Judul Buku: Hukum Keluarga di Indonesia: Dinamika dalam Aturan dan Praktik; Penulis: Muhammad Isna Wahyudi; Penerbit: Magnum Pustaka Utama, Maret 2020; Tebal: x + 90 halaman
Terwujudnya maslahat yang sebesar-besarnya adalah tujuan utama dari hukum termasuk hukum keluarga Islam. Dalam logika Najmuddin ath-Thufi, maslahat adalah dalil syar'i yang paling kuat (aqwa adillat asy-syar'i). Dalam banyak konteks, maslahat setarikan napas dengan keadilan yang juga menjadi maksud tertinggi dari pemberlakuan hukum.
Manakala teks-teks hukum yang berlaku tidak lagi selaras dengan rasa maslahat dan keadilan, maka teks-teks tersebut perlu dibaca, dianalisis, dan ditafsirkan kembali. Hal tersebut yang tampaknya menjadi kegelisahan Muhammad Isna Wahyudi, penulis buku ini. Sebagai seorang praktisi (hakim) yang berpengalaman, naluri kritisnya membuncah tatkala menemui pemberlakuan hukum yang "mencederai" rasa keadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih, misalnya, bagi anak yang dilahirkan yang semestinya tidak mewarisi "dosa" (baik dalam konteks administratif ataupun agama) dari orangtuanya. Anak seolah menjadi korban, yang hak-hak dan perlindungan atas hak-haknya tersebut terkebiri. Nalar hukum hakim tentang perlindungan anak dalam permohonan asal-usul anak menjadi bahasan pertama dalam buku ini.
Secara umum, nalar hukum hakim dalam konteks tersebut terklasifikasi menjadi dua, yaitu doktrinal-deduktif dan substantif-objektif. Nalar doktrinal-deduktif menghubungkan bunyi hukum yang mayor ke dalam realitas yang minor secara tekstual. Akibatnya, seringkali tidak dapat memberikan rasa keadilan yang substantif alias mengurangi perlindungan anak.
Adapun nalar substantif-objektif akan meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak anak. Penjabarannya, anak yang lahir dari perkawinan fasid (kurang syarat/rukun) yang tidak tercatat tetap dianggap sebagai anak sah dari kedua orang tua sehingga anak tersebut mendapatkan hak-hak dari orangtua meliputi nafkah, pengasuhan, warisan, dan perwalian.
Sementara, anak yang lahir di luar nikah maka dapat dimohonkan pengakuan anak yang lahir di luar pernikahan. Dengan begitu, anak tersebut akan menerima hak-hak perdata dari sang ayah sama dengan anak yang sah.
Bab selanjutnya tentang pembacaan ulang Pasal 208 KUH Perdata tentang kesepakatan perceraian dan relevansinya di Pengadilan Agama. Dalam Pasal 208 KUH Perdata disebutkan bahwa perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama. Ketentuan dimaksud membawa implikasi pemeriksaan perkara perceraian yang tidak sederhana. Betapapun tergugat mengakui dalil-dalil penggugat, penggugat tetap dibebani pembuktian untuk menghindari kesepakatan bersama dalam perceraian.
Lebih lanjut, dalam hal tergugat tidak pernah hadir dan pengadilan akan menjatuhkan putusan verstek, pengadilan tetap memerintahkan penggugat untuk membuktikan dalil-dalil perceraiannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari penyelundupan hukum dan rekayasa dari para pihak. Sementara al-Quran tetap mempertahankan hak talak suami dan membolehkan khulu' yang mengandaikan kesepakatan antar suami-istri. Karenanya, penerapan Pasal 208 KUH Perdata perlu ditinjau ulang. Sebab dengan pemeriksaan yang tidak sederhana tersebut pada akhirnya nyaris tidak ada perkara perceraian yang ditolak.
Bab berikutnya tentang kontekstualisasi larangan talak saat istri haid. Berdasarkan penelusuran penulis, 'illat (ratio legis) dari larangan talak saat istri haid adalah dalam rangka melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam menjatuhkan talak. Sementara dalam konteks fikih Indonesia, talak harus dijatuhkan di depan persidangan dan setelah melalui proses panjang pemeriksaan perkara sampai kemudian permohonan cerai talak dikabulkan. Karenanya, hakim tidak perlu lagi menunda sidang ikrar talak meski kondisi isteri sedang haid. Sebab, 'illat hukum larangan talak dalam hal istri sedang haid tidak ditemukan lagi dalam praktik hukum perceraian di pengadilan.
Mekanisme cerai dan implikasinya terhadap pencabutan gugatan dan kewajiban nafkah pascacerai dalam praktik hukum di Pengadilan Agama Indonesia adalah bab keempat dari buku ini. Penulis menilai bahwa pencabutan perkara yang harus seizin tergugat bila tergugat sudah memberikan jawaban menyisakan problem. Sebab, bila tetap dilanjutkan (khususnya dalam perkara cerai talak) dan termohon berhasil membuktikan dalil-dalilnya, maka amar putusannya apakah kemudian berbunyi, "Menjatuhkan talak bain sughra Pemohon terhadap Termohon"? Sementara jenis perkara tersebut adalah cerai talak dimana Pemohon harus menjatuhkan sendiri talaknya terhadap Termohon dengan mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan.
Hal lain yang disoroti penulis adalah perihal kewajiban nafkah akibat perceraian yang didasarkan jenis kelamin dan bukan berdasarkan kemampuan ekonomi pasangan. Dalam cerai talak (yang diajukan suami) maka suami dapat dijatuhi hukuman untuk membayar nafkah iddah, mut'ah, dan nafkah anak. Adapun dalam cerai gugat (yang diajukan istri), tidak ada kewajiban nafkah akibat cerai bagi pasangannya, dan isteri tidak berhak atas nafkah iddah dari mantan suaminya. Hal tersebut, menurut penulis, adalah akibat dari budaya patriarkal yang berpengaruh terhadap konstruksi hukum Islam tradisional.
Bab penutup yang tidak kalah menariknya adalah tentang menggali 'illat (alasan) hukum perbedaan agama sebagai halangan waris. Menurut analisis penulis, halangan mendapat waris karena beda adalah disebabkan peperangan dan permusuhan. Sementara dalam konteks Indonesia yang majemuk, banyak didapati keluarga berbeda agama namun tidak ada permusuhan dan pertentangan serta kejahatan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa mereka memiliki hubungan dekat dan harmonis. Maka seyogianya perbedaan agama tidak menjadi penghalang lagi untuk saling mewarisi.
Perbedaan agama masih menjadi alasan penghalang saling mewarisi dalam keluarga beda agama yang rukun dan harmonis justru bertentangan dengan prinsip kemaslahatan, menyebabkan ketidakadilan, dan boleh jadi memicu konflik antar anggota keluarga. Lebih jauh dari itu, bila beda agama masih menjadi halangan waris maka hukum Islam terkesan diskriminatif dan eksklusif yang hanya menegakkan keadilan an sich bagi orang-orang Islam. Sementara al-Quran mengajarkan tentang penegakan keadilan kepada semua tanpa pandang status dan agama.
Bila dicermati, buku ini ingin mendialogkan secara sinergis antara teks dan konteks dan selanjutnya melakukan kontekstualisasi. Bahwa pada akhirnya teks tetap menjadi dasar berpijak dan tidak menutup kemungkinan teks tertentu tetap relevan untuk diterapkan. Namun karena realitas tidaklah terbatas maka melihat konteks kapan dan dalam situasi apa teks tersebut muncul adalah penting. Berikutnya adalah kontekstualisasi agar teks tetap hidup, mendatangkan maslahat, dan berkeadilan.
Dalam banyak bagian, penulis buku menekankan pentingnya memahami 'illat hukum atau ratio legis secara komprehensif. Ratio legis adalah ruh atau substansi hukum yang darinya hukum tersebut menjadi ada. Dalam bahasa yang mainstream dikatakan bahwa ada dan tidak adanya hukum bergantung pada 'illat hukum (al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman). Meskipun dalam konteks lain, aplikasi dari kaidah tersebut juga harus dirinci secara detil dan mendalam.
Pada akhinya, sebagai sebuah tawaran, ide dan keberanian penulis buku ini patut diapresiasi. Hadirnya buku ini --terlepas dari kontroversi yang (mungkin) mengitari--menjadi penegas bahwa hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim adalah penegak hukum yang mampu mensinergikan teks hukum dan realitas sosial secara apik untuk kemudian merumuskan putusan yang berperspektif maslahat dan keadilan. Beberapa ide yang ditawarkan juga merupakan solusi untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Samsul Zakaria, S.Sy, M.H Hakim Pengadilan Agama Natuna