Pada saat modal sosial digaungkan sebagai penting bagi Indonesia untuk melawan Covid-19, terdapat dua kenyataan yang tampak bertentangan. Indonesia belum lama diberitakan menempati 10 besar dalam Indeks Pemberian Dunia (World Giving Index) 2019. Tiga indikatornya adalah membantu sesama, menjadi sukarelawan, dan donasi materi. Ini menunjukkan modal sosial yang besar yang dimiliki bangsa Indonesia.
Kendati demikian, kepatuhan masyarakat Indonesia terhadap serangkaian kebijakan pembatasan sosial, termasuk protokol kesehatan, sebagai sebuah langkah ilmiah melawan Covid19, di banyak wilayah diberitakan rendah, hingga saat ini. Apakah partisipasi aktif dalam pembatasan sosial sulit dimengerti oleh masyarakat (secara pikiran/kognitif) sebagai membantu sesama? Apakah partisipasi itu juga tidak memiliki status identitas (perasaan/afektif) yang sama dengan menjadi volunter?
Kedua pertanyaan ini penting untuk dijawab. Jika jawabnya tidak, maka modal sosial yang dibanggakan hanya akan terserap dalam sebuah zero-sum game.
Sisi Gelap
Terdapat banyak definisi modal sosial. Intinya, modal sosial mencakup jejaring sosial, keterlibatan sipil, norma timbal balik, dan kepercayaan antarsesama anggota masyarakat (Bhandari & Yasunobo, 2009). C. R. Browning (2009) melalui risetnya menemukan hal yang counter-intuitive sekaligus menarik. Bahwa peningkatan unsur-unsur modal sosial itu dalam sebuah masyarakat justru menurunkan perasaan mampu (efikasi) kolektif untuk menanggulangi kriminalitas di dalam masyarakat itu sendiri.
Dijelaskannya, yang terjadi adalah adanya trade-off dalam dinamika realisasi modal sosial. Kerekatan dan keguyuban sosial yang terbangun dalam modal sosial memang meningkatkan rasa saling percaya (trust) dan terikat (bonding) serta bergantung (interdependence) antaranggota masyarakat. Sayangnya, interdependensi dapat memperlemah kendali sosial antarsesama.
Hal tersebut termaktub dalam The Negotiated-Coexistence Model yang menyatakan bahwa modal sosial memang memperkuat norma bersama (shared norms), namun berpotensi besar untuk menantang pemberian sanksi terhadap pelanggaran norma itu. Implikasinya, dalam riset Browning, para (calon) pelaku kejahatan malah semakin "terintegrasi" di dalam masyarakat dan memanfaatkan modal sosial sebagai instrumen mereka.
Belajar dari model itu, dalam konteks pandemi Covid19, hal yang patut diwaspadai adalah terjadinya desensitisasi atau pengurangan kepekaan di tengah masyarakat terhadap pelanggaran pembatasan sosial. Hal ini dapat terjadi karena, justru berkat modal sosial, secara psikologis masyarakat enggan menerapkan sanksi sosial satu sama lain.
Jalan keluarnya, mengutip Durkheim (1984) adalah perlu penguatan jenis solidaritas lainnya, yang mengandung pembagian peran yang berdiferensiasi pada anggota masyarakat. Hal ini untuk menyeimbangkan jenis solidaritas yang mengandalkan keguyuban dan perasaan keterikatan. Hal ini masih kurang tersentuh dalam wacana mengenai modal sosial di Indonesia dalam menangani Covid-19.
Meskipun Browning melakukan risetnya dalam konteks kriminalitas, sisi lain dari modal sosial itu ternyata terjadi juga dalam berbagai bidang kehidupan lain. Dalam bidang ekonomi, misalnya, Portes (2014) mengakui bahwa modal sosial memang telah memainkan peran positif di banyak negara, termasuk dalam "economic miracles" di Belanda dan Denmark pada masa lalu.
Kendati demikian, dengan mengutip hasil-hasil studi empiris, ia memperingatkan juga bahwa penekanan positivitas modal sosial telah mengakibatkan terlupakannya rencana mitigasi terhadap akibat gelap dari modal sosial. Ia menyebut sebuah contoh, yakni fenomena kesalahan dan penggelembungan di pasar (market errors and bubbles). Menurutnya, gejala tersebut dapat terjadi karena kepercayaan dan kenyamanan yang berlebihan di kalangan pemain pasar, justru karena akumulasi modal sosial, tanpa pemantauan yang tekun satu sama lain terhadap fluktuasi pasar riil.
Dua Wajah
Dalam konteks pandemi Covid-19, temuan tersebut kembali menguatkan pengetahuan kita bahwa modal sosial memiliki dua wajah, positif dan negatif. Jembatan antarkedua wajah itu ialah pemantauan dan kontrol sosial. Dalam rangka itu, dibutuhkan dua hal. Pertama, kemampuan masyarakat untuk sejenak mengambil jarak psikis ketika sesamanya melakukan pelanggaran. Bahwa "yang melanggar" dan "yang patuh" adalah dua kategori masyarakat yang tidak lagi sama.
Kedua, keberanian masyarakat untuk mengambil peran secara impersonal, menghadirkan dan mendukung sanksi sosial sesegera mungkin menyusuli pelanggaran guna memulihkan harmoni sosial. Yaitu untuk menjadikan "yang melanggar" kembali menjadi "kita (yang disiplin)", bukan lagi "mereka (yang bandel)".
Sanksi sosial yang dimaksud bukan pertama-tama datang dari aparat keamanan, bukan juga "main hakim sendiri" yang tidak mengindahkan hukum positif, melainkan seyogianya bersumber dari etika, seni, dan kebijaksanaan masyarakat sendiri.
Di DI Yogyakarta, misalnya, terdapat imbauan untuk tidak membeli dari atau pun menjual kepada mereka yang tidak mengenakan masker. Dengan demikian, masyarakat akan merasa memiliki status identitas (secara afektif) sebagai sukarelawan yang berani secara moral mengawal pelaksanaan pembatasan sosial dan protokol kesehatan.
Relasi dengan pemerintah dalam penelitian kami (Anindya, Leolita, & Abraham, 2014), yang diterbitkan oleh International Journal of Research Studies in Psychology, ditemukan juga hubungan terbalik antara kepercayaan terhadap pemerintah (dalam konteks studi kami: pemerintah kota) dan kelekatan terhadap kota tersebut. Temuan riset yang lagi-lagi surprising ini, selain perlu dimaknai secara sangat berhati-hati, juga menghadirkan pemahaman baru.
R. Musgrav (1998) memang tandas menyatakan bahwa kepercayaan terhadap pemerintah merupakan modal sosial itu sendiri. Trust in government is a social capital without which a democratic society cannot function. Kendati demikian, kami menjelaskan berdasarkan hasil studi kami bahwa kepercayaan, yang merupakan modal sosial itu, mungkin berpotensi mematikan kreativitas komunitas masyarakat sendiri untuk berbuat sesuatu secara khas bagi kotanya. Akibatnya, perasaan memiliki atau kelekatan terhadap kota menjadi menurun.
Penjelasan tersebut didukung oleh hasil-hasil studi empiris mengenai hubungan antara kepercayaan dan kreativitas. Disebutkan, "distrust enhances creativity ... [through] cognnitive flexibility as its undelying mechanism." (Mayer & Mussweiler, 2011), serta, "The existence of groupthink suggests that trust can reduce creativity in groups." (Siacotos, 1998).
Kepercayaan, lebih-lebih dalam situasi keguyuban, akan membuat pikiran tidak luwes untuk menemukan cara-cara original dan genuine untuk menegakkan pembatasan sosial dan protokol kesehatan.
Menjawab pertanyaan awal: praktik-praktik pembatasan sosial dan protokol kesehatan boleh jadi sulit dimengerti (secara pikiran/kognitif) sebagai gerakan membantu sesama karena kepercayaan yang eksesif. Survei LSI yang diumumkan menjelang akhir 2019, beberapa bulan sebelum pandemi terjadi di Indonesia, memang menunjukkan, "Dibanding tiga tahun sebelumnya, saat ini tingkat kepercayaan terhadap Jokowi adalah yang paling tinggi."
Sementara itu, tak terpungkiri, berbagai kebijakan pemerintah beberapa bulan ini dinilai ambigu, kurang sinergi dan koordinasi, baik di tingkat pusat, daerah, maupun hubungan pusat dan daerah. Melalui modal sosial dan proses belajar sosial, masyarakat malah menjadi semakin percaya dan seperti melakukan "mimikri" atau meneladani ambiguitas dalam langkah melawan Covid-19.
Sangat baik dan diharapkan agar pemerintah tidak menyia-nyiakan modal sosial berupa kepercayaan masyarakat terhadapnya. Dalam kadarnya yang pas, kepercayaan publik terhadap pemerintah jelas perlu dan penting. Kendati demikian, pemerintah hendaknya menyadari bahwa gotong-royong melawan Covid-19 sungguh masih memerlukan banyak daya kritis dan kreatif dari berbagai elemen bangsa.
Dalam konteks itu, suara-suara "yang berbeda" dari para ilmuwan, profesi, tokoh masyarakat, serta orang awam (bottom-up), untuk mengkoreksi ambiguitas top-down yang terjadi dewasa ini bukan hanya sangat dibutuhkan. Melainkan perlu ditanggapi pemerintah bukan sebagai penggaduh atau pengeruh, tetapi sebagai komplemen dan kontrol modal sosial yang perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan.
Dr. Juneman Abraham psikolog sosial Himpunan Psikologi Indonesia
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)