Dalam kesepian yang diciptakan pandemi, buku anak mendadak hadir sebagai juru selamat! Tiba-tiba, para pesohor dunia beramai-ramai membaca nyaring (read aloud) buku anak lewat berbagai ruang maya, menerobos rumah-rumah yang dikunci wabah. Daniel Radcliffe, Stephen Fry, David Beckham, Dakota Fanning, grup BTS, para penyanyi Disney, Dian Sastowardoyo, sampai mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama beserta istrinya, Michele memulainya dengan riang.
Michelle Obama barangkali yang paling serius melakukan ini. Bekerja sama dengan penerbit buku anak kenamaan Amerika, Penguin Random House, dia rutin membacakan buku-buku anak bagus tiap Senin sejak 20 April sampai 11 Mei. Dalam satu videonya, Michelle juga sempat mengajak Barack Obama untuk ikut membaca nyaring bersamanya. Buku karangan Peter H. Reynolds yang berjudul The Words Collector (2018) menjadi pilihan mereka.
"Cerita dan ilustrasinya digarap dengan sangat mengagumkan. Selain itu, aku juga suka mengoleksi kata-kata. Aku suka kata-kata," kata Obama di awal video. Setelahnya, mereka pun membacakan isi buku bergantian. Buku-buku yang dibacakan Obama, Michelle serta para pesohor lain tentu saja tak langsung tertuju pada anak, karena penguasa media sosial adalah orang dewasa. Namun, setidaknya peristiwa ini dapat menyenggol para orangtua untuk ikut melakukannya di rumah, di ruang keluarga atau di kamar, bersama anak-anak mereka.
Ini memang lebih menyita waktu dan tenaga orangtua ketimbang membiarkannya duduk di depan televisi, atau menyerahkannya pada kuasa gawai. Tapi, memilih keduanya berarti memilih kehilangan satu hal yang berharga dari mereka: kesempatan awal belajar segala hal.
Soal ini, tentu saya teringat pada Jim Trealese, seorang tokoh pendidikan Amerika yang gigih menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk mengampanyekan kegiatan membaca nyaring. Suatu upaya yang tak begitu terlihat sebagai sesuatu yang menakjubkan bagi masyarakat Eropa dan Amerika, sebab mereka telah memiliki kebiasaan ini selama ratusan tahun. Namun, bagi sebagian penduduk bumi yang lain, tekad Jim itu amat diperlukan dan mahapenting.
Memasuki Semesta Anak
Membaca nyaring sebenarnya sudah jadi alat pengajaran paling tua yang dipromosikan, paling sederhana, dan paling mudah yang bisa dilakukan orangtua di rumah. Alasannya amat biologis: hanya ada dua cara ampuh untuk memasukkan kata-kata ke dalam benak seseorang, melalui mata atau melalui telinga. Dengan membaca nyaring, orangtua mendapat kesempatan untuk memasuki semesta anak lewat keduanya sekaligus.
Membaca nyaring biasanya dilakukan untuk anak-anak yang berada dalam awal tahapan hidupnya, atau sebagai pembaca pemula. Itulah yang membuat buku cerita bergambar menjadi pilihan utama bagi para orangtua untuk dibaca nyaring. Persis seperti yang dibacakan oleh para pesohor kita tadi. Saat orangtua dan anak duduk bersama menatap sebuah buku cerita bergambar yang dibaca nyaring, si anak sedang diantar ke hamparan suara, kata-kata, dan hal-hal dasar yang bakal jadi bekalnya memahami gerak kehidupan di sekitarnya.
Saat menemui gambar dalam buku, visual itu bergerak dalam kepalanya. Semakin banyak dia dimasuki kata-kata, semakin luwes gerak visual itu dalam kepalanya. Meskipun "buku cerita bergambar yang bagus dapat menggerakkan cerita bahkan tanpa teks," seperti yang dikatakan Tomie dePaola, penulis cum ilustrator buku anak kenamaan dalam obrolannya bersama Society of Children's Book Writers and Illustrators (1 Mei 2020), namun tak mungkin itu terjadi tanpa "suara-suara" yang dimunculkan orang dewasa. Karena pertama-tama, sebelum mereka paham gerak, bentuk, dan kegiatan-kegiatan yang terdeskripsikan pada gambar, anak-anak masih perlu dijelaskan dan masih perlu kata-kata buat mengingat bentuk-bentuk itu. Orangtualah yang memiliki peran penuh dalam menempatkan hal-hal itu di luar teks.
Di sinilah ruang antara orangtua dan anak benar-benar tercipta. Jika membaca adalah peristiwa paling subjektif karena hanya berurusan dengan diri dan otak si pembaca sendiri, membaca nyaring akan mengeluarkan kita dari laku subjektif itu. Karena yang terjadi bukan hanya perbincangan antara buku dan diri sendiri, tapi juga dengan mata penasaran anak, dengan pertanyaan-pertanyaan dimunculkannya. Bukan tidak mungkin orangtua dan anak akan membicarakan jauh lebih banyak hal dari yang terpampang dalam satu halaman buku cerita.
Anak-anak bisa saja belajar mengenai pohon-pohon, pakaian, hewan-hewan, makanan dalam satu adegan. Hal itu pula yang dipegang Neil Gaiman, bahkan sejak dia mulai menulis buku-bukunya. Keyakinannya ini sempat tercuplik dalam pidatonya saat menerima penghargaan dari Chicago Tribune Young Adult Book Prize pada 2009 lalu, "Aku tak ragu menulis Wolves in the Walls dengan banyak kata-kata karena kupikir tugasku adalah menulis dan tugas orang tua membacakannya."
Dunia dan Kata-Kata
Pada mulanya, membaca nyaring menciptakan hubungan antara buku dan anak. Jalinan yang dibuat sejak dini di rumah bersama orangtuanya akan menghindarkanya dari kemewahan dan formalitas buku. Buku tak akan menjadi benda mulia, sakti, dan ngeri untuk didekati, melainkan merupa jadi benda biasa yang ikut hidup dalam keseharian anak.
Tak cuma itu, membaca nyaring juga jadi usaha orangtua untuk memastikan pengalaman membaca sebagai hal yang menyenangkan bagi anak. Karena pengalaman awal membaca bagi anak bukanlah sesuatu yang lewat begitu saja. Dia mengendap dalam kepala, menjelma jadi ragam keputusan dalam otak dewasanya bertahun-tahun kemudian.
Pengalaman membaca anak yang baru diciptakan saat di sekolah hanya akan menciptakannya menjadi pembaca di sekolah. Hubungannya dengan buku pun akan berlangsung sebatas urusan "pekerjaan" saja. Dia mengambil buku yang dibutuhkannya, mencari hal-hal yang ingin dia temukan, lantas mengabaikan banyak hal yang harusnya bisa dia jumpai. Persis seperti kebanyakan mahasiswa saat menghadapi buku-buku referensi skripsi mereka.
Kata-kata harusnya jadi yang pertama-tama kita punya. "Semakin banyak kata-kata yang kita punya, semakin kita memiliki dunia!" begitu kata tokoh Bibbi Bokken dalam karya terkenal Jostein Gaarder berjudul The Magic Library (2017). Kesenjangan kata-kata yang dimiliki antaranak sama mengancamnya dengan kesenjangan ekonomi di sebuah kehidupan di dunia.
"Memang, si anak bersekolah untuk belajar kata-kata baru, tetapi kata-kata yang sudah dia tahu menentukan seberapa banyak yang dia bisa mengerti dari apa yang dia dapatkan di sekolah. Dan karena kebanyakan instruksi di sekolah berbentuk oral, anak yang punya kosakata terbesar akan lebih cepat paham, sementara anak dengan minim kosakata adalah anak yang paling sulit untuk mendapatkan pemahaman." (Jim Trelease, 2019).
Siapa sangka wabah yang melewati kita ini membawa serta hidayah membaca nyaring buat para orangtua di dunia. Tampaknya, meski orang-orang dewasalah yang paling rutin mengeluh tersiksa pandemi, namun sebenarnya mereka juga yang paling punya akses "keluar" dari rumahnya, entah lewat beranda media maya, Youtube, membaca setumpuk buku, video call bersama rekan kerja, memulai olahraga daring, atau berjoget via Tik-Tok.
Padahal yang sebenarnya terjebak pandemi adalah anak-anak. Mereka tak bisa mengakses "pintu keluar" yang sama seperti orang-orang dewasa di sekitarnya. Orangtua menjadi satu-satunya tempat buat mereka untuk mendapatkan hiburan sekaligus pengetahuan. Buku-buku memberi kesempatan pada anak untuk menjajal dunia dari kamarnya. Saat membaca nyaring, orang dewasa berhadapan dengan sebuah lahan subur yang siap menerima banyak hal untuk menumbuhkan dan menghidupkan "dunia" dalam kepala mereka.
Vera Safitri editor buku, mengelola podcast Asisten Kamar Tangga
(mmu/mmu)