Semut-Semut dan Sertifikat Tanah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Sentilan Iqbal Aji Daryono

Semut-Semut dan Sertifikat Tanah

Selasa, 09 Jun 2020 16:25 WIB
Iqbal Aji Daryono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolomnis - Iqbal Aji Daryono (Ilustrator: Edi Wahyono/detikcom)
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta -

Saya kaget sekali. Baru saja saya mau duduk untuk menyeruput kopi pagi, tertangkap di mata saya gundukan tanah di sudut halaman belakang rumah.

Itu gundukan markas kawanan semut api. Bukan pemandangan istimewa, sebenarnya. Menjadi istimewa lebih karena sore sebelumnya saya sudah menyapu gundukan itu, tapi paginya langsung nongol lagi dalam ukuran lebih jumbo.

Saya tertegun dan berpikir agak panjang. Jika dalam semalam saja kawanan semut itu mampu membangun gundukan sepanjang satu meter dan setinggi mata kaki manusia, apa yang akan terjadi jika mereka dibiarkan selama dua malam? Lalu bagaimana kalau tiga malam? Seratus malam? Tiga tahun?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana pula kisah yang akan berjalan jika yang mendadak muncul di situ bukan hanya satu pasukan semut, melainkan sepuluh atau bahkan lima puluh kawanan semut? Lantas apa yang akan menimpa rumah saya? Apakah semut-semut itu bakal menimbun pula rumah ini dengan gundukan tanah raksasa, kemudian ujung-ujungnya merebut tempat tinggal saya?

Tiba pada kekhawatiran terakhir itu, saya teringat kata-kata emak saya berbulan-bulan sebelumnya. "Ya wajar saja di sini ada banyak semut api, Le. Namanya juga bekas kebun."

ADVERTISEMENT

Emak saya benar. Tanah tempat saya membangun rumah ini memang bekas kebun. Saat kakek saya mewariskannya kepada emak saya, lalu emak saya melakukan serah terima kepada anak lelaki gantengnya, wujudnya masih berupa kebun. Ketika sepuluh tahun silam saya dan istri saya memutuskan membangun rumah di atasnya, pepohonan yang rapat masih mengisi tanah ini.

Waktu itu, di depan kebun ada sawah, di samping barat ada tanah kas desa yang sepanjang tahun ditanami tebu, dan di samping timur ada rumpun bambu yang lebat. Dengan lanskap ekologis seperti itu, jelas tidak aneh kalau ada banyak sarang semut api di sini.

Artinya, emak saya sedang berusaha menyampaikan agar saya tidak menyalahkan semut-semut itu. Ibaratnya dia bilang, "Jelas mereka lebih duluan tinggal di sini kok daripada kamu. Ngapain juga kamu protes?"

Akhirnya, tampak satu aspek lain dalam relasi saya dengan semut-semut itu, yaitu: siapa yang lebih duluan?

Dan, saya tahu, saya kalah duluan. Bahkan bangsa manusia kalah duluan. Coba bayangkan, orang yang pertama kalinya memiliki tanah ini ratusan tahun sebelum kakek saya membelinya dengan hasil bertaninya itu tetap saja kalah duluan dibanding nenek moyang semut-semut itu, bukan?

Saya memang tidak bisa memastikan bahwa semut-semut yang sekarang nongkrong di sudut rumah saya itu penduduk asli, bukan imigran dari sawah depan rumah. Tapi saya bisa membayangkan, ketika pemilik pertama mengaku menguasai tanah ini, mungkin sebagai hasil kerja kerasnya membabat hutan, sudah ada banyak makhluk lain di sini.

Repotnya, si pembabat hutan itu manusia. Dan manusia selalu hanya berpikir tentang sesama manusia. Kemungkinan besar dia tidak mengajak berembuk dulu semut-semut yang ada di sini, cacing-cacingnya, juga orong-orong dan belatung yang masih sangat membutuhkan tanah ini sebagai ruang hidup bersama.

Lebih parah lagi ketika rezim administrasi tiba, dan manusia mulai mengenal produk kebudayaan bernama sertifikat tanah. Ini mengerikan sekali. Ruang yang semula ditinggali berbarengan oleh beragam makhluk, mulai semut sampai burung dan ular yang menghuni pepohonan, tiba-tiba diklaim dengan pernyataan sepihak oleh manusia: "Secara legal, tanah ini milikku! Ini buktinya!"

Legal? Bukti? Legal menurut siapa? Bukti bikinan siapa? Legal menurut manusia dengan bukti legalitas bikinan manusia sendiri, bukan? Lalu bagaimana legalitas di hadapan penghuni-penghuni sebelumnya? Apakah ada surat persetujuan dari orong-orong yang diterima oleh Badan Pertanahan?

***

Beginilah manusia melihat alam di sekitarnya. Alam, hewan, pepohonan, selalu diposisikan semata sebagai objek alih-alih sesama subjek. Maka, untuk menjadikan alam sempurna sebagai objek, privatisasi ruang dilakukan, para "pengganggu" disingkirkan. Hama-hama itu harus keluar dari lingkungan utama peradaban yang didominasi manusia.

Hasilnya, burung-burung yang sebelumnya bersarang di pepohonan terbang tinggi sambil menangisi rumah mereka yang tak ada lagi. Ular-ular dan trenggiling berlari, bersembunyi di semak-semak pinggir kali, dan saat sedang ceroboh menampakkan diri mereka langsung digebuk manusia sampai mati. Alasannya, bagi manusia mereka itu hama, dan hama itu berbahaya.

Kemudian modernitas bersama norma-norma baru manusia bersabda dengan penuh keyakinan bahwa hewan-hewan dan pepohonan itu ada demi kepentingan manusia, agar dimanfaatkan oleh manusia. Sialnya, manusia memaknai kata "manfaat" dengan semena-mena. Manfaat dianggap sama dan sebangun dengan eksploitasi, dan memanfaatkan adalah mengeksploitasi.

Maka, cara memanfaatkan pepohonan adalah dengan menebangnya, menggunakan kayunya, menyantap habis buah-buahannya. Cara memanfaatkan hewan-hewan adalah dengan membunuhnya, menyantap habis dagingnya, lalu menggunakan kulitnya untuk hiasan rupa-rupa. Itulah satu-satunya definisi "memanfaatkan" yang paling gampang diterima manusia, sebagai hasil dari doktrin kebudayaan yang mereka terima.

Nyaris tidak terpikirkan bahwa ada cara-cara memanfaatkan yang lain, yang harus berangkat dari definisi ulang atas kata "manfaat" dan "memanfaatkan". Ketika manusia menanam pohon, itu tidak pernah disebut memanfaatkan. Padahal manfaat dari pohon-pohon yang tumbuh subur dan menyebarkan oksigen itu nyata adanya. Ketika manusia membiarkan hewan-hewan di hutan hidup damai, itu tidak pernah dimasukkan dalam kategori aktivitas memanfaatkan. Padahal ketika kehidupan mereka diganggu terus, terbuktilah ada bencana yang berdatangan, dan bencana adalah lawan yang terang benderang dari manfaat.

Wabah maut yang belum berhenti menghajar kita hari ini adalah teater akbar yang menunjukkan bahwa kata "manfaat", "memanfaatkan", dan "memanfaatkan alam" harus dibongkar dan diruntuhkan, norma peradaban yang selama ini diyakini harus didobrak dan disusun ulang. Ketika hewan-hewan terus dihajar, diusir keluar dari kantong-kantong modernitas produk egosentrisme spesies manusia, didesak dirangsek menjauh agar sempurna sebagai objek belaka di hadapan manusia, itu semua sungguh berbeda dengan aktivitas pengambilan manfaat.

Wuhan telah membuktikannya. Umat manusia sedunia telah membuktikannya. Tinggal selanjutnya kita mau menyikapinya dengan cara berpikir seperti apa.

Tiba-tiba, saya teringat video-video viral dari berbagai kota di sudut-sudut dunia. Lockdown yang diberlakukan di sana bulan-bulan lalu menciptakan kesunyian, lenyapnya bangsa manusia karena ngumpet di rumah mereka, dan akhirnya hewan-hewan berdatangan menyerbu kota-kota.

Ada kawanan rusa masuk kota Paris. Ubur-ubur berenang gembira di salah satu sungai di Venesia. Babi hutan melenggang di jalanan kota Antalya dan Haifa. Kambing gunung di Wales, puma di Santiago, bebek liar di Cambridge, pinguin di Cape Town, bahkan serigala di San Fransisco.

Agaknya mereka memang datang untuk mengingatkan spesies kita, bahwa bumi ini sesungguhnya tempat hidup bersama. Mereka bukan objek. Mereka subjek kehidupan, sama dengan kita, sama dengan semut-semut api yang tiba-tiba show off membangun istana megah di sudut halaman belakang rumah saya.

***

"Siram minyak tanah atau solar, Mas!"

"Kasih Baygon semprot, beres!"

"Taburi kapur semut, Bro!"

"Semprot dengan cairan Reagan beli di toko pertanian, Mas. Insya Allah nggak ada semut lagi."

Ketika saya mengunggah foto gundukan istana semut api itu di dinding Facebook, kawan-kawan saya memberikan saran efektif rupa-rupa.

Saya ngeri sekali memikirkannya, meski ngeri juga membayangkan andai semut-semut itu merebut rumah saya, eh, maksud saya mengambil kembali tanah tempat tinggal mereka dari tangan saya.

Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads