Aspek Hukum Surat Keterangan Bebas Corona
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Aspek Hukum Surat Keterangan Bebas Corona

Kamis, 11 Jun 2020 15:00 WIB
Afiful Jauhani
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Surat keterangan bebas Corona palsu yang beredar di Bali (dok. Polda Bali)
Surat keterangan bebas corona palsu yang beredar di Bali (Foto: dok. Polda Bali)
Jakarta - Wabah Covid-19 selama hampir lima bulan ini telah mengubah banyak hal dalam pola tatanan kehidupan warga di seluruh negara, tentunya termasuk dalam aspek pelayanan kesehatan. Salah satu tren yang cukup kentara akhir-akhir ini adalah peningkatan permintaan Surat Keterangan Bebas Covid-19.

Pasca perayaan Idul Fitri 1441 H, warga mulai berbondong-bondong akan kembali ke perantauan. Meski pemerintah telah mengimbau masyarakat untuk tidak berpergian sebagai upaya pengendalian transmisi penyakit ini, namun sepertinya magnet ritual perayaan Idul Fitri di kampung halaman lebih kuat. Saat rangkaian perayaan mulai usai, banyak orang yang harus kembali bekerja ke kota perantauan.

Ternyata langkah mereka untuk kembali tidak semudah tahun-tahun sebelumnya, karena beberapa moda transportasi dan beberapa daerah mensyaratkan adanya Surat Keterangan yang menyatakan bahwa orang tersebut bebas Covid-19. Hal ini sebagai upaya pengendalian transmisi penyakit, karena dengan manifestasi yang beragam, penyakit ini bisa saja asimtomatik (tanpa gejala) dan tetap memiliki potensi mentransmisikan virus (carrier). Para carrier asimtomatik inilah yang berpotensi menjadi silent spreader.

Fasilitas pelayanan kesehatan pun mulai dibanjiri permintaan Surat Keterangan Bebas Covid-19. Hal tersebut juga memunculkan beberapa diskusi di internal tenaga medis sendiri, bagaimana sebenarnya seseorang dapat dikatakan bebas Covid-19?

Apakah hanya cukup dengan rapid test? Apakah mutlak harus dilakukan usap/swab saluran pernapasan untuk dilakukan Real Time Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)? Berapa kali pengujian tersebut perlu dilakukan sehingga secara hukum dapat dianggap sebagai bebas Covid-19? Pertanyaan-pertanyaan ini cukup sering mondar-mandir di diskusi grup Whatsapp.

Bersentuhan dengan Hukum

Salah satu hal yang sering membuat pekerjaan dokter bersentuhan dengan hukum adalah ketika harus membuat surat keterangan mengenai pasien yang diperiksanya. Dalam menerbitkan surat keterangan, dokter sebenarnya sedang menampilkan "potret" sesaat yang menggambarkan kondisi kesehatan pasien pada saat pasien diperiksa di waktu itu.

Batasan seseorang dikatakan sehat dan bebas Covid-19 perlu kehati-hatian ekstra, karena hingga saat ini berbagai negara sedang dalam tahap pengkajian dan penelitian, sehingga segala sesuatu mengenai Covid-19 bisa saja akan berubah secara dinamis mengikuti temuan-temuan empiris dari hasil pengkajian dan penelitian para ahli di seluruh dunia.

Kondisi sehat juga merupakan suatu keadaan dinamis yang bisa saja berubah dalam hitungan jam. Saat siang hari diperiksa pasien dalam keadaan sehat, bisa saja saat malam hari berubah menjadi tidak sehat, sedangkan surat tersebut akan digunakan untuk keesokan harinya. Hal ini juga menimbulkan keresahan bagi para tenaga medis. Di tengah opini-opini masyarakat yang secara liar kerap menebar tuduhan-tuduhan tanpa dasar kepada tenaga medis, tentunya apabila sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi akan berpotensi menjadikan tenaga medis menjadi semakin disorot.

Dokter berkewajiban melakukan pemeriksaan secara cermat sebelum membuat keterangan, sesuai dengan kode etik kedokteran bahwa seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Dalam memberikan surat keterangan apapun bentuk dan tujuannya, dokter wajib mendasarkan isinya pada fakta medis yang diyakininya benar sesuai dengan pertanggungjawaban profesinya sebagai dokter.

Pemberian surat keterangan dan/atau pendapat ahli merupakan sisi lain dari tugas profesi seorang dokter yakni untuk kepentingan bukan hanya perihal pelayanan kesehatan, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan hukum (medikolegal).

Dokter memiliki tanggung jawab profesi atas surat keterangan yang dibuatnya, yaitu keyakinan kebenaran hasil dari pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, pengalaman klinik, perhitungan epidemiologis, dan pemahaman kemanusiaannya sebagai dokter. Kebenaran medis diperoleh dari fakta yang diterima dan diolah dokter sesuai dengan metodologi keilmuan kedokteran. Apalagi dengan kenyataan bahwa sistem pelayanan yang mengharuskan pasien membayar langsung dari kocek sendiri kepada dokter ikut meningkatkan kecurigaan bahwa surat keterangan semacam itu dapat dibuat sesuai pesanan pasien.

Sehat menurut WHO adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Namun pada praktiknya pengertian "sehat" itu sendiri juga belum pernah dirumuskan secara jelas oleh lembaga-lembaga yang berkaitan dengan peradilan, baik dari kalangan penyidik maupun pengadilan.

Pengertian "sehat" atau "memenuhi syarat" dalam surat keterangan dokter bersifat spesifik sesuai dengan kepentingan pembuatan surat keterangan tersebut. Surat keterangan "sehat" untuk kepentingan bekerja di bidang pekerjaan tertentu harus disesuaikan dengan persyaratan yang ditemukan pada bidang pekerjaan tersebut.

Pernyataan Bebas Covid-19 harus dirumuskan kriterianya lalu dituangkan dalam regulasi resmi yang memiliki kekuatan hukum, sehingga dapat dijadikan dasar oleh para tenaga medis yang diminta menerbitkan Surat Keterangan Bebas Covid-19, mengingat beragamnya metode pemeriksaan dengan tingkat sensitivitas dan spesifikasi yang bervariasi. Lalu apakah hanya dengan berbekal pemeriksaan itu saja seseorang dapat dinyatakan bebas Covid-19?

Perlu ada pemisahan antara surat keterangan sehat dan surat keterangan bebas Covid-19. Urgensi pembentukan regulasi untuk menetapkan batasan baku bagaimana menerbitkan Surat Keterangan Bebas Covid-19 harus segera ditindaklanjuti, utamanya mengenai metode yang digunakan, kriterianya serta berbagai hal teknis lainnya untuk mencegah keberagaman implementasi yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi dokter maupun bagi klien/pasien.

Sambil menunggu regulasi, para tenaga medis dapat menyesuaikan redaksi surat yang hanya menyatakan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal dan jam saat itu.

(mmu/mmu)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads