Bukan cuma hasil pemeriksaan rapid test yang bisa menimbulkan reaksi terhadap penanganan Covid-19. Gagal mengkonstruksi komunikasi dapat menyulut reaksi masyarakat akibat semakin tergerusnya kepercayaan publik. Upaya pengambilan paksa jenazah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Corona di rumah sakit menjadi suatu petanda bahwa publik gagal paham. Aksi yang didasari lantaran adanya keraguan keluarga pasien terhadap kebijakan rumah sakit.
Mereka menolak jenazah keluarganya dimakamkan sesuai standar protokol. Tentu itu bukan suatu kebetulan. Rentetan kejadian tampak rancu. Sebab, jika hasil pemeriksaan lab dinyatakan negatif, kenapa rumah sakit yang harus melakukan proses pemakaman dengan tata cara Covid-19? Berbeda cerita jika hasilnya positif, karena dikhawatirkan terjadi penularan terhadap keluarga yang mengurus jenazah yang bisa menciptakan kluster baru.
Tapi, kita harus melihat kejadian secara objektif. Rumah sakit mungkin punya alasan, mengapa pemakaman jenazah PDP negatif "juga" harus diperlakukan dengan tata cara Covid-19, layaknya pasien positif. Kenyataannya, publik masih jauh dari kata paham.
Dalam situasi seperti ini, tim medis tidak lagi menjadi elemen satu-satunya garda terdepan dalam penanganan pandemi. Kemampuan berkomunikasi juga perlu mendapat perhatian lebih demi mengedukasi khalayak. Jika tidak ingin terjadi kekacauan lebih parah, publik perlu mendapat protokol khusus dalam memperoleh informasi secara komprehensif.
Jika persoalan ini diurai, pihak berwenang tidak hanya berperang melawan hoax seperti sebelumnya. Juga berhadapan dengan realitas dengan narasi yang mampu mengoyak sisi kemanusiaan. Ini sulit dibendung karena mudahnya berbagai informasi diakses di media sosial. Video pilu jenazah yang "di-covid-kan" telanjur viral. Alur cerita diterjemahkan dengan diksi yang berhasil memancing emosi juga kesedihan.
Warganet belum lama ini dibuat haru dan meneteskan air mata saat menyaksikan sebuah video di media sosial. Video yang memperlihatkan seorang gadis menangis histeris mengejar peti jenazah ibunya dibawa oleh tim medis berpakaian hazmat. Peti jenazah itu dimasukkan ke ambulans yang akan dibawa menuju kompleks pemakaman khusus Covid-19 di Macanda, Gowa, Sulawesi Selatan.
Gadis yang diketahui bernama Andi Arni Esa Putri Abram kecewa dan sakit hati. Ibunya, Nurhayani Abram (48) meninggal karena stroke di RS Bhayangkara Makassar itu harus ditangani dengan protap Covid-19. Arni mengungkapkan, ibunya mengalami pecah pembuluh darah sehingga berpulang akhir Mei lalu. Kesedihan Arni dan keluarga memuncak kala perawat menyebut almarhumah dinyatakan PDP Corona.
Arni yakin, ibunya sama sekali tidak menunjukkan gejala mirip corona seperti batuk dan sesak napas. Keyakinannya terjawab sepekan kemudian; hasil tes swab-nya negatif. Kejadian serupa tidak hanya menimpa Ibu Arni. Ada banyak pemakaman jenazah pasien PDP negatif dengan protap Covid-19 khususnya di Makassar.
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah mengatakan, kejadian tersebut merupakan sebuah dilema. Pasalnya, ada yang dinyatakan ODP dan PDP meninggal dunia, sementara dalam proses perawatan di rumah sakit, sedangkan hasil tes swab-nya belum usai. Buntut minimnya saluran informasi yang tepat, lahirlah stigma negatif publik kepada tenaga kesehatan. Terjadi kegalauan di tengah masyarakat yang mendorong aksi pengambilan paksa jenazah disusul penolakan warga terhadap rapid test.
Ibarat penyakit, situasi ini sudah kronis. Tenaga medis yang sebelumnya disebut sebagai pahlawan kini dituding meraup keuntungan materi dari pasien corona. Semakin menipisnya kepercayaan juga berimbas pada upaya pemerintah menekan pandemi. Dan bisa jadi sebagian masyarakat kita tidak lagi mempedulikan corona.
Mereka menjadi tak peduli, tidak lagi waspada, dan merasa tidak perlu lagi melakukan protokol kesehatan demi memutus mata rantai penyebaran virus. Terjadilah efek domino seiring lonjakan pasien positif menyentuh angka seribu setiap harinya.
Strategi Persuasif
Penyampaian pesan tentu tidak sesederhana memberikan instruksi melalui media. Rumah sakit, Gugus Tugas, termasuk pemerintah sebagai komunikator perlu memiliki strategi mengemas dan menyampaikan pesan secara persuasif. Sehingga, masyarakat menjadi paham dan mampu mengklasifikasikan pesan sebagai sebuah imbauan, perintah, atau peringatan.
Guna mengendalikan situasi kembali kondusif, komunikator memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada publik. Jika gagap menyampaikan pesan, jangan berharap tujuan dapat dicapai berakhir damai. Perlu untuk memperhitungkan apakah komunikan (masyarakat) mampu menangkap pesan yang disampaikannya.
Komunikator juga harus bisa menentukan mekanisme serta media yang akan digunakan untuk melakukan persuasi sehingga lebih tepat sasaran. Sebagai komunikator, pemerintah sebaiknya menunjukkan perhatian yang santun melalui penyampaian pesan. Sangat dibutuhkan penyambung lidah sebagai media yang bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat baik interpersonal maupun kelompok.
Penyambung lidah ini bisa berasal dari orang yang dipercaya, disegani dan dihormati dalam suatu kelompok masyarakat. Layaknya sebuah produk, penyambung lidah fungsinya seperti brand ambassador. Maka sudah sepatutnya jika si "brand ambassador" harus paham terkait dengan sistem birokrasi rumah sakit, penerapan standar protokol, dan sekelumit info tentang Covid-19.
Rumah sakit dan pemerintah wajib menyampaikan informasi penting kepada orang yang ditunjuk sebagai juru bicara. Berbekal informasi itu, penyabung lidah menyampaikan pesan ke khalayak dengan bahasa sederhana. Pemilihan diksi yang simpel, mudah dipahami, tidak ambigu serta menyesuaikan budaya penerima pesan.
Juga perlu memperhatikan kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan. Dengan begitu publik akan lebih paham terlebih jika yang menyampaikan adalah sosok yang memiliki kredibilitas. Sudah saatnya istilah-istilah asing yang dikembangkan WHO tidak lagi digunakan. Karena kerap kali menimbulkan multi interpretasi.
Inilah yang disebut sebagai social orchestra. Di mana pihak berwenang baik rumah sakit, gugus tugas, pemerintah daerah melalui perwakilan memainkan nada-nada indah penuh pesan. Apalagi jika menciptakan ekosistem digital yang turut melibatkan partisipasi influencer dalam jejaring media sosial sebagai bentuk respons komunikasi. Adapun hasil yang ingin dicapai adalah mengubah persepsi publik.
Persepsi yang awalnya menolak atau tidak sepikiran, dengan pesan persuasif, diharapkan pemikiran komunikan akan berbalik dari tidak setuju menjadi setuju. Yang dulu sukar rela bisa menjadi sukarela. Tapi kenyataannya, penerapan respons komunikator malah ambyar.
Memang banyak informasi yang diberitakan media. Sangat disayangkan, tidak semua pesan yang dikemas dalam berita itu yang dibutuhkan masyarakat. Sepenting apa pun informasi yang dipersepsikan oleh komunikator melalui media, bila informasi yang tidak dianggap penting oleh komunikan yang ditargetkan, informasi itu pun menjadi tidak penting. Sementara rakyat butuh penjelasan yang relevan dengan kondisi yang dialami.
Menjadi Pendengar
Komunikator juga perlu menjadi pendengar. Dengan mendengarkan, komunikator akan tahu bagaimana karakteristik, keluhan, dan kebutuhan komunikan. Pihak berwenang yang memahami komunikan akan lebih mampu mempengaruhi emosi dan alam bawah sadar komunikannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan begitu, publik akan mempersepsikan pemerintah sebagai komponen yang benar-benar memiliki kepekaan serta kepedulian. Peduli pada permasalahan dan kebutuhan serta dapat diandalkan untuk memberikan solusi dari problema yang dihadapi oleh masyarakat.
Semua kembali pada strategi, cara menyampaikan pesan, dan kemampuan menjadi pendengar. Bukan malah merespons dengan tindakan represif dengan jeratan pidana. Itu Semakin menunjukkan kegagalan pemerintah berkomunikasi.