Presiden Jokowi tampak berang. Di Surabaya, Wali Kota Risma menangis kencang sampai bersimpuh di aspal. Jagat maya seketika tumpah ruah dengan komentar. Tak sedikit yang nyinyir, mengaitkan perilaku yang dianggap emosional itu dengan kemampuan dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Pertanyaannya, siapa bilang bahwa keputusan yang baik dibuat hanya dengan mengandalkan kalkulasi rasional? Akal sehat memang penting. Tapi pikiran bukan satu-satunya dimensi psikologis yang dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan.
Suasana hati sesungguhnya bisa membantu manusia saat membuat keputusan. Orang yang membuat keputusan kerja sembari ngomel-ngomel, misalnya, tidak mutlak menandakan yang bersangkutan keruh isi kepalanya. Proses kognitif yang berlangsung ketika amarah menderu belum tentu berujung pada pemikiran yang tak bermutu.
Justru sebaliknya, keterlibatan afeksi boleh jadi merupakan pertanda keterlibatan autentik manusia dalam situasi atau permasalahan yang harus ia pecahkan. Dengan adanya keterlibatan afeksi, si pembuat keputusan mengerahkan dirinya jauh lebih ke dalam sebagai manifestasi penghayatannya terhadap pihak lain.
Dengan memposisikan dirinya pada kedudukan orang lain, pantas diasumsikan bahwa keputusan yang ia hasilkan akan lebih sesuai dengan tuntutan situasi yang tengah ia hadapi maupun kebutuhan orang lain. Bahkan dalam situasi untung-rugi, orang dengan suasana hati negatif akan menaruh perhatian ekstra pada risiko kegagalan dari keputusan yang ia buat. Dengan kata lain, ia menjadi lebih awas terhadap konsekuensi buruk yang bisa menimpa pihak lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gangguan Mental
Terbentuknya suasana hati yang kelam menjadi semakin potensial pada musim pagebluk seperti sekarang ini. Banyak riset menemukan adanya guncangan mental yang dialami masyarakat sebagai akibat dari berbagai kesulitan di masa Covid-19. Temuan itu menjadi alasan bagi para ilmuwan untuk mewanti-wanti publik bahwa di samping pandemi virus, perlu pula diantisipasi pandemik gangguan mental dengan tingkat keparahan bervariasi.
Tapi kebanyakan orang memang tidak adil dalam merespons gelombang gangguan mental itu. Pada satu sisi, simpati diulurkan ke masyarakat yang bisa sewaktu-waktu menderita ketegangan psikis. Pada sisi lain, khalayak abai bahwa pejabat pemerintahan pun sejatinya tidak imun terhadap wabah ketidakstabilan jiwa. Pejabat pemerintah bahkan, setidaknya dengan hitung-hitungan di atas kertas, lebih rawan terjangkit gangguan mental. Penyebabnya karena di samping harus memikirkan keselamatan diri sendiri, mereka juga harus mengelola kehidupan orang banyak (negara).
Pemimpin memikul tanggung jawab begitu banyak. Terlebih dalam masa krisis ketika jumlah warga yang wafat terus mendaki. Alhasil, manakala pemimpin merasa bahwa orang-orang di sekitarnya --yang semestinya paling ia percaya dan paling ia andalkan-- ternyata berada pada gelombang kerja yang berbeda, praktis si pemimpin menjadi "sendirian". Tekanan batinnya kian berlipat ganda.
Kenyataan tentang beratnya tugas sebagai pemimpin terbenarkan secara ilmiah. Ambil misal, analisis Olenski, Jena, dan Abola (2015) terhadap hasil pemilu di 17 negara menemukan bahwa secara rata-rata usia kandidat yang terpilih sebagai presiden adalah 2,7 tahun lebih pendek daripada kandidat yang kalah. Presiden Amerika Serikat bahkan 5,7 tahun lebih pendek usia ketimbang pesaingnya. Risikonya untuk mengalami kematian dini 23 persen lebih tinggi.
Studi lain, proses penuaan akibat menjadi orang nomor satu juga berlangsung lebih cepat. Celakanya, publik tak mau tahu. Ekspektasi kolektif tetap saja parah: dalam situasi terburuk, tidak selamatnya aparat pemerintah dianggap sebagai konsekuensi pekerjaan. Wajar saja. Tapi jangan sekali-sekali mempertaruhkan kehidupan masyarakat, niscaya tak terampunkan.
Pemimpin diidentikkan dengan sosok yang serba terkendali. Saat murka sekali pun, pemimpin diharuskan untuk tetap elegan berwibawa. Begitu pula ketika berada di bawah tekanan, pemimpin yang hebat diyakini selalu memutar otaknya untuk menemukan jalan keluar. Lagi-lagi afeksi diposisikan kalah penting dibandingkan kognisi. Kognisi dipandang sebagai pendorong maju peradaban. Sementara afeksi dianggap sebagai penghambat.
Ekspresi perasaan negatif atau katarsis sejatinya merupakan perilaku manusiawi yang bermanfaat agar si empunya kepribadian tetap berada pada titik seimbang. Para akademisi bahkan menemukan kondisi paradoks. Yaitu, pada saat mengalami perasaan tak menyenangkan, manusia ingin merasakan perasaannya itu secara tepat. Dalam kemarahan, orang ingin merasakan amarahnya itu. Di kala tenggelam dalam kesedihan, orang juga ingin merasakan bagaimana sesungguhnya perasaan sedih itu.
Semakin mampu orang merasakan perasaannya, betapa pun negatifnya perasaannya itu, semakin bahagialah dia. Rekomendasi yang dihasilkan adalah hindari pengingkaran isi hati. Biarkan mood terasa gloomy untuk beberapa waktu, jangan memaksa diri untuk selekas mungkin menguburnya lalu menggantinya dengan mood yang lebih flowery.
Yang tidak diinsafi oleh banyak orang, seperti kata sekian banyak intelektual psikologi, amarah sesungguhnya hanya suasana hati sekunder. Amarah merupakan episode lanjutan dari perasaan induk, yaitu ketakutan maupun kesedihan. Ketakutan mencakup kekhawatiran dan kecemasan. Sementara kesedihan mencakup perasaan kehilangan, kegagalan, kekecewaan, dan patah semangat. Dengan pemahaman tentang adanya perasaan primer dan sekunder itu, orang yang melakukan manajemen amarah sesungguhnya perlu mengatasi ketakutan atau pun kesedihannya.
Lebih Berempati
Berangkat dari uraian di atas, yang sesungguhnya dibutuhkan adalah publik perlu lebih berempati terhadap reaksi-reaksi manusiawi aparat atau pejabat pemerintahan. Apalagi ketika reaksi sedemikian rupa terlihat di ruang publik, maka alih-alih mengecam atau merendahkan, publik perlu menawarkan pemakluman bahkan bantuan kepada pejabat tersebut. Toh, jika kondisi si pejabat kian parah, kejituannya dalam bekerja (membuat keputusan) akan memburuk pula. Keputusan yang semrawut, pada gilirannya, niscaya tidak menguntungkan kehidupan masyarakat sendiri.
Tentu beda cerita kalau letupan jiwa secara terbuka itu ternyata tak lebih dari drama belaka. Biarlah para pembaca gestur yang memastikan orisinal atau artifisialnya ekspresi para pembuat kebijakan. Yang jelas, sekali lagi, di musim penyakit menular yang telah berlangsung berbulan-bulan ini, tampaknya kebanyakan orang butuh upaya lebih keras untuk menaruh kepedulian pada orang lain. Stamina kadung terpusat pada diri urusan masing-masing. Kalau kecenderungan sedemikian rupa berlaku terhadap ekspresi afeksi yang alamiah, apalagi terhadap ekspresi-ekspresi berskenario.
Reza Indragiri Amriel alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada