Fikih (hukum Islam) adalah pemahaman tentang syariat agama yang berbentuk hukum atau aturan. Esensi fikih adalah kontekstual dan dinamis. Oleh karena itu, fikih selalu mempunyai aliran baik dalam cara berpikir maupun produknya.
Salah satu aliran fikih yang menarik adalah fikih aqalliyat (kaum minoritas) yang berkembang di Eropa Barat. Mereka mempunyai fikih yang berbeda dengan fikih pada umumnya. Kondisi sosial, alam dan geografis menuntut mereka untuk merumuskan kembali fikih mereka sendiri.
Sebagai contoh adalah penentuan waktu salat dan lama puasa untuk daerah dekat Kutub (baca tidak normal). Ketika musim panas tiba, daerah di Kutub Utara, matahari tidak pernah tenggelam, dan sebaliknya daerah di Kutub Selatan, matahari tidak pernah terbit.
Di sinilah pemahaman secara tekstual tentang waktu salat dan puasa berdasarkan peredaran semu matahari menjadi sulit untuk diterapkan. Maka diperlukan interpretasi lain tentang waktu salat agar sholat dan puasa dapat dilaksanakan di daerah sekitar kutub bumi.
Pada titik inilah, aya tertarik untuk mengajak pembaca mendiskusikan tentang urgensi merumuskan kembali fikih di era new normal, seperti fiqih aqalliyat ini.
Fikih "Normal"
Prinsip-prinsip Islam pada dasarnya mengarah pada pembentukan masyarakat yang bersifat komunal. Norma atau aturan sosial (fikih muamalah) salah satu aspek utamanya adalah penguatan karakter kolektivitas. Aturan bersedekah, bertetangga, bermajelis, dan bertransaksi semua berorientasi pada kemanfaatan pada orang lain dan semangat kebersamaan.
Dalam fikih pun dikenal hukum fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada orang Islam secara komunal, bukan individu. Bahkan, dalam hal yang ibadah bersifat pribadi, hubungan vertikal kepada Tuhan (fikih ibadah), prinsip komunalitas tetap diprioritaskan. Salat wajib lima waktu diutamakan dilaksanakan berjemaah dan di masjid. Dalam aturan barisan berjamaah pun diatur bahwa barisan harus rapat, tidak berjarak.
Oleh karena itu, intensitas interaksi harian umat Islam secara fisik sangatlah kuat. Karena hampir semua fikih ibadah maupun muamalah menuntut interaksi langsung antarindividu. Prinsip ini kemudian diperkuat lagi dengan budaya khas Indonesia yang lebih bersifat gemeinschaft, budaya yang mengutamakan kebersamaan.
Oleh karena itu, komunalitas, kedekatan sosial dan fisik masyarakat muslim di Indonesia bukan semata dilandasi oleh aspek teologis, namun juga budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fikih New Normal
Tatanan masyarakat yang sudah mapan ini tiba-tiba digoyang oleh kehadiran wabah penyakit Covid-19. Sejak pertama kasus ini ditemukan di Indonesia, Maret 2019 angka orang positif terinfeksi virus ini terus bertambah sampai sekarang dan menyebar hampir di seluruh kota di Indonesia.
Penyebaran virus melalui kontak fisik manusia ke manusia lain telah melahirkan kebijakan social dan physical distancing. Tak bisa dihindari lagi, kebijakan ini mempengaruhi norma ibadah umat Islam, termasuk segala aktivitas umat Islam di masjid.
Teks suci yang memerintahkan kolektivitas, seperti ibadah berjemaah, Salat Tarawih, dan Salat Idul Fitri di masjid tiba-tiba diabaikan dalam rangka menjaga keselamatan jiwa dan menghentikan laju penyebaran virus mematikan.
Sampai saat ini, MUI sudah mengeluarkan setidaknya 4 fatwa untuk merespons penyebaran wabah Covid-19. Fatwa No. 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah, fatwa No.17 Tahun 2020 tentang pedoman kaifiat salat bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19, fatwa No. 23 tahun 2020 tentang pemanfaatan harta zakat, infak dan sedekah untuk penanggulangan Covid-19, dan fatwa No. 28 tahun 2020 itu tentang panduan kaifiat takbir dan salat Idul Fitri.
Dua ormas besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun juga mengeluarkan fatwa dan pedoman yang menguatkan fatwa-fatwa MUI. Namun demikian, tidak ada fikih kalau tidak ada perbedaan. Dalam praktik di masyarakat, tidak sepenuhnya mereka mengikuti fatwa MUI. Keterbatasan dan keragaman pemahaman tentang Covid-19 menjadi salah satu penyebabnya.
Ke depan, fatwa-fatwa MUI, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah ini akan diuji dari waktu ke waktu, apakah menjadi tatanan baru dalam fikih atau sifatnya hanya sementara. Untuk menuju ke arah tersebut, tampaknya pemerintah dan MUI perlu melibatkan lebih banyak lagi, pakar lintas bidang, khususnya epidemiologi, kesehatan, lingkungan, dan sosiologi.
Munajat, Ph.D dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga