Pada tingkat yang lebih tinggi, anak-anak melawan kita, orangtua mereka. Situasinya sudah berubah jadi konflik, bukan lagi hubungan kasih sayang. Situasi ini lebih menguras emosi. Bila tidak mampu mengendalikan, emosi kita justru akan memperburuk hubungan dengan anak.
Apa yang harus dilakukan? Dalam pengasuhan anak kita perlu mengendalikan dua hal, yaitu perilaku anak dan emosi kita sendiri. Dalam hal ini ada satu hal penting yang perlu kita ingat. Yaitu, pengendalian perilaku anak harus berbasis pada suatu nilai, bukan sekadar mengikuti keinginan kita belaka.
Banyak orangtua yang ingin anaknya patuh. Apa yang harus dipatuhi? Kehendak orangtua. Kalau orangtua ingin anaknya diam, maka anak harus diam. Kalau orangtua ingin anaknya pakai baju merah, anak harus pakai baju merah. Begitu seterusnya. Anak diperlakukan sebagai pelaksana kehendak orangtua saja.
Ingatlah bahwa anak kita, berapa pun umurnya, adalah individu yang punya kehendak. Makin bertambah usianya, makin kuat kehendaknya. Mengendalikan perilaku anak dengan memaksakan kehendak kita sama artinya dengan menjajah mental mereka.
Lebih parah lagi, kehendak orang tua juga sering berubah dan tidak konsisten. Sebentar begini sebentar begitu. Anak dibuat bingung oleh ketiadaan standar atau pedoman untuk berperilaku.
Beban emosi kita bersumber dari hal ini. Kita menghendaki perilaku anak terkendali. Padahal kendali yang kita terapkan bertentangan dengan keadaan natural anak, yaitu bahwa mereka juga punya kehendak tadi. Kita sedang membangun konflik yang menguras emosi. Makin besar anak kita, makin besar konflik yang akan terjadi.
Lalu, bagaimana sebaiknya? Prinsipnya, anak-anak tidak harus patuh pada kehendak kita, tapi pada seperangkat nilai. Kita pun mematuhi nilai-nilai yang sama. Selama kita tidak mengubah nilai yang kita anut, tidak akan ada inkonsistensi yang membingungkan anak.
Yang kita lakukan dalam pengasuhan anak adalah soal bagaimana anak-anak mematuhi nilai-nilai tadi. Bagaimana membuat anak-anak mematuhinya? Ini sebenarnya adalah proses belajar. Anak sebagai murid, dan kita sebagai guru. Proses belajarnya melalui interaksi kita dengan anak. Setiap detik yang berlalu dalam interaksi kita dengan anak adalah momen pendidikan.
Orangtua harus hadir di dekat anaknya, seperti guru hadir di kelas. Semakin sedikit waktu yang disediakan untuk berinteraksi dengan anak, makin sedikit waktu belajar anak, dan makin sedikit pelajaran yang didapat anak. Makin sedikit pelajaran yang mereka peroleh, makin sedikit pula pemahaman mereka atas nilai-nilai tadi.
Sumber masalah emosi yang membuat hubungan orangtua dengan anak jadi tegang adalah, orangtua tak menyediakan cukup waktu untuk mengajarkan nilai-nilai pada anaknya, tapi berharap anak-anak paham dan patuh pada nilai-nilai itu. Itu ibarat guru yang jarang hadir di kelas, tapi berharap nilai tes murid-muridnya bagus. Artinya, Anda berharap memanen hasil yang tidak Anda semai, juga tidak Anda rawat dengan baik.
Sumber lain masalah emosi itu adalah harapan yang tak wajar. Anda mengharap perilaku tertentu, yang tak sesuai dengan kemampuan anak. Kenapa harapan itu ada? Karena Anda tak mengenal anak Anda, tidak memahami perkembangan mereka. Anda mungkin selalu hadir di dekat mereka, tapi tidak berempati menyelami segenap situasi, perkembangan, dan kebutuhan mereka. Anda jadi seperti berkomunikasi dengan orang yang memegang radio dengan frekuensi yang berbeda. Pesan dari kedua pihak tidak bisa ditangkap.
Kenali anak Anda, melalui interaksi yang intensif, lalu tempatkan harapan Anda sesuai perkembangan mereka.
Ada hal-hal yang sebenarnya tidak melanggar nilai, yang ingin dilakukan anak, tapi kita tak menyukainya. Kalau kita larang, anak mempertanyakan kenapa tidak boleh. Kita tak sanggup menjelaskan sampai mereka paham. Akibatnya terjadi lagi konflik.
Anak-anak perlu diberi otonomi. Hal-hal yang tidak melanggar nilai yang kita tetapkan untuk dianut, tidak perlu kita larang, meskipun kita tak suka. Bebaskan saja mereka untuk melakukannya. Itu akan mengurangi konflik yang tidak perlu dan menguras emosi.
Perhatikan, sebenarnya ada banyak konflik emosional dengan anak yang bersumber pada orangtua. Pada diri kita sendiri. Kalau kita bisa mengendalikan diri, konflik itu tidak akan terjadi. Kita tidak akan terbebani oleh perasaan tidak enak, anak juga tidak terluka. Bagaimana cara mengendalikan emosi itu?
Situasi emosional terjadi ketika kita merespons tindakan anak secara reaktif. Ketika ada hal yang tidak sesuai selera kita, langsung kita bereaksi, dan sering kali reaksi itu negatif. Untuk mencegah hal itu, agar situasi emosi terkendali, pakar pengasuhan anak mengajarkan prinsip PETER dalam memberikan respons terhadap perilaku anak. PETER singkatan dari Pause, Empathisize, Think, Exhale, Respond.
Ketika terjadi sesuatu, ketika ada sikap anak yang menurut kita tidak patut, jangan serta-merta bertindak. Itu namanya reaktif. Tindakan reaktif tidak disertai dasar pemikiran logis, tidak pula berbasis pada satu tujuan. Jadi, jangan reaktif. Pause, ambillah jeda sejenak. Tahan tindakan Anda.
Kemudian, emphatisize, berempatilah. Pahami apa pemicu tindakan anak kita itu. Setiap tindakan anak pasti ada pemicunya. Cari, kenali dan pahami. Mengetahui pemicu adalah awal yang baik untuk menyelesaikan masalah. Kemudian pahami emosi apa yang ada di balik perilaku itu. Selami apa yang sedang dirasakan oleh anak kita.
Selanjutnya think, berpikirlah. Anda akan mengambil tindakan. Apa tujuannya? Agar anak Anda belajar, mendalami suatu nilai, dan apa konsekuensi tindakan berbasis pada nilai tadi. Tetapkan apa tujuan pembelajaran, dan bagaimana metode untuk membuat anak kita belar.
Sebelum metode itu dterapkan, exhale, tarik napas. Tenangkan diri Anda. Bebaskan diri dari amarah yang bisa membuyarkan tujuan pembelajaran tadi. Barulah Anda boleh melakukan hal lain, yaitu respond, atau bertindak sebagai respons terhadap perilaku anak.
Yang menguras emosi adalah respons yang tidak efektif. Yaitu respons yang tidak didahului oleh PETE.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini