dapat terus melanjutkan hidup, maka pemerintah memberikan bansos yang bentuknya bermacam-macam, antara lain kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Dana Desa, Bansos Provinsi, Program Sembako Presiden, Kartu Pra Kerja dan sebagainya. Masalahnya sejak zaman Orde baru, apapun yang namanya Paket Bansos selalu bermasalah.
Kekacauan pemberian Paket Bansos di seluruh pelosok Indonesia hampir selalu bermula dari pendataan hingga penyalurannya. Herannya sudah tujuh presiden, kasus Paket Bansos tak kunjung selesai dan sering berakhir dengan persoalan tindak pidana korupsi. Begitu pula saat pandemi Covid-19 kali ini. Dari investigasi yang saya lakukan di wilayah lingkungan saya tinggal selama kurang lebih satu bulan, ditemukan beberapa keanehan yang sudah berjalan cukup lama tanpa ada yang berusaha untuk memperbaiki dan mengenakan sanksi. Padahal kasus ini sangat merugikan warga terdampak atau miskin.
Pemberian Paket Bansos dasarnya domisili, bukan KTP elektronik/NIK. Artinya penerima Paket Bansos adalah penghuni atau yang tinggal di wilayah tersebut, meskipun yang bersangkutan mempunyai KTP elektroniknya/NIK dari wilayah lain. Dia miskin, maka dia berhak mendapatkan Paket Bansos apa pun bentuknya. Kebijakan baik seperti ini ternyata dimanfaatkan oleh banyak masyarakat dan oknum pemerintah yang tidak bertanggung jawab untuk terus mendapatkan Paket Bansos dan kadang lebih dari satu. Satu dari tempat domisili dan lainnya dari tempat asal KTP elektroniknya/NIK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu di tempat tinggal saya ternyata banyak juga Aparat Sipil Negara (ASN atau PNS) yang keluarganya mendapatkan Paket Bansos. Padahal menurut Pasal 4, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. PNS/ASN dilarang menerima apapun dan dari mana pun termasuk Paket Bansos. Namun di lapangan banyak ASN yang mencatatkan dirinya dan keluarganya atau koleganya untuk mendapatkan Paket Bansos. Ini juga salah satu penyebab mengapa pemberian Paket Bansos selalu kurang dan bermasalah.
Kekacauan Data
Dari investigasi singkat yang saya lakukan di lingkungan RW tempat tinggal saya di Jakarta Selatan selama kurang lebih satu bulan, ditemukan kekacauan data warga miskin yang sudah terjadi sejak lama (2015 atau bahkan sebelumnya). Hal ini mengundang saya untuk mencari tahu ada apa sebenarnya di sistem pendataan di RW 04 tempat saya tinggal. Hal ini mengusik saya ketika Paket Bansos selama Pandemi Covid-19 jumlahnya selalu tidak sesuai dengan data orang miskin yang tercatat di kantor RW. Selain itu Paket Bansos yang diterima Ketua RW jumlahnya kurang dan semakin menurun.
Sejak akhir April 2020, RW kami hanya menerima 135 paket Bansos, lalu jumlahnya terus menurun hingga minggu kedua Juni 2020, RW kami hanya mendapatkan 23 Paket Bansos jauh dari kebutuhan warga miskin yang saat itu tercatat di kantor RW sekitar 700 KK lebih. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika warga mampu di RW kami tidak ikut bergotong royong membantu dan Ketua RW membagi rata isi Paket Bansos (terutama beras) supaya seluruh warga RW kami mendapatkan bagian dari Paket Bansos? Sehingga warga miskin atau yang berhak terima Paket Bansos menerima isi paket yang tidak lengkap, baik jenis maupun jumlahnya.
Dari investigasi data orang miskin yang awalnya berjumlah 700 KK lebih ternyata dapat kami kurangi hingga sekitar 50% karena sebagian dari mereka ternyata sudah tidak berdomisili di RW kami. Hal itu terjadi karena berdasarkan data 2015, nama mereka masih ada sebagai penerima Paket Bansos di RW kami. Bahkan ada beberapa keluarga yang tinggal satu rumah tetapi di data RW kami beralamat di 5 tempat, akibatnya mereka menerima lima Paket Bansos. Yang lebih menyebalkan lagi mereka itu tidak miskin. Ada juga keluarga tidak miskin tetapi karena Kepala Keluarga atau saudaranya pejabat teras Pemprov DKI Jakarta atau Kementerian/Lembaga terkait, mereka dapat dan menikmati Paket Bansos.
Berdasarkan hal tersebut kami minta Ketua RW saat ini untuk menghubungi lurah dan camat. Lalu saya menghubungi wali kota, Kepala Dinas Sosial Pemprov DKI Jakarta, Wakil dan Gubernur DKI Jakarta, serta Menteri Sosial untuk melapor hasil investigasi dan usulan penyelesaian. Respons dari pejabat yang kami kontak responsif dan mereka segera berapat dengan melibatkan Ketua RW kami untuk klarifikasi data dan mencari jalan keluar. Alhamdulillah cleansing data selesai dan data bersih itu masuk ke Kelurahan untuk selanjutnya ke Pemprov. Semoga pembagian Paket Bansos yang akan datang dapat sesuai dengan jumlah penerimanya
Langkah Pemerintah
Belajar dari proses pembenahan data penerima Paket Bansos yang kami lakukan di RW kami, sebaiknya pemerintah meminta para lurah bersama seluruh Ketua RW untuk melakukan cleansing dan verifikasi data, kemudian kelurahan menempelkan daftar nama penerima Paket Bansos yang berhak di Kantor RW. Jika ada warga yang keberatan karena namanya tidak ada sebagai penerima Paket Bansos, dapat mendatangi Kantor Kelurahan.
Untuk verifikasi data dan check and recheck antarkelurahan dapat menggunakan teknologi informasi supaya tidak terjadi duplikasi nama dan yang bersangkutan mendapatkan lebih dari satu Paket Bansos, sementara banyak yang berhak namun tidak kebagian.
Pemerintah pusat dan daerah harus membuat peraturan perundangan dengan sanksi tegas, misalnya sanksi administrasi dengan denda yang cukup supaya pelanggar kapok. Pastikan peraturan perundangannya tidak ambigu dan sanksi dijalankan. Tanpa ini jangan berharap masalah buruknya data dan penyaluran Paket Bansos akan baik dan tepat sasaran.
Akhir kata, pastikan Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia diimplementasikan segera supaya data integrator ada di satu tangan sehingga jika bermasalah mudah menguraikannya.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)