Setelah sekian lama tidak mendapat kepastian dari pemerintah Arab Saudi, akhirnya pada Selasa (2/6) Kementerian Agama (Kemenag) RI mengeluarkan SK tentang pembatalan keberangkatan jemaah haji tahun 1441 H/2020 M. Selain sampai 1 Juni 2020 belum ada keterangan dari pemerintah Arab Saudi terkait pelaksanaan ibadah haji, salah satu pertimbangan penting lain dalam SK Kemenag No. 494 Tahun 2020 ini adalah bahwa dalam ajaran Islam menjaga jiwa merupakan salah satu dari lima maqashid syari'ah selain menjaga agama, akal, keturunan, dan harta.
Kaitannya menunaikan haji dan pilihan menjaga jiwa (hifz nafs), Fariduddin Attar (1120-1230 M) menuliskan sebuah kisah dalam kitab Tadzkirah al-Auliya'. Ia mengisahkan bahwa setelah selesai melaksanakan manasik haji, seorang sufi bernama Abdullah bin Mubaraq merasa lelah dan beristirahat hingga setengah tertidur di Masjidil Haram. Setengah sadar dan tidak, ia mendengarkan percakapan dua malaikat yang sedang membicarakan "nasib" ibadah haji seluruh jamaah yang tahun itu sedang menunaikan panggilan Allah.
Abdullah bin Mubaraq mendengar perkataan salah satu malaikat yang bertanya terkait jumlah jamaah haji di tahun itu. Satu malaikat yang lain menjawab bahwa jumlahnya adalah enam ratus ribu orang. Beberapa saat kemudian, malaikat pertama bertanya untuk kedua kalinya terkait jumlah ibadah haji yang diterima. Malaikat kedua pun menjawab bahwa dari keseluruhan jamaah haji yang hadir, tidak ada satu pun yang amalnya diterima oleh Allah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendengar percakapan kedua malaikat tersebut, Abdullah bin Mubaraq merasa sangat sedih. Ia berpikir betapa para jamaah haji merupakan orang-orang yang telah berjuang dengan susah payah dari berbagai belahan dunia. Selain harus kelelahan fisik, para jamaah haji harus menyisihkan uang yang nominalnya banyak juga harus meninggalkan keluarga beserta kampung halaman untuk waktu yang tidak sebentar. Ia merasa prihatin jika pengorbanan besar ini tidak diterima oleh Allah.
Beberapa saat kemudian, Abdullah bin Mubaraq mendengar percakapan lanjutan dua malaikat. Malaikat kedua menyampaikan hal aneh bahwa saat itu Allah menuliskan pahala ibadah haji kepada seorang yang justru tidak berangkat haji. Malaikat tersebut menyebut nama seorang hamba tersebut adalah Ali bin al-Muwaffaq, seorang lelaki tukang sol sepatu yang berada di Damaskus. Tidak hanya itu, malaikat ini pun mengatakan bahwa berkat lelaki tersebut, maka Allah Swt akhirnya menerima ibadah haji seluruh jamaah yang datang pada tahun itu.
Singkat cerita, Abdullah bin Mubaraq pun mencari Ali bin al-Muwaffaq di Damaskus. Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan bertanya kepada penduduk setempat, akhirnya ia menemukan lelaki yang dimaksud. Ia pun segera menanyakan keadaan orang tersebut hingga disebut-sebut malaikat di dalam mimpinya.
Ali bin al-Muwaffaq mengisahkan bahwa dirinya menyisihkan sebagian hasil dari bekerja sol sepatu selama tiga puluh tahun dalam rangka melaksanakan ibadah haji. Suatu ketika, istrinya yang sedang hamil mencium aroma masakan tetangga. Ia sangat menginginkan untuk dapat ikut mencicipi makanan tersebut. Ali bin al-Muwaffaq pun segera berkunjung ke tetangga yang dimaksud.
Setelah Ali bin al-Muwaffaq mengatakan tujuannya berkunjung, tetangganya yang miskin itu pun menangis sambil mengatakan bahwa dirinya tidak akan memberikan masakannya. Ia menjelaskan bahwa makanan yang dimasak adalah halal dikonsumsi diri dan ketiga anaknya yang yatim, namun haram bagi Ali bin al-Muwaffaq dan keluarga. Perempuan lemah itu menceritakan bahwa sudah beberapa hari anak-anaknya tidak bisa makan karena tidak ada persediaan makanan di rumah.
Hingga suatu ketika, dirinya menemukan bangkai keledai dan diambilnya sebagian daging untuk dimasak dan dimakan beserta anak-anaknya sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup. Mendengar kisah perempuan janda miskin ini, Ali bin al-Muwaffaq segera pulang dan mengambil uang sejumlah 350 dirham yang sedianya akan digunakan untuk beribadah haji. Ia memberikan seluruh uang tersebut kepada tetangganya agar bisa digunakan untuk kebutuhan hidup diri dan anak-anaknya seraya memohon agar mendapatkan rida dan pahala haji dari Allah.
Jangan Berkecil Hati
Kisah tersebut mengingatkan kepada para calon jamaah yang tahun ini batal melaksanakan ibadah haji karena Covid-19. Dalam kisah itu, Ali bin al-Muwaffaq memilih mendahulukan hifz nafs tetangga dari pada melaksanakan cita-citanya menunaikan ibadah haji. Bisa saja saat itu Ali bin al-Muwaffaq tidak memberikan tabungan hajinya kepada tetangga. Konsekuensinya, ia bisa melaksanakan ibadah haji sementara tetangganya terus-menerus makan barang haram atau bahkan meninggal dunia karena kelaparan. Namun demikian, Ali bin al-Muwaffaq memilih menginfakkan tabungan haji untuk kelangsungan hidup tetangga.
Tahun ini, pelaksanaan ibadah haji dibayang-bayangi oleh wabah Covid-19. Jika saja para jamaah tetap berangkat haji, ada kemungkinan besar bahwa umat muslim Indonesia akan menjadi perantara penyebaran virus. Bisa jadi mereka membawa virus (yang tidak terdeteksi) dari Indonesia dan menular di sepanjang perjalanan kepada jamaah luar negeri atau sebaliknya, membawa virus dari luar untuk ditularkan ke masyarakat Indonesia.
Dalam pada itulah, umat muslim Indonesia yang saat ini sedang mendapat jatah berangkat ibadah haji namun gagal, jangan sampai berkecil hati. Niatkanlah ketidakberangkatan sebagai wujud ketaatan kepada Allah, yakni hifz nafs. Dengan begitu, para calon jamaah akan ikhlas dengan ujian wabah dari Allah, termasuk sabar terhadap keputusan pemerintah melalui SK Kemenag tentang pembatalan keberangkatan jamaah haji.
Anton Prasetyo, M. Sos Pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) PCNU Gunungkidul Yogyakarta
(mmu/mmu)