Tidak pernah ada dalam mimpi orang-orang akan hidup dalam dunia yang hanya sepetak, sebatas pagar rumah. Tidak ada yang tahu kapan kerangkeng pandemi akan berakhir. Atau, akan berakhir seperti apa manusia pasca pembebasan dari dunia yang hanya sepetak?
Jika Anda menonton pernah film Room (2015), mungkin akan berkata, "Tidak bisa aku bayangkan hidup hanya dalam sekotak kamar, tanpa dunia luar." Dan, ya! Itu yang sedang terjadi. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Emma Donoghue itu menampilkan betapa kecilnya seorang manusia di dalam semesta.
Jack dan ibunya, Ma/Joy harus hidup hanya dalam sekotak kamar, tanpa dunia luar, tanpa jendela, tanpa tahu rumput kering di depan pintu. Joy diculik oleh Old Nick yang kemudian melahirkan seorang putra, Jack. Dalam keadaan tersebut, Joy tidak bisa membesarkan anaknya dengan memperlihatkan realitas dunia. Benar-banar dunia yang apa adanya. Jack mengetahui dunia hanya dalam persegi kamarnya.
Dunia di luar kamar hanyalah imaji. Ia tidak pernah tahu bahwa di luar kamar, ada manusia lain selain ibunya dan Old Nick yang kadang ia lihat dari celah di dalam lemari. Hanya melalui televisi Jack tahu tentang dunia yang penuh pohon serta jalan-jalan mengular tak berujung. Itu pun tak pernah Jack menganggapnya nyata. Jack terkurung sepenuhnya dalam dunianya, dunia sepetak kamar berisi ranjang tidur, lemari, televisi, dan bak mandi.
Sepenuhnya, Jack memerankan alegori Plato tentang manusia gua. Hidup hanya dengan merealitakan bayang-bayang benda di dinding batu. Tanpa kemampuan untuk mengetahui sumber dan penyebab bayang-bayang. Jack adalah manusia gua yang sempurna. Penuh imaji dan kekaguman pada langit biru dan daun kering di balik sedikit atap transparan.
Tetapi tidak dengan Joy, tentu ia tahu ada dunia yang lebih luas dan menakjubkan dibanding dunia dalam sepetak kamar. Joy begitu rindu terhadap dunia yang pernah ia kenal. Ia terus mencari cara dan kesempatan agar ia bisa keluar dari kamar kecil itu. Tentu juga membawa Jack pada dunia yang sesungguhnya.
Lalu apa yang dilakukan orang-orang saat ini? Bukankah orang di separuh dunia sekarang hidup sebagaimana Jack hidup? Tidak banyak hal yang bisa dilakukan dalam paksaan "di rumah saja". Tidak bertemu teman, tidak menghitung jalan, "tidak melakukan apa-apa". Jack menyedihkan, tapi dia tidak lebih sakit sebagaimana masyarakat masa pandemi. Berdiam dalam batas "zona aman". Bosan, mengeluh, dan stres terlontar setiap hari.
Tak hanya itu, problem sosial pun semakin meningkat. Perekonomian yang mencekik, PHK, kekerasan dan kejahatan ada di mana-mana. Di rumah saja mungkin memang mencegah menempelnya virus, tapi sekaligus merepresi psikis banyak orang. Tapi, bukankah peradaban kini sudah dipersiapkan untuk hal ini? Bahwa masyarakat tidak pernah benar-benar hidup dalam dunia tanpa batas? Setiap hari sudah disibukkan oleh smartphone.
Masyarakat sudah diajari bagaimana hidup tanpa harus melangkahkan kaki jauh-jauh. Terbiasa menjadi manusia yang tanpa memperdulikan manusia yang duduk di sebelah. Kemajuan teknologi sudah mengajarkan bagaimana hidup menjadi sapiens yang tanpa kebijaksanaan. Generasi menunduk, sosialisasi semu, membangun dunia dalam cengkeraman dewa bernama smarphone. Masyarakat diajari untuk tetap berada di zona nyaman.
Dengan smartphone, umat manusia menganggap sudah melihat banyak hal dan melakukan bermacam hal. Masyarakat terbiasa menyukai bayangan daripada mengejar pengetahuan di luar gua. Tidak keluar gua dan melakukan apa yang bisa dan mungkin dapatkan. Masyarakat sudah dilatih untuk itu.
Kecenderungan aktivitas yang dilakukan ketika di rumah saja tidak begitu beda dengan rutinitas sebelum pandemi. Atau, justru ini adalah masa kejayaan generasi yang memperlakukan dunia maya secara hiperrealita? Kesemuan yang benar-benar nyata. Di rumah saja adalah kesempatan terbaik untuk semakin bersetubuh dengan smartphone. Sepenuhnya masuk rahim media sosial, melahirkan manusia-manusia tanpa sidik jari. Mencipta manusia gua sempurna. Mulai melupakan muasal, budaya, etika, norma, dan lupa diri sendiri.
Di rumah saja mencegah masyarakat bersentuhan dengan eksistensi diri, di mana para leluhur dengan susah payah sudah membangunnya. Tatanan sosial yang unik, yang membuat diri jaya dan bangga dengan tanah yang dipijak. Tapi, masyarakat sudah dilatih untuk lupa. Tidak lagi mengenal bahasa tanah, nyanyi air, senandung angin. Melupa suka cita semesta. Yang selalu menghidupi dan yang hidupi, saling berkasih dengan alam raya. Melupa untuk mengetahui.
New Normal dan Pembebasan
Pada akhirnya, Jack dan ibunya terbebas dari penculikan. Tentu, dengan perjuangan yang tidak mudah. Bahkan Jack harus menggulung dirinya di dalam karpet kotor dan mencari pertolongan. Untuk pertama kalinya Jack menatap langit dan dunia tanpa dinding persegi. Rumput, tanah, pohon, orang, terjatuh, berteriak, mobil polisi. Bagi kita, itu hal sederhana. Tapi tidak untuk Jack. Untuk saat pertama, ia mengetahui bahwa dunia di dalam televisi benar-benar ada.
Jack menjadi manusia gua yang keluar dari dinding batu. Mencari sumber bayang-bayang, penasaran, mencari tahu, dan mengaguminya. Terlalu lama hidup dalam ruang sepetak kamar sejak lahir membuat imunitas tubuhnya lemah. Tubuhnya belum bersahabat dengan terang cahaya matahari, tanah kotor, angin luar rumah, bahkan suara orang lain. Jack begitu rapuh, tak ubahnya bayi merah yang dilempar ke hutan. Ada banyak bahaya yang mengancam. Bukan singa atau serigala, tapi dunia sebagaimana dunia ada.
Hari pembebasan memang akan selalu datang. Di rumah saja, cepat atau lambat pasti akan berakhir. Akan datang saat ketika pintu rumah dibuka lebar-lebar, jalanan tidak lagi terlihat garis putihnya, pasar sesak oleh transaksi, perkantoran kembali membosankan' dunia akan penuh kembali dengan orang-orang. Orang-orang akan membuka pintu dan berguling menyapa matahari.
Tapi, apakah semua akan kembali sebagaimana sebelum pandemi? Mungkin, tidak. Saat ini, masyarakat dunia mulai memasuki apa yang disebut sebagai new normal. Dalam masa ini, masyarakat sudah diperbolehkan untuk beraktivitas sebagaimana mestinya. Meski selalu dalam pembatasan dan pengawasan. Terlepas adanya pro dan kontra pemberlakuan new normal, masyarakat dihadapkan kembali pada realitas yang benar-benar baru.
Empat bulan mengurung diri di dalam rumah tentu mengubah cara pandang dan ketahanan diri. Ketidaksiapan mental dan stres yang dialami di masa awal pandemi sudah berubah menjadi penerimaan dan keterbiasaan. Tubuh semakin stabil dalam menghadapi keterbatasan gerak dan pikiran. Pada masa ini, seketika terpaksa menghadapi ketidakbiasaan yang baru lagi. Terbiasa lupa pada rutinitas sebelum pandemi mengubah kulit, saraf, dan darah manusia.
Fisik dan psikis menjadi rentan terhadap dunia yang baru. Masyarakat akan terus terdominasi oleh sistem dan peraturan yang berlaku. Jika Jack harus mengalami iritasi dan kolaps ketika keluar dari dunia sepetaknya, mungkin begitu juga yang terjadi pada masyarakat sisa-sisa pandemi. Seakan menaiki mesin waktu dan berpindah ruang, masyarakat harus menceburkan diri pada dunia yang tidak dikenalnya. Nilai semakin memudar, tanah yang sama tapi seakan bukan miliknya.
Barangkali, masyarakat dalam new normal akan serapuh Jack. Mungkin lebih. Bayang ketakutan akan terus menempel, tidak sepenuhnya pergi. Manusia akan semakin kehilangan naluri sapiens-nya. Curiga terhadap orang lain. Menganggap yang lainnya sakit. Enggan saling menyentuh, berkumpul, dan bersosial. Selanjutnya, dunia akan semakin terbiasa berisi manusia tanpa sidik jari. Tanpa identitas. Tanpa pengetahuan akan diri sendiri.
Masyarakat akan semakin terbiasa hidup dalam kendali gambar-gambar emoji. Tidak ada lagi layang-layang, gerobak sodor, meriam bambu, kerak telur, tape ketan, cireng, ramah tamah, gotong royong. Mungkin juga ada, tapi tanpa esensialitas. Hanya suatu keharusan yang tersistem. Masyarakat sudah diajari dan terbiasa untuk melupa, menjadi manusia dalam Gua Plato sepenuhnya.
Tetapi, di dalam semua ketidakmungkinan dan kemungkinan itu, bukankah masih ada harapan untuk keluar dari gua? Mencari bunga penyebab bayangan di dinding batu, menjelajah hutan lebih dalam, dan benar-benar melakukan banyak hal. Tidak seharusnya akal budi kita terkurung gua batu, gelap, dan pasrah begitu saja. Selalu ada banyak cara untuk melawan dan melepaskan diri dari keterbelengguan.
Ainun Nafisah kru LPM IDEA Semarang
(mmu/mmu)