Pilkada Serentak 2020 akan dilanjutkan kembali, setelah sempat tertunda akibat pandemi Covid-19. Banyak kalangan yang mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada di tengah kondisi negara dalam keadaan darurat kesehatan ini, tetapi Perppu pilkada lanjutan (Perppu No. 2 Tahun 2020) sudah keluar dan pemerintah sudah bersepakat untuk melaksanakan pemungutan suara pada Desember 2020, meskipun belum bisa dipastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.
Atas dasar itu penyelenggara pemilu harus tetap menyambutnya dan menjadikan kondisi darurat kesehatan sebagai tantangan untuk tetap menjaga kualitas pilkada sekaligus keselamatan semuanya.
Kondisi negara dalam darurat kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres No.11 Tahun 2020 masih terjadi perdebatan di kalangan banyak pihak. Apakah darurat kesehatan tersebut dalam kualifikasi tiga kedaruratan yang ditentukan dalam UU No.23 Prp/1959 (darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang) ataukah hanya darurat kesehatan saja?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, bila melihat konsideran Kepres No.11 Tahun 2020 yang tidak mencantumkan Pasal 12 UUD 1945, maka status darurat kesehatan berbeda dengan negara dalam keadaan bahaya. Demikian juga dua Perppu yang dikeluarkan oleh pemerintah (Perppu No.1/2020 dan Perppu No.2/2020) sebagai upaya menghadapi Covid-19 juga tidak menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai dasar pembuatannya tetapi kedua Perppu tersebut sama-sama mendasarkan pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Oleh karenanya yang dimaksud dengan negara darurat (staats nood recht) sebagaimana dalam judul tulisan ini adalah kondisi negara dalam darurat kesehatan.
Melaksanakan pilkada (pemilihan) dalam kondisi negara tidak dalam keadaan normal tentu memiliki tantangan tersendiri, baik bagi penyelenggara, peserta, partai politik, bahkan bagi pemilih. Oleh karenanya semua pihak perlu bekerja sama untuk tetap menjaga kualitas pilkada meskipun dilaksanakan pada saat negara dalam keadaan darurat. Kerja sama antarpara pihak ini sangat dibutuhkan karena sistem (legal substance) pasti memiliki banyak kelemahan dalam kondisi pandemi.
UU Pilkada yang meliputi UU No.1 Tahun 2015, UU No.8 Tahun 2015, UU No.10 Tahun 2016 dan bahkan Perppu No.2 Tahun 2020 muatan isinya tidak merepresentasikan kondisi darurat kesehatan, tetapi mengatur pelaksanaan pilkada dalam kondisi normal. Sedangkan produk hukum yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu memiliki keterbatasan jangkauan untuk pengatur hal-hal yang berkaitan dengan protokol kesehatan karena tidak boleh bertentangan dengan aturan yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karenanya kesadaran semua pihak dalam menjaga kualitas pilkada sangat dibutuhkan.
Kesadaran Peserta Pemilu
Kesadaran peserta pemilihan dan partai politik dibutuhkan di banyak tahapan di antaranya pada saat pendaftaran pasangan calon ke KPU. Kebiasaan unjuk kekuatan dengan membawa massa banyak dan konvoi di jalanan perlu ditahan dulu (ditiadakan) karena hal itu kontraproduktif dengan upaya bersama memutus mata rantai penyebaran virus.
Berkaitan dengan ini KPU masih memiliki wewenang untuk mengaturnya, karena UU Pilkada tidak mengatur secara detail tentang kebiasaan membawa massa banyak saat pendaftaran pasangan calon, namun kesadaran peserta pemilihan dan partai politik akan lebih efektif daripada hanya menggantungkan pada legal formal yang bersifat memaksa.
Tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan kampanye. Dalam UU Pilkada sudah diatur metode kampanye yang mempertemukan peserta pemilihan dengan massa pendukungnya, sehingga penyelenggara pemilu tidak bisa melarangnya melalui produk hukum yang dikeluarkannya. Hal yang bisa dilakukan oleh penyelenggara pemilu adalah menganjurkan secara persuasif (tidak dalam bentuk legal formal) kepada peserta pemilu dan partai politik untuk tidak menggunakan metode kampanye pertemuan tatap muka.
Karena hanya berupa anjuran, maka penyelenggara pemilu tidak memiliki instrumen sanksi apapun untuk mendisiplinkan semua pihak agar mematuhi anjuran tersebut. Berangkat dari hal tersebut, kesadaran peserta pemilihan dan partai politik menjadi kunci atas pelaksanaan kampanye yang adaptif terhadap protokol kesehatan.
Kesadaran Pemilih
Selain peserta dan partai politik, kesadaran masyarakat pemilih juga sangat dibutuhkan di banyak tahapan di antaranya adalah dalam tahapan pemutakhiran daftar pemilih. Dalam tahapan ini pemilih perlu proaktif untuk melihat pengumuman baik yang ditempelkan di papan-papan pengumuman maupun di laman daring resmi penyelenggara pemilu, apakah sudah terdata dalam daftar pemilih atau belum.
Di tengah kondisi darurat kesehatan akibat Covid-19 ini penyelenggara pemilu memiliki ruang gerak terbatas untuk mencocolkan dan meneliti (coklit) para pemilih karena harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Oleh karenanya sikat aktip dari para pemilih akan sangat membantu validitas daftar pemilih.
Dalam tahapan pemungutan suara, pemilih juga dibutuhkan kerja samannya untuk patuh pada protokol kesehatan. Hal ini bisa saja diatur oleh penyelenggara pemilu terutama KPU selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan UU Pilkada. Demikian juga dalam tahapan rekapitulasi penghitungan suara, semua pihak perlu memperhatikan keselamatan bersama, jangan sampai tindakan yang kita lakukan justru bertentangan dengan upaya menghindari penyebaran Covid-19.
Berkaitan dengan ini, KPU pasti akan merancang berbagai aturan teknis yang tidak hanya menjamin kualitas pemilihan tetapi juga kesehatan bersama. Tapi, aturan tersebut akan jauh lebih efektif jika ditegakkan tanpa harus melalui penegakan hukum. Budaya patuh (legal culture) dari banyak pihak akan mampu mengantarkan pelaksanaan pilkada dalam kondisi staats nood recht ini pada kualitas yang membanggakan tanpa harus mengurbankan siapapun.
Belajar dari Sejarah
Indonesia pernah memiliki pengalaman pelaksanaan pemilu dalam kondisi negara yang serba kekurangan yaitu pelaksanaan pemilu pertama pada 1955. Jamak diketahui, bahwa pada tahun tersebut, negara Indonesia masih dalam situasi politik yang tidak menentu dan masih belum kokoh dari berbagai hal. Lembaga pemerintahannya masih belum lengkap dan tumpang tindih, sistem pemilunya masih sangat sederhana, dan ancaman pemberontakan di berbagai daerah akibat perbedaan ideologi juga masih sangat mengganggu stabilitas negara.
Rencana pemilihan umum secara nasional sebenarnya sudah sejak 1950, tetapi pelaksanaannya selalu terhambat oleh berbagai factor. Di antaranya adalah konflik elite di tubuh tentara Angkatan Darat hingga tuntutan pembubaran parlemen sementara. Atas keadaan itu, status negara dalam keadaan darurat (staats nood recht) juga sempat diberlakukan meskipun pada akhirnya dapat diatasi. (Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019)
Setelah melewati banyak hambatan, pemilu nasional pertama akhirnya dapat dilaksanakan pada 1955. Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, Pemilu 1955 dianggap pemilu yang paling demokratis dan berkualitas. Pemilu 1955 bahkan dianggap peristiwa terbesar kedua setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, sehingga dapat diperkirakan bahwa partisipasi masyarakat yang menggunakan haknya dalam Pemilu 1955 itu sangat besar. (Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019)
Dari penggalan sejarah Pemilu 1955 ini, kiranya dapat diambil suatu pelajaran bahwa kondisi negara darurat tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan pelaksanaan pilkada tetap berkualitas dan menjamin masyarakat tetap sehat.
Jamil, SH, MH anggota Bawaslu Kabupaten Sidoarjo
(mmu/mmu)