Judul Buku: The Scientific Attitude: Defending Science from Denial, Fraud, and Pseudoscience; Penulis: Lee McIntyre; Penerbit: The MIT Press, 2019
Apa yang membuat sains itu berbeda dari berbagai jenis pengetahuan lain? Jawaban yang biasa diberikan adalah: metodenya. Sains memiliki metode khusus untuk memperoleh pengetahuan yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode itu kemudian disebut sebagai metode ilmiah (scientific method).
Melalui apa yang disebut sebagai metode ilmiah itulah, para filsuf sains membuat demarkasi antara sains dan non-sains. Namun, persoalannya, sampai saat ini tidak ada kesepakatan di antara para filsuf sains tentang metode ilmiah seperti apa yang bisa menjadi garis pemisah antara sains dan non-sains. Para filsuf punya pandangan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan, tentang persoalan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, Lee McIntyre, penulis buku ini dan sekaligus peneliti di Centre for Philosophy and History of Science di Universitas Boston, menawarkan pandangan lain tentang apa yang membuat sains itu spesial dan layak dipercaya. Menurutnya, bukan metodenya yang membuat sains itu layak dipercaya, melainkan apa yang disebut sebagai "sikap ilmiah" (scientific attitude) (hlm. 52).
Apa itu sikap ilmiah? Ia adalah sikap untuk berkomitmen pada dua prinsip dasar, yaitu peduli pada bukti empiris dan mau mengubah teori jika ditemukan bukti empiris baru yang membuktikan bahwa teori itu salah (hlm. 57).
Sikap ilmiah itulah, menurut McIntyre, yang membedakan sains dari non-sains ataupun dari pseudosains. Sikap ini juga yang tidak dimiliki oleh para penyangkal sains (denialists) dan oleh para ahli teori konspirasi (conspiracy theorists). Mereka sama-sama tidak peduli dengan bukti empiris, sebab mereka hanya ingin melihat bukti-bukti yang bisa mendukung keyakinan mereka.
Para penyangkal sains, misalnya, mereka menolak untuk mempercayai teori-teori ilmiah yang sudah terjamin bahkan meskipun bukti-buktinya sudah melimpah (hlm. 174). Hal itu terjadi ketika teori-teori ilmiah yang ada bertentangan dengan keyakinan ideologis mereka. Itulah yang terjadi, misalnya, pada para penyangkal perubahan iklim (climate change deniers).
Meskipun sudah ada konsensus di antara para ilmuwan --yang tentu didasari oleh bukti-bukti empiris-- bahwa telah telah terjadi perubahan iklim; climate change deniers ini tetap saja menolak untuk percaya. Mereka bahkan melakukan kontra-narasi terhadap kampanye perubahan iklim dan menentang upaya untuk menyelamatkan bumi dari iklim yang jauh lebih buruk.
Sama seperti penyangkalan terhadap sains (denialism), pseudosains juga tidak memedulikan bukti-bukti empiris. Artinya, keduanya sama-sama jauh dari sikap ilmiah. Hanya saja pseudosains ini tidak sefrontal denialism. Alih-alih menolak teori ilmiah seperti denialism, pseudosains berusaha memakai jubah sains untuk mempromosikan apa yang disebut "teori pinggiran" (fringe theory). Namun, begitu ada bukti-bukti empiris yang menolak "teori pinggiran" tersebut, mereka enggan untuk mengubah keyakinannya (hlm. 174).
Contoh pseudosains adalah teori perancangan cerdas (intelligent design theory) yang diajukan sebagai teori alternatif (atau "teori pinggiran") terhadap teori evolusi. Teori ini menyatakan bahwa ciri-ciri tertentu yang ada di alam semesta adalah hasil dari sebuah perancangan yang cerdas, bukan hasil dari sebuah proses tak terarah seperti seleksi alam, dan perancangnya tiada lain adalah Tuhan.
Dengan kata lain, teori perancangan cerdas itu sebenarnya adalah doktrin teologis tetapi dibungkus dengan jubah sains sehingga seolah-olah saintifik. Dalam sudut pandang McIntyre, ia hanya akan punya status ilmiah, bukan pseudo-ilmiah, jika pertama-pertama perumusannya didasarkan pada bukti-bukti empiris dan begitu ada bukti empiris baru yang menyangkalnya maka ia dengan suka rela mengubah atau bahkan membuang teorinya. Namun, sayangnya, itu tidak terjadi.
Ketiadaan sikap ilmiah juga terjadi pada teori konspirasi. Contoh paling aktual adalah teori konspirasi tentang pandemi virus corona. Ia berpandangan bahwa situasi yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil dari konspirasi elite global guna mengontrol penduduk di seluruh dunia.
Teori semacam itu disusun dengan memilah-milih (cherry-picking) data dan fakta yang kira-kira bisa mendukung keyakinan pembuatnya dan mengabaikan data dan fakta lain yang dapat menggugurkannya. Maka dicarilah fakta-fakta parsial yang dapat menunjukkan adanya konspirasi elite global di balik pandemi corona dan fakta-fakta itu kemudian dihubung-hubungkan sehingga menjadi satu narasi besar yang tampak sangat meyakinkan.
Namun, begitu disodori data-data empiris yang menunjukkan bahwa virus corona itu bukan hasil rekayasa, melainkan memang benar-benar terjadi secara alamiah, para pendukung teori konspirasi ini akan menolak mentah-mentah. Oleh karena itu, Carl Sagan menyebut teori konspirasi sebagai teori yang tertutup dan, karenanya, tidak ilmiah (hlm. 179). Ia tidak pernah mau mengoreksi dirinya di hadapan fakta-fakta empiris yang menentangnya.
Kemauan untuk mengoreksi diri sendiri (self-correcting) itulah yang tidak dimiliki oleh teori-teori lain di luar teori ilmiah. Alasan mengapa kita layak mempercayai teori ilmiah bukan karena ia pasti benar dan tidak pernah salah, melainkan karena kemauannya untuk mengubah dan mengoreksi dirinya sendiri di hadapan data dan fakta.
Teori ilmiah bukan tidak mungkin salah dan, dalam sejarahnya, memang banyak teori ilmiah yang terbukti salah. Namun, begitu ada fakta-fakta empiris yang membuktikan bahwa ia salah, ia mau untuk segera mengakui dan mengoreksi kesalahannya. Hal itu yang terjadi, misalnya, pada ilmu kedokteran saat mengganti teori miasma dengan teori kuman (germ theory).
Sebelum akhir abad ke-19, dunia kedokteran --meminjam istilah Kuhn-- memiliki satu paradigma bahwa penyakit seperti kolera dan Maut Hitam (Black Death) itu disebabkan oleh "miasma" yang dalam bahasa Yunani berarti polusi atau "udara buruk" atau dikenal juga sebagai udara malam. Maka, berdasarkan teori itu, penyakit tersebut tidak diperoleh melalui penularan antarindividu, tetapi melalui lingkungan tempat seseorang itu tinggal.
Pada 1880-an, teori miasma itu mulai ditinggalkan, karena ditemukan adanya mikroorganisme yang dikenal sebagai "kuman". Mikroorganisme ini menyerang makhluk hidup lain sebagai inangnya. Di dalam inangnya inilah, dia berkembang dan melakukan reproduksi, sehingga dapat menimbulkan penyakit bagi inang yang dia tempati. Dengan penemuan teori kuman tersebut, dunia kedokteran mengubah banyak hal dalam caranya menangani penyakit menular.
Dengan demikian, meskipun sains tidak bisa menjamin bahwa teorinya pasti benar, tetapi dengan kemampuannya untuk terus memperbaiki diri, sains bisa membawa kita semakin dekat pada kebenaran.
Taufiqurrahman peneliti di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics
(mmu/mmu)