Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di DKI Jakarta meninggalkan rasa masygul dalam benak. Saya melihat antusiasme serta semangat menggelora dari para orangtua di lingkar ibu kota terhadap keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Mereka berkumpul dan berdemo untuk menyuarakan aspirasi mereka, memprotes kebijakan sistem perekrutan siswa baru berdasarkan usia. Seolah tak peduli panas terik matahari, demi tujuan mulia, tentang sebuah asa dalam mendidik anak mereka.
Jika saja semangat para wali siswa di Jakarta itu bisa menular dan menelusup ke seluruh benak para orangtua di seluruh Indonesia, maka tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk menyaksikan dunia pendidikan di Indonesia akan diperhitungkan oleh dunia. Antusiasme adalah kunci, dan kualitas akan mengikuti. Ibarat orang beriman yang akan melakukan ritual ibadah, yang pertama harus ditanamkan adalah niat. Semangat dalam menyekolahkan anak adalah laksana ritus niat dalam beribadah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari peristiwa di DKI ini kita jadi lebih mengetahui bahwa ternyata ada banyak orangtua yang masih peduli terhadap pendidikan anak, bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan ternyata masih ada. Ya, walaupun keniscayaan ini hanya dari kalangan strata sosial dan kelas pendidikan tertentu. Tapi, lumayanlah daripada tidak sama sekali.
Tidak, saya tidak akan mengulas perdebatan panjang tentang PPDB di Jakarta. Karena sudah banyak ahli yang mengulasnya dengan teori-teori luar biasa mereka. Saya hanya ingin sekadar memanfaatkan momentum kesemangatan mereka agar kelak bisa diaplikasikan merata ke seluruh pelosok negeri.
Beberapa orangtua di Jakarta beralasan bahwa belajar di sekolah negeri setidaknya ada dua keuntungan. Pertama, biaya pendidikan yang nyaris gratis; kedua, kualitas pendidikan di sekolah naungan pemerintah ini sudah terstandarisasi. Maka sekolah negeri menjadi magnet tersendiri bagi para orangtua. Kita tahu kualitas sekolah swasta pada umumnya masih berada satu strip di bawah kualitas sekolah negeri.
Kalaupun ada sekolah swasta yang moncer, biasanya biaya pendidikannya juga selangit, tak terjangkau oleh kantong para orangtua yang biasa-biasa saja. Tidak bisa kita pungkiri bahwa ada disparitas kualitas antara sekolah negeri dengan kebanyakan sekolah non negeri yang asal-asalan --asal punya papan nama sekolah, asal ada gurunya.
Kembali kepada apa yang terjadi di Jakarta, rasa-rasanya ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di banyak daerah lain. Setidaknya di sekolah saya sendiri. Banyak sekali orang ua yang seakan tak peduli terhadap pendidikan anak. Bahkan beberapa menyarankan anak-anak mereka untuk mentas dari sekolah, dan bisa lekas membantu perekonomian keluarga mereka. Membantu menyangga roda perekonomian keluarga di usia yang masih remaja.
Memasuki usia remaja, dengan kekuatan fisik prima, adalah modal untuk membantu orangtua atau bekerja untuk tetangga mereka. Yang petani, mereka dapat membantu menyiangi rumput atau sekadar mengantar sarapan untuk para pekerja. Yang nelayan, mereka dapat membantu dengan menjadi ABK pemula atau untuk sekedar disuruh membelikan ini-itu, menjadi kancuran, istilah yang digunakan di daerah saya. Dan masih banyak sektor ekonomi lain yang mendayagunakan para remaja itu.
Anak-anak pada usia remaja hanya dipandang memiliki potensi dan bakat dari segi fisik saja. Mereka memiliki kondisi fisik yang mumpuni. Para orangtua beranggapan bahwa sudah saatnya anak-anak mereka untuk dikaryakan demi mengangkat harkat ekonomi keluarga. Jangan hanya menjadi beban keluarga saja.
Walau kondisi di atas tidak bisa kita generalisasi begitu saja. Sebab setidaknya kita masih bisa menyaksikan banyak para remaja itu yang masih tetap bersekolah, seperti anak-anak ideal pada umumnya. Tapi kenyataan pahit itu ada dan masih terus saja terjadi di lingkungan masyarakat kita, di tengah stimulus-stimulus untuk dunia pendidikan di Indonesia yang luar biasa.
Kenyataan tak mengenakkan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya motivasi mendidik anak dari orangtuanya, bahkan terkesan ala kadarnya saja. Pendidikan diatribusi sebagai hanya melakoni tradisi. Hal ini mengakibatkan banyak orangtua yang akhirnya tidak memperhatikan proses belajar anak dengan sungguh-sungguh. Alih-alih mendampingi anak mereka saat belajar di rumah, sekadar mengingatkan untuk belajar pun mereka seakan tidak peduli.
Kenyataan yang lain, kita tahu bahwa wajib belajar yang 12 tahun itu rasanya belum cukup ideal sebagai bekal mengarungi kerasnya kehidupan. Dengan hanya berbekal pendidikan dasar tidak akan menjadikan anak-anak menjadi ahli apapun. Dan tuntutan menjadi ahli bisa terpenuhi jika anak-anak itu melanjutkan ke jenjang strata. Ini pun bagi beberapa para orangtua rasanya hanya sebatas angan belaka.
Di lapangan, kondisi lulusan sekolah yang nyatanya hanya bekerja di bidang itu-itu saja, kalau tidak sales ya penjaga minimarket. Hal yang membuat para orangtua kadang merasa tak guna menyekolahkan mereka. "Mending langsung kerja saja, lebih ekonomis, tak membuang waktu, tenaga, dan pikiran," begitu celotehan enteng mereka.
Melihat fenomena di atas serta berkaca pada kasus di DKI jakarta, maka alangkah indahnya jika semangat menyekolahkan anak bisa tertular jauh ke pelosok-pelosok negeri. Demi peningkatan kualitas manusia Indonesia. Persoalan ekonomi dan hal-hal yang melatarbelakangi lainnya biar pemerintah saja yang memikirkannya. Para orangtua cukup urun semangat saja, itu sudah lebih dari cukup.