"New Normal" dan Dinamika Baru Politik Islam
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

"New Normal" dan Dinamika Baru Politik Islam

Jumat, 19 Jun 2020 16:25 WIB
Supriansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pemerintah Kota Bogor untuk pertama kalinya menggelar salat Jumat di Masjid Baiturrahman. Wali Kota Bogor Bima Arya turut hadir dalam ibadah tersebut.
Salat Jumat di masa pandemi (Foto: M.Sholihin)
Jakarta - Kita sedang menghadapi babak baru dalam menghadapi pandemi, yaitu new normal. Di saat sebagian besar orang masih berdebat tentang terjemahan kata tersebut, negara tetap mengebut persiapan kehidupan baru dengan protokol pencegahan Covid-19. Sekarang, sepertinya kita akan terbiasa dengan pembabakan baru terkait pandemi, yaitu masa pandemi dan masa new normal.

Memang periodesasi seperti ini masih diperdebatkan. Lebih-lebih jika kita melihat kondisi sekarang, di mana sebenarnya pandemi belum bisa kita kendalikan sepenuhnya. Memang new normal merujuk pada kondisi bukan periode waktu, namun dalam perbincangan sehari-hari kita lebih banyak menggunakannya sebagai periode waktu, selain merujuk pada kondisi. Mungkin, kita menggunakannya untuk mempermudah memilah antara kebiasaan di masa pandemi dan kebiasaan di masa new normal.

Sekarang, jika kita hubungkan periodisasi tersebut dengan wacana keberagamaan, mungkin kita bisa melihat bagaimana keberislaman atau peribadatan, utamanya di akar rumput, dalam dua periode tersebut, yaitu di masa pandemi dan masa new normal. Kita tentu sudah maklum sebelumnya bahwa "beribadah di rumah" adalah salah satu anjuran pemerintah dari awal kasus perdana Covid-19. Sejak itu, pemerintah mulai mengeluarkan putusan untuk meniadakan sementara kegiatan ritual di rumah ibadah di masa pandemi.

Di pihak lain, sebagian besar masyarakat menuntut ibadah harus tetap dilaksanakan. Sebab, menurut mereka, rumah ibadah masih bisa dipakai dengan memakai protokol pencegahan Covid-19. Akibatnya, sepanjang hampir tiga bulan kegiatan ritual ditiadakan karena sebagian masjid dan langgar ditutup. Meski demikian, beberapa kali masyarakat nekat memaksa membuka rumah ibadah yang ditutup tersebut dan mengadakan ibadah seperti biasa.

Mungkin kita masih ingat kejadian masyarakat yang meloncati pagar masjid untuk melaksanakan Salat Tarawih atau beredarnya surat permohonan perobohan masjid salah satu daerah di Jawa. Bahkan, kondisi tersebut mencapai puncaknya di Idul Fitri kemarin, ketika beberapa masjid di wilayah yang kasus positif Covid-19 masih tinggi malah nekat mengadakan Salat Id.

Di pihak lain, sebagian masyarakat lainnya malah beribadah seperti biasa. Walau mereka diharuskan memberlakukan dua strategi sekaligus di rumah ibadah, yakni protokol kesehatan yang mereka kumpulkan dari berbagai informasi yang bisa didapatkan, agar terhindar dari terpapar Covid-19, dan strategi keamanan, seperti menutup jendela atau pagar, agar ritual ibadah mereka tidak "diganggu" oleh Satpol PP atau polisi.

Adapun di tataran elit atau otoritas agama, narasi agama lebih sering bertautan dengan putusan pemerintah ketimbang berkontestasi atau konfrontatif sebagaimana di akar rumput. Lihat saja, beragam putusan, anjuran hingga imbauan para kai atau ulama dan lembaga otoritatif, seperti NU dan Muhammadiyah, lebih cenderung seiras dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah, dan selalu meminta pada masyarakat untuk patuh.

Adapun saat memasuki masa new normal, dinamika keislaman juga turut berubah ketimbang dalam tiga bulan terakhir, walau kebanyakan masih beredar di kisaran masalah ibadah. Di antaranya, beberapa elit mulai bersikap kritis pada putusan pemerintah, yang mana sebelumnya dilakukan oleh masyarakat. Seperti yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini di kalangan muslim, yakni wacana Islamic Life Style atau gaya hidup islami dalam menghadapi pandemi.

Wacana tersebut tersebar luas di media sosial. Dalam wacana tersebut, gaya hidup Islami dianggap sebagai model kehidupan paling tepat dalam menghadapi kondisi kehidupan baru atau new normal. Sebelum wacana tersebut, sudah ada suara-suara kegelisahan di masyarakat, seperti "masjid ditutup, kok mall dibuka" yang viral di akhir Ramadhan kemarin, yang juga mengangkat narasi agama.

Tentu bukan sebuah kebetulan ketika gaya hidup islami dimunculkan dan dihadapkan dengan new normal seperti yang diwacanakan oleh pemerintah. Wacana gaya hidup islami tersebut, di antara kalangan elit yang paling lantang adalah Buya Gusrizal Gazahar Dt Palimo Basa, Ketua Umum MUI Provinsi Sumatera Barat. Dia menegaskan ada sebelas bentuk gaya hidup islami yang dianggap lebih tepat dalam melihat bencana, dalam hal ini pandemi Covid-19.

Sebelas bentuk gaya hidup islami yang dimaksud oleh Buya, yakni pertama adalah anjuran untuk menjaga wudu yang artinya setiap lepas wudu, setiap itu juga kembali mencuci tangan. Kedua, jaga jarak yang juga jaga pandangan untuk melihat hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama. Ketiga, setiap keluar rumah disunahkan membaca doa dan berzikir selama dalam perjalanan. Keempat, peduli kepada sesama sebagai perwujudan ukhuwah.

Kelima, soal masker bahkan kaum perempuan sudah sejak dulu dianjurkan memakai cadar, kaum lelaki memakai sorban yang bisa digunakan sebagai penutup mulut atau hidung saat sedang batuk atau bersin. Keenam, memakan makanan yang halal dan bergizi supaya imunitas meningkat lahir dan batin. Ketujuh, berprilaku adil dan ihsan dalam segala sisi kehidupan sebagai perwujudan keimanan dan kesungguhan dalam berharap surga.

Kedelapan, menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan untuk meraih kecintaan Allah. Kesembilan, meninggalkan segala bentuk kemaksiatan karena menjadi penyebab datangnya bala termasuk wabah. Kesepuluh, belas kasih terhadap dhuafa dalam kehidupan dengan keberpihakan yang nyata serta berhenti dari menyokong kekuasaan materi melalui kebijakan yang tidak adil. Kesebelas, meneguhkan keimanan tauhid dengan menolak seluruh paham yang menjauhkan umat dari ajaran islam seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, komunisme, syiah dan sebagainya.

Di pihak lain, masyarakat akar rumput menanggapi wacana new normal dengan respons datar. Sebab, bagi mereka, bisa beribadah di rumah ibadah tanpa harus takut didatangi atau dilarang oleh pihak berwenang sudah sebuah kebahagiaan. Jadi, surat edaran tersebut hanyalah sebagai stempel agar bisa beribadah lebih leluasa ketimbang kemarin. Menariknya, jika sebelumnya di masa pandemi simbol-simbol Islam dipakai oleh masyarakat biasa dalam menyuarakan aspirasi politiknya, sekarang malah ditampilkan juga oleh elit atau otoritas. Sekarang, saat memasuki masa new normal pertarungan otoritas antara otoritas agama dan pemerintah terjadi terang-terangan.

Namun, jika masyarakat sebelumnya menampilkan aksi politiknya menggunakan simbol Islam, seperti masjid atau langgar, sebagai bentuk aspirasi atau negosiasi dengan kondisi atau putusan pemerintah. Sedangkan, otoritas agama mulai bersuara melawan wacana new normal dari pemerintah lebih menggunakan narasi agama yang lebih substansi, seperti wacana gaya hidup atau wacana tempat ibadah. Walau kita tahu sebelumnya, mereka lebih banyak mendukung pemerintah dengan berbagai putusannya.

Beberapa elit agama seperti Buya Gusrizal atau Sekretaris Jendral (Sekjen) MUI Anwar Abbas cukup kritis pada pemerintah, terutama di tengah wacana new normal ini. "Mengapa pemerintah tidak keras juga dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat lainnya?" ujar Anwar. Sedangkan Buya Gusrizal berkata, "Ini harus segera kita rumuskan supaya jangan sampai kebijakan itu berjalan sendirinya dan mendikte berbagai sektor kehidupan umat. Bahkan bisa masuk ke ranah ibadah."

Selain itu, ada Muhammadiyah yang secara tegas menolak wacana new normal diterapkan di Indonesia. Muhammadiyah berpendapat berbeda juga saat wacana soal Salat Id; mereka tidak menerapkan klasifikasi wilayah yang dikeluarkan oleh MUI. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, kita masih belum tahu. Sebab kita baru saja memasuki level awal dari new normal, masih banyak hal yang akan terjadi berikutnya.

Memang, bukan sesuatu yang aneh jika politik agama dimainkan selama pandemi dan new normal di Indonesia. Sebab jika kita menelusuri dinamika perpolitikan sepanjang pemerintah Jokowi, narasi politik agama memang tumbuh subur. Tapi, dari dinamika politik Islam di masa pandemi dan new normal ini kita bisa belajar bahwa politik agama tidak melulu soal perebutan kekuasaan.

Dale F. Eickelman dan James Piscatori, penulis buku Muslim Politics mengungkapkan bahwa konsep politik juga bisa berarti negosiasi publik terhadap aturan dan diskursus yang secara moral mempersatukan komunitas bersama. Berangkat dari poin James dan Dale tersebut kita bisa memahami bahwa aksi-aksi masyarakat muslim di masa pandemi merupakan aksi politik.

Selain itu, wacana atau narasi yang dibangun oleh elit agama mungkin memiliki daya dorong yang lebih besar, namun politik Islam di masa pandemi juga menggambarkan fungsi elit atau otoritas bisa dikesampingkan jika memang aksi tersebut bisa mempersatukan sebuah komunitas.

Sekarang, narasi politik Islam tidak lagi hanya disuarakan oleh otoritas saja, namun sekelompok orang yang kecewa atau memiliki aspirasi berbeda dari penguasa atau pemerintah juga bisa menyuarakan narasi politik dengan menggunakan simbol-simbol Islam, terutama saat kita mulai memasuki fase baru, yakni new normal.

Supriansyah peneliti isu sosial dan perdamaian di Kindai Institute dan penggiat di Jaringan Gusdurian Banjarmasin

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads