Berbagai protokol menyambut era new normal telah dipersiapkan, tidak terkecuali dunia birokrasi. Tatanan baru pengelolaan birokrasi perlu dipertajam agar tetap eksis memberikan pelayanan kepada publik yang semakin berkualitas. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan banyak hal bagi birokrasi, terutama pada pemanfaatan teknologi informasi yang cukup masif di setiap urusan pemerintahannya.
Gaya pelayanan birokrasi beralih dari manual dan tatap muka menjadi berbasis digital dan virtual. Bahkan beberapa layanan digital yang tadinya kurang difungsikan atau sedikit penggunanya kini melonjak drastis keaktifannya. Dari kondisi ini terlihat bahwa semangat mencapai smart government tampaknya dapat terealisasi lebih cepat karena "bantuan" pandemi ini.
Penerapan new normal diharapkan tidak membawa birokrasi kembali pada jalur tradisional sebelumnya. Namun menuju dan berkembang pada habituasi birokrasi baru yang mengedepankan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanannya. Setidaknya terdapat beberapa karakteristik birokrasi baru yang perlu digalakkan menjadi kultur baru di era new normal nantinya.
Pertama, birokrasi baru akan selektif mengelola anggaran dan kegiatan dengan tepat guna. Mekanisme kerja secara konvensional dengan rapat tatap muka serta perjalanan dinas yang cukup tinggi kini dapat dialihkan melalui penerapan virtual organization dan fleksibilitas kerja. Birokrasi baru juga perlu secara seksama mengevaluasi aset dan sumber daya tersedia yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kinerja organisasi, atau justru dapat dialihkan atau tergantikan dengan digital services. Upaya perubahan ini akan menjadikan postur anggaran daerah menjadi melimpah untuk disalurkan pada sektor pembangunan produktif lainnya.
Kedua, birokrasi baru mendorong kreativitas dan inovasi dalam proses bisnisnya. Birokrasi sudah saatnya dapat dikendalikan dari "rumah". Birokrasi harus belajar menguasai kompetensi baru terkait tata kelola pelayanan dan pemerintahan berbasis elektronik. Paradigma perubahan layanan publik yang sebelumnya dilaksanakan di satu tempat tertentu, pada hari tertentu dan dengan durasi pelayanan pada jam tertentu, kini berubah menjadi layanan dalam genggaman yang dapat dilakukan di mana pun, kapan pun, dan tersedia setiap saat.
Proses pelayanan pun sudah berubah dari sebelumnya dilakukan oleh petugas (registrasi, input, unggah, dan lain-lain) menjadi self services yang keakuratan datanya relatif tinggi. Pengambilan keputusan secara ideal harus lebih cepat karena otorisasi dapat dilakukan dimanapun secara elektronik. Meski demikian, dalam setiap tahapan penerapannya tentu secara cermat perlu memperhatikan kondisi lingkungan strategis di luar birokrasi khususnya pada tingkat adaptasi perubahan birokrasi baru tersebut oleh stakeholders.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dua karakteristik sebelumnya dapat kita kategorikan sebagai lingkungan pendukung, maka karakteristik yang ketiga menyangkut personal atau mindset aparatur nya yang selalu terbuka terhadap perubahan selanjutnya. Pengejawantahan birokrasi baru mendorong aparaturnya lebih adaptif terhadap upaya learning and growth. Paradigma layanan yang responsif, empatik, andal, terjamin, dan bertanggung jawab tetap dijalankan secara utuh dalam rangka mencapai kualitas pelayanan tertinggi.
Kemutakhiran dan ketersediaan data dan informasi juga akan menjadi kunci keberhasilan di birokrasi baru. Data dan informasi (yang dapat disajikan) perlu secara real time tersedia dan lengkap sehingga publik dapat mengetahui kondisi daerahnya dan dapat turut berpartisipasi atau bahkan berkontribusi nyata dalam kerangka co-production.
Jika mengacu pada teori perubahan ala Kurt Lewin, era new normal telah menjembatani kondisi unfreezing dengan tatanan perubahan tata kelola birokrasi yang patut dimanfaatkan momentumnya untuk mencapai birokrasi baru atau tahap freezing. Kultur baru berupa digital melayani patut dilaksanakan dan dikembangkan di semua saluran birokrasi.
Tentu saja tantangan penerapan e-government ini adalah apakah layanan yang diberikan semakin cepat, semakin mudah dan sederhana, lebih aman, lebih responsif, atau justru sebaliknya. Tentu hasil survei yang akan membuktikannya. Namun demikian, secara sistem, akuntabilitas birokrasi akan terjaga dan setiap keputusan secara transparan terlihat dan dapat dikontrol oleh publik, termasuk ruang untuk memberikan koreksi terhadap layanan yang diberikan.
Untuk menjalankan birokrasi baru tersebut, beberapa prasyarat perlu dicermati di antaranya terkait aspek politis berupa komitmen pimpinan menjalankan tatanan birokrasi baru, aspek teknis berupa kesiapan dan ketahanan infrastruktur digital yang dimiliki serta jaminan keamanan terhadap privasi pengguna layanan, juga aspek dukungan terhadap pengembangan kultur dan kompetensi baru bagi aparaturnya. Kesemuanya ini merupakan investasi besar agar layanan birokrasi semakin paripurna sehingga turut memberikan efek peningkatan daya saing daerah.
Rustan Amarullah peneliti Birokrasi dan Manajemen Pelayanan Publik Puslatbang KDOD LAN