Tak seperti sekolah pada umumnya, hal yang diajarkan oleh pesantren itu bukan sekedar keilmuan, melainkan juga soal tingkah-laku. Jika urusan pengajaran keilmuan bisa tersampaikan lewat kata-kata, urusan tingkah-laku mesti dicecap lewat pembiasaan, pendisiplinan, serta pengamatan langsung atas contoh prilaku yang baik.
Interaksi langsung antarsantri dan dengan kiai/nyai adalah sesuatu yang inheren dari pendidikan pesantren. Di sini kemudian pendidikan pesantren itu betul-betul terpukul dengan adanya pandemi Covid-19. Wabah ini telah memaksa semua orang, tak terkecuali orang-orang pesantren, untuk melakukan penjarakan fisik.
Awal pemerintah menyatakan pentingnya penjarakan fisik ini, banyak pesantren kemudian bergerak memulangkan para santri dan mengubah sistem pengajaran pesantren menjadi pengajaran online (ngaji online). Meski bermodal fasilitas dan kemampuan teknologi yang sekadarnya, pesantren berupaya secara masif menggelar praktik-praktik ngaji online.
Wajah ngaji online yang biasanya didominasi oleh kajian Islam yang dikemas receh dan banal bahkan terkadang diselingi cacian di sana-sini, pada bulan Ramadhan kemarin terpaksa tersingkir oleh bermunculannya banyak kajian Islam online khas pesantren yang serius, mendalam, dan moderat.
Saat ini, pemerintah mulai mewacanakan kebijakan new normal dalam menghadapi pandemi Covid-19. Meskipun sebenarnya tujuan utama pemerintah mempertimbangkan kebijakan ini adalah semata ekonomi, bukan pendidikan, pesantren sebagai bagian dari negara ini juga turut menjadi bagian dari kebijakan new normal ini. Pemerintah telah membicarakan tentang rencana pembukaan kembali pesantren dan protokol kesehatannya.
Namun, terlepas dari rencana itu, beberapa pesantren sebenarnya sudah menetapkan untuk membuka kembali pondok pesantrennya sejak pemerintah mewacanakan kebijakan new normal ke muka publik. Beberapa pesantren di Jawa Timur yang saya tahu sudah mulai mengumumkan tentang jadwal kembali santri ke pesantren beserta aturan protokol kesehatannya. Realitas ini jelas mengkhawatirkan.
Pertama, hingga saat ini, kasus positif Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan tren penurunan yang stabil. Bahkan pada 9 Juni kemarin kasus positif Covid di Indonesia kembali mencatat rekor kasus tertinggi baru, yaitu 1043 kasus. Ditinjau dari persebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia, Jawa Timur sebagai lumbung pesantren di Indonesia masih sering menempati kursi teratas penambahan kasus positif Covid-19 akhir-akhir ini.
Kedua, fasilitas pondok pesantren di Indonesia umumnya belum betul-betul memadai untuk memenuhi standar protokol kesehatan Covid-19. Kalau soal kedisiplinan memenuhi protokol kesehatan, saya kira tidak perlu khawatir karena santri itu sudah terbiasa hidup disiplin di pesantren. Tapi kalau soal fasilitas kesehatan agaknya kebanyakan pesantren memang belum betul-betul memadai.
Bilik-bilik pondok di pesantren itu sering kali terisi penuh oleh santri dan nyaris tidak mungkin menerapkan penjarakan fisik di situ. Tempat-tempat mandi di pesantren masih belum memenuhi standar protokol kesehatan Covid-19 karena seringnya dipakai bersama-sama.
Ketiga, santri di satu pondok pesantren itu heterogen. Asal santri dari satu pondok pesantren itu bisa dari berbagai daerah dan tidak menutup kemungkinan ada banyak santri yang berasal dari daerah zona merah Covid-19 atau minimal melewati daerah zona merah saat nanti kembali ke pondok pesantren.
Tiga realitas di atas secara gamblang menunjukkan bahwa pesantren sebenarnya masih belum memenuhi standar new normal yang dari WHO. Oleh karena itu, pemerintah mestinya betul-betul mempertimbangkan hal itu sebelum menerapkan new normal di pesantren. Kalau perlu jangan terburu-buru memaksakan pesantren untuk menerapkan new normal, karena memang terlalu berisiko.
Sebaiknya pemerintah fokus saja untuk memperkuat kajian Islam online yang selama ini masih dihelat ala kadarnya oleh orang-orang pesantren. Tunjangan kuota internet bagi para santri, ustadz/ustadzah, dan kiai/nyai bisa menjadi opsi. Apresiasi bagi penyelenggara kajian Islam online pesantren juga harus dilakukan oleh pemerintah. Bukankah kajian Islam online pesantren ini sangat mendukung terhadap kampanye deradikalisasi agama yang dicanangkan oleh pemerintah?
Terlepas dari itu, andai dalam pembahasan tentang rencana pembukaan kembali pesantren dan protokol kesehatannya, pemerintah nanti memutuskan untuk memaksa pesantren menerapkan new normal, agaknya orang-orang pesantren perlu melakukan tinjauan ulang.
Ada baiknya pesantren fokus saja dulu pada penguatan kajian Islam online bagi para santri, karena inilah alternatif yang paling aman dan lebih murah. Tentu saja ini berat, karena harus mengorbankan tradisi pengajaran ilmu laku yang mensyaratkan interaksi langsung.
Tak perlu menunggu uluran tangan pemerintah untuk memperkuat kajian Islam online ini. Semua elemen pesantren mulai dari alumni, wali santri, hingga simpatisan pesantren harus segera bergotong royong menguatkan pendidikan virtual bagi para santri. Arahkan dana-dana zakat dan infak untuk memfasilitasi para santri dan kiai menjalankan kajian Islam secara online.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukankah pesantren sudah terbukti mampu hidup mandiri? Dengan modal kemandirian dan gotong royong pesantren masih mampu untuk bertahan. Dengan pengalaman berharga ini mestinya pesantren bisa mengulang kembali prestasinya kalau nanti tatanan new normal benar-benar diberlakukan.