Castles tidak keliru, penduduk Batavia perlahan meninggalkan identitas etnis mereka dan membentuk identitas komunal yang baru. Batavia, yang kemudian menjelma Jakarta, kata Castles: ...dengan identitas barunya tak lain representasi dari orang Indonesia dalam arti yang sebenar-benarnya.
Tentu saja kita tidak mesti terburu-buru mengartikan apa yang diungkapkan Castles tentang Jakarta sebagai kemajemukan etnis belaka. Atau pada kesamaan orang Jakarta dalam percakapan sehari-hari memakai bahasa Indonesia gaul --yang tak lain percampuran dari pelbagai bahasa. Dalam wacana urban, Jakarta bukan hanya gedung-gedung jangkung, namun juga deretan perkampungan kumuh di tengah kota. Makna Jakarta terus meluber bukan semata Thamrin-Sudirman, melainkan juga Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang.
Begitu pula, Jakarta tidak hanya merujuk pada etnis Betawi. Jakarta dan segala ketidakasliannya seakan mewakili realitas kota dengan kehidupan yang plural, tergesa, kontras, dan penuh seliweran kontradiksi. Betapa rumitnya orang Jakarta dalam menjelaskan identitasnya tatkala disodorkan pertanyaan, "Aslinya mana?"
Seno Gumira Ajidarma dalam esai-esai urban Tiada Ojek di Paris menampilkan Jakarta sebagai tontonan kehidupan urban yang penuh makna dan absurd. Orang-orang berkota Jakarta, tapi merindukan kedirian-kampungnya. Bagi Seno, kemenduaan itu dapat ditelusuri melalui bagaimana cara Jakarta tumbuh sebagai kota bekas kolonial menjelma sebagai kota metropolitan.
Merujuk pada pola perkembangan kota-kota global kontemporer macam London, New York, dan Tokyo, maka menurut Seno Jakarta justru lebih mirip Los Angles sebagai kota postmodern. Sebuah kota postmodern menampilkan bagaimana industrialisasi ekonomi global mengubah basis kota, menuju kombinasi industri teknologi tinggi dengan industri berketerampilan rendah. Pekerjaan, permukiman, dan sistem transportasi membaur dalam modernitas sekaligus tradisional.
Ruang kota Jakarta yang tampak padat dan mampat --penuh segregasi dan polarisasi sosial antara kelas menengah dan kelas bawah, seturut Arvianti Armand dalam buku Arsitektur yang Lain sebenarnya "kosong". Avianti dalam esainya 3 AM. 4 AM menuliskan, komodifikasi ruang, di mana semua ruang abstrak ditakar hanya dari "nilai tukar" bukan "nilai guna", memang menyebabkan "kepadatan palsu". Modal menguasai ruang, sehingga yang tak bermodal terpaksa menyingkir.
Hal itu menyebabkan kota melebar dan meluar tak terkendali, terfragmentasi dan terkonsentrasi dalam kotak-kotak fungsi yang menyisakan ruang-ruang negatif yang membuat kota menjadi "berongga". Avianti melanjutkan, di Jakarta, penyelesaian masalah kepadatan yang menyerah pada komodifikasi ruang justru memaksa keluarnya permukiman buat kelas menengah ke pinggir-pinggir kota. Gedung-gedung terisolasi satu sama lain. Gedung tinggi berdampingan dengan kampung rendah.
Di pusat kota, bangunan-bangunan tidak saling melengkapi, melainkan bersaing. Terasing di tengah hiruk-pikuk. Avianti menyebutnya sebagai, "Jakarta telah mengalami proses di mana ruang dan waktu seperti berjalan sendiri-sendiri." Tak saling mengisi. Karenanya kota menjadi begitu kering. Bagi sebagian penghuninya, kota Jakarta telah menjadi sekadar tempat bertahan hidup, bukan tempat hidup. Jakarta sebagai kota kosmopolis mengalami kegagapan pula sebagai ruang publik politis.
Merujuk Abidin Kusno dalam Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif, ruang publik memiliki arti yang melebihi bentuk fisiknya. Ruang publik bukan hanya sebuah ruang penampungan pasif, yang dikesampingkan oleh sebuah kota untuk menjadi tempat bagi semua orang. Sebaliknya, ruang publik ialah ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran orang-orang. Ruang publik tidak pernah bebas dari tarik-tarikan pemaknaan dan representasi.
Pasar-pasar di Jakarta misalnya, pendikotomian antara yang tradisional dan yang modern tidak saja berkaitan dengan perbedaan fasilitas dan kenyamanan belanja, tetapi menunjukkan pergeseran pemaknaan pasar sebagai ruang sosial menjadi ruang traksaksional belaka. Percakapan yang manusiawi telah digantikan oleh mesin kasir, tawar-menawar telah diubah label harga mati dan diskonan. Pada saat yang sama, pasar menjelma ruang jual-beli makna bagi setiap individu yang terlibat di dalamnya.
Di Jakarta orang-orang pergi ke pasar bukan untuk berbelanja, melainkan untuk saling memisahkan diri dari apa yang mereka anggap berbeda dari dirinya. Dari pasar-pasar kita ke luar menuju jalanan Jakarta. Marco Kusumawijaya dalam Kota Rumah Kita mengutarakan jalan besar (bukan "raya" yang kaya konotasi sosial-kultural), baik yang di dalam kota maupun berupa jalan lingkar, membelah begitu saja ruang entitas sosial-geografis, dan dibangun sebagai ruang teknis-fungsional mesin pertumbuhan ekonomi, tanpa konsepsi ruang arsitektur yang jelas di awal. Jalanan menjadi alat fungsional saja untuk bergerak, bukan untuk kegiatan urban yang lebih luas.
Tak pelak, deretan pedagang kaki lima di sepanjang jalan kota senantiasa dianggap mengganggu "fungsi utama" jalan. Sementara tuntutan kehidupan perkotaan yang serba cepat dan dikapitalisasi, seakan tak memungkinkan para pekerja untuk berhenti sejenak. Dalam rasionalitas yang sudah jungkir balik, realitas menjadi impresi yang palsu. Bagi mereka, sebenarnya jalanan di kota Jakarta bukan semata tontonan kemacetan, melainkan sebentuk kesemrawutan dan keterasingan yang seringkali diam-diam melelehkan para penghuninya.
Seperti kata Seno Gumira kembali, banyak orang Jakarta sebetulnya merasa berumah di kantor dan jalanan daripada di tempat tinggalnya sendiri. Ketika berkata "pulang", sebetulnya orang merasa pergi ke tempat asing.
Muhammad Khambali penulis dan pengajar, peminat kajian urban, tinggal di Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini