Cermat Menerapkan New Normal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Cermat Menerapkan New Normal

Selasa, 02 Jun 2020 11:32 WIB
Jazilul Fawaid
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
H. Jazilul Fawaid
Foto: Dok Pribadi
Jakarta -

Kurang lebih tiga bulan lamanya Indonesia berkutat dengan perang total melawan COVID-19 sejak diumumkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo di awal Maret lalu. Selama tiga bulan tersebut pemerintah terus berupaya melakukan langkah-langkah mitigatif dan penanganan seoptimal mungkin agar virus ini tidak semakin menyebar dan membawa korban jiwa. Beragam pilihan kebijakan ditempuh untuk menghadang laju penyebaran, mulai dari penerapan physical distancing, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah yang terpetakan sebagai episentrum penyebaran. Pemerintah pun tak segan-segan memberlakukan larangan mudik menjelang hari raya Idul Fitri yang notabene merupakan hajatan sosial masyarakat pasca Ramadhan dan memiliki signifikansi penting dalam menggerakkan roda perekonomian.

Terlepas dari berbagai opsi kebijakan yang ditempuh, pemerintah Indonesia, seperti halnya pemerintah di negara lain, belum bisa memprediksi secara akurat kapan pandemi ini akan segera berakhir. Salah satu harapan terbesar agar pandemi ini bisa segera ditanggulangi adalah penemuan vaksin yang sedang diupayakan oleh berbagai ilmuwan di dunia. Namun demikian, seperti yang disampaikan oleh World Health Organization (WHO), temuan vaksin diperkirakan paling cepat dapat terlaksana pada 2021. Hal ini berarti, setidaknya sampai akhir tahun ini, seluruh masyarakat di dunia, tidak terkecuali Indonesia, harus membiasakan diri untuk hidup berdampingan dan berdamai dengan COVID-19. Selama vaksin belum ditemukan, masyarakat dihimbau untuk patuh menaati dan menjalankan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Ihwal New Normal

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia selama tiga bulan terakhir tidak dimungkiri membawa signifikansi penting terhadap sektor perekonomian. Pemberlakuan PSBB secara langsung ataupun tidak, telah berdampak pada sektor industri yang harus mengurangi biaya produksi (cost of production) dengan menutup pabrik, merumahkan karyawan, hingga melakukan PHK, sebagai upaya rasional dalam merespons penurunan jumlah permintaan dan pendapatan. Hal ini membawa efek domino seperti meningkatnya jumlah pengangguran dan penurunan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah pun harus merogoh kocek lumayan dari anggaran negara untuk menyediakan stimulus fiskal dalam rangka menopang berbagai sektor yang terdampak. Secara lugas, pandemi COVID-19 dalam tiga bulan terakhir telah menimbulkan guncangan yang cukup hebat (turbulensi) terhadap perekonomian nasional.

Kondisi tersebut pada akhirnya membawa pemerintah Indonesia pada pemahaman untuk menerapkan kebijakan new normal sebagai respons realistis terhadap eksistensi COVID-19 serta resultansi analisis di berbagai sektor kehidupan nasional, khususnya masa depan perekonomian nasional dalam jangka menengah dan jangka panjang. Hal ini diperkuat dengan estimasi penemuan vaksin sebagai satu-satunya senjata untuk menanggulangi COVID-19 yang belum bisa ditemukan dalam waktu singkat karena masih dalam tahap pengembangan dan membutuhkan waktu untuk uji coba. Dapat dikonklusikan bahwa kebijakan new normal muncul sebagai kalkulasi rasional terhadap prakiraan kondisi ekonomi nasional, kompromi terhadap rentang waktu yang cukup lama hingga vaksin ditemukan, serta pemahaman realistis bahwa kemungkinan besar COVID-19 tidak akan pernah hilang dari muka bumi, sehingga masyarakat harus menjajaki kemungkinan untuk hidup berdampingan secara damai.

ADVERTISEMENT

Seperti yang disampaikan oleh Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmita, new normal sendiri dimaknai sebagai perubahan perilaku masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas secara normal. New normal juga diartikan sebagai skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial ekonomi. Dalam konteks Indonesia, pemerintah mengumumkan rencana untuk pengimplementasian kebijakan new normal dengan mempertimbangkan analisis pada studi epidemiologis dan kesiapan masing-masing wilayah. Prinsip utama dari rencana new normal yang akan diterapkan ini adalah adaptasi dengan pola hidup yang akan menuntun pada terciptanya kehidupan dan perilaku baru masyarakat hingga vaksin COVID-19 ditemukan. Lebih lanjut, implementasi kebijakan new normal akan dikawal oleh penerapan protokol kesehatan secara ketat.

Untuk dapat menerapkan kebijakan new normal di tengah pandemi saat ini, WHO sebagai lembaga dunia yang paling bertanggung jawab terhadap isu ini, memberikan beberapa indikator yang harus dipenuhi sebagai panduan. Pertama, penerapan new normal tidak membawa implikasi terhadap penambahan penularan atau perluasan penularan. Kedua, implementasi kebijakan harus menggunakan indikator sistem kesehatan, yakni seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan untuk merespons dan memberikan pelayanan COVID-19. Ketiga, kapasitas untuk melakukan surveilans, yakni cara menguji seseorang atau sekelompok kerumunan apakah berpotensi memiliki COVID-19 atau tidak sehingga dilakukan tes masif. Di Indonesia sendiri, panduan dari WHO tersebut diterjemahkan oleh pemerintah dengan melakukan berbagai pertimbangan dan penilaian.

Pertimbangan penerapan kebijakan new normal yang dilakukan pemerintah Indonesia merujuk pada perhitungan epidemiologi seperti jumlah atau tingkat reproduksi virus. Jika sebuah daerah jumlah reproduksi virusnya (R0) kurang dari 1, maka dapat menerapkan kebijakan new normal. Pertimbangan lainnya adalah dengan mengukur tingkat perkembangan penyakit, pengendalian virus, dan kapasitas pelayanan kesehatan. Di level regional, pemerintah daerah diperkenankan menerapkan kebijakan new normal apabila daerah tersebut berada pada tingkat moderat atau sedang. Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa daerah di Jawa menerapkan lima kategori penilaian dalam melihat keparahan pandemi, mulai dari level krisis, parah, substansial, sedang, dan rendah. Limitasi-limitasi tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan, sehingga penetapan kebijakan new normal benar-benar dilakukan secara matang dan penuh perhitungan.

Analisis Plus Minus

Sebelum kebijakan new normal ini benar-benar diterapkan, dalam perspektif formulasi kebijakan, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal krusial. Pertama adalah penetapan objektif yang hendak dicapai. Objektif merupakan alasan dasar mengapa sebuah kebijakan dikeluarkan. Secara eksplisit, penerapan kebijakan new normal ini memiliki relevansi kuat dengan upaya pemerintah untuk menggerakkan sektor perekonomian nasional yang laju pertumbuhannya di kuartal pertama 2020 hanya berada pada level 2,97%. Kedua, social acceptance atau tingkat penerimaan masyarakat. Masyarakat sebagai penerima manfaat (beneficiaries) harus benar-benar memahami objektif dari kebijakan ini untuk mendorong kepatuhan dan mereduksi resistensi dalam implementasi kebijakan. Oleh sebab itu, transparansi data dan informasi melalui skema sosialisasi terbuka adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah. Pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa model kebijakan inilah yang paling tepat untuk situasi dan kondisi yang ada.

Ketiga, dibutuhkannya instrumen regulatif untuk mengawal kebijakan. Saat ini, salah satu instrumen regulatif yang sudah disusun adalah protokol kesehatan Kemenkes RI yang tertuang dalam Keputusan Menkes mengenai panduan bekerja dalam situasi new normal. Instrumen ini tentu saja tidak cukup mengingat begitu luasnya cakupan sektor terdampak COVID-19. Pengaturan tidak hanya dibutuhkan di tempat kerja saja, tapi juga di fasilitas publik lainnya seperti pasar, sekolah, pesantren, tempat-tempat ibadah, serta berbagai fasilitas publik lainnya. Khusus untuk sekolah dan pesantren, pemerintah harus memberikan atensi yang lebih mengingat kedua pranata tersebut memiliki urgensi vital dalam pengembangan sumber daya dan akhlak manusia Indonesia. Pemberlakuan kebijakan new normal yang dikawal dengan instrumen regulatif yang ketat, serta ketersediaan infrastruktur pendukung yang memadai, diharapkan dapat meningkatkan mutu belajar-mengajar yang dilakukan dengan mereduksi senihil mungkin risiko penyebaran penyakit terhadap peserta didik generasi penerus bangsa.

Terakhir dan yang paling penting, implementasi kebijakan membutuhkan mekanisme identifikasi masalah dan aksi korektif jikalau ada risiko-risiko yang muncul. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan analisis risiko sedini mungkin. Salah satu risiko yang paling dihindari dalam pengambilan inisiatif kebijakan new normal oleh negara-negara di dunia adalah terjadinya pelonjakan kasus positif COVID-19. Terdapat potensi besar terjadinya gelombang kedua penyebaran virus yang berpotensi membawa korban yang jauh lebih besar. Kasus di Wuhan Tiongkok di mana ditemukan klaster baru virus pasca penghentian lockdown seyogianya dijadikan pembelajaran. Untuk memitigasi risiko, maka pemerintah disarankan untuk menerapkan jangka waktu secara berjenjang dalam penerapan kebijakan new normal, semisal satu hingga tiga bulan pertama dan seterusnya. Dalam jangka waktu ini akan dievaluasi mengenai tingkat ketercapaian objektif yang dapat dilihat dari berbagai indikator ekonomi, serta jumlah kasus positif yang muncul selama penerapan. Jika dalam jangka waktu tersebut hasilnya tidak memuaskan, maka hal-hal yang menjadi titik lemah penerapan harus segera diperbaiki, termasuk opsi penghentian kebijakan.

Risiko sejatinya dapat diminimalisir sekecil mungkin apabila penerapan kebijakan new normal berpijak pada pemahaman bahwa kebijakan ini hanya dapat diterapkan jika berada dalam kondisi di mana kurva kasus sudah melandai. Jika tidak melandai (kasus terus bertambah secara signifikan), maka potensi risiko yang harus dihadapi akan semakin besar. Oleh sebab itu sebelum diberlakukan, kebijakan new normal harus dianalisis secermat mungkin. Kemaslahatan dan kepentingan masyarakat harus ditempatkan sebagai objektif pertama dan utama di atas kalkulasi kepentingan ekonomi dan bisnis. Evaluasi wilayah per wilayah mutlak dilakukan. Opsi penerapan seyogianya tidak nasional, melainkan melihat kesiapan masing-masing wilayah untuk melaksanakannya. Aspek kesiapan menjadi kata kunci bagi keberhasilan ke depan. Dibutuhkan kesiapan aparatur pemerintah dan sektor swasta dalam penerapannya. Dibutuhkan juga kesiapan masyarakat untuk implementasinya dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan serta berbagai peraturan yang berlaku.

Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A, Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads