Lebaran "normal" adalah ketika warga asal Indonesia di Amerika Serikat merayakan Idul Fitri dengan cara menyebar pengumuman seminggu sebelumnya melalui sejumlah grup. Tentang undangan open house, jadwal pejabat konsulat yang mampir untuk bersilaturahmi, piknik bersama di park sembari membawa jenis-jenis makanan ala Indonesia, yang kadangkala diselingi dengan acara lomba untuk memeriahkan suasana.
Bagi saya dan keluarga, Lebaran "normal" adalah pergi ke Masjid IAGD (Islamic Association of Greater Detroit) untuk mengikuti Salat Id, dan setelahnya pergi makan siang ke restoran India. Kami cukup puas merayakan Idul Fitri dengan cara demikian, setelah terbiasa hidup di negara ini sebagai minoritas. Kadangkala kami pergi ke rumah warga Indonesia yang menggelar open house, atau ikut piknik di taman kota. Hal sederhana seperti ini sudah cukup menghibur. Bisa bertemu dengan sesama warga asal Indonesia, menikmati makanan khas Lebaran, memakai baju baru, dan saling bertukar cerita.
Namun pandemi Covid-19 yang merebak sejak Januari membuat yang semula normal berganti menjadi "new normal" --keadaan yang awalnya terpaksa dijalani, dan kemudian diamini bersama sebagai kenormalan. Virus Covid-19 akan tetap ada, dan mungkin vaksinnya tak segera bisa digunakan secara massal. Sehingga, tak ada pilihan lain, kecuali menerima fakta tersebut, dan berdamai dengan cara membiasakan gaya hidup baru. Termasuk di antaranya mencegah kemungkinan penularan dengan cara mengurangi aktivitas berjemaah di tempat-tempat ibadah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal Ramadhan, masyarakat muslim di Amerika Serikat setuju untuk mengikuti protokol pencegahan penyebaran pandemi dengan cara meliburkan masjid dari aneka kegiatan jemaah. Para jemaah diminta melaksanakan Tarawih dan ibadah wajib lainnya di rumah. Aktivitas rutin seperti ceramah harian atau Jumat, pengajian, sekolah agama akhir pekan untuk anak-anak dan remaja, semua dilaksanakan online. Termasuk ketika tiba saatnya merayakan Idul Fitri.
Karena mendengar cerita tentang komunitas muslim di Austria yang mengadakan Salat Id virtual, saya tertarik untuk mengikuti acara serupa di komunitas Muslim Detroit. Namun ternyata tak ada informasi tersedia mengenai hal ini di website mereka. Juga tak ada selebaran info yang biasanya dengan mudah didapat melalui grup-grup muslim asal Indonesia. Bahkan ketika saya mencoba mencari informasi lebih lanjut dengan bertanya pada anggota grup pengajian dan kenalan lainnya, semua menyatakan bahwa ada aturan atau fatwa yang beredar bahwa Salat Id yang dipimpin oleh imam secara virtual termasuk tidak sah dan potensial menyebabkan bidah.
Namun demikian, saya yakin bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian komunitas muslim di Austria tentu ada landasan kuatnya. Sebab soal syariah bisa sangat rumit urusannya, sehingga tak mungkin mereka menyelenggarakan Salat Id virtual tanpa pertimbangan matang.
Akhirnya, saya tetap mencari masjid yang menyelenggarakan Salat Id virtual, dan akhirnya saya dapatkan di ICCNC (Islamic Cultural Center of Northern California). Islamic Center yang berlokasi di Oakland, California ini mengundang jemaahnya untuk mengikuti Salat Id yang diselenggarakan online melalui Zoom. Jamaah yang ingin mengikutinya terlebih dahulu harus mendaftar untuk mendapatkan nomor dan ID Zoom. Salat diadakan pada pukul 9 pagi waktu Pasifik, yang bertepatan dengan pukul 12 siang di Detroit.
Sesuai kebiasaan tiap tahun saat Idul Fitri, saya menyiapkan diri dengan mengenakan baju terbaik, memakai wedge shoes meskipun di dalam rumah, menyiapkan mukena, dan menanti di depan komputer. Tepat jam 12 siang, Zoom dibuka, dan ratusan peserta masuk. Kira-kira ada sekitar 400 lebih jamaah yang datang, dan yang bertahan di Zoom berjumlah sekitar 397 peserta.
Acara Salat Id virtual diawali dengan takbir, disusul dengan ceramah. Layar Zoom menayangkan tulisan takbir untuk ditirukan oleh jamaah di tempat mereka masing-masing, sedangkan di Gedung ICCNC terdapat sejumlah kecil jemaah lelaki dan perempuan yang duduk di sajadah masing-masing. Jumlah mereka tak lebih dari 10 orang. Sajadah diletakkan berjauhan sesuai protokol social distancing. Namun ada sedikit alpa, ketika salah satu panitia berbicara terlalu dekat dengan sang imam tanpa mengenakan masker.
Saat salat tiba, sang imam masjid menjelaskan aturan Salat Idul Fitri, dan mempersilakan jemaah mereka untuk melakukan salat di tempat masing-masing. Layar Zoom menayangkan bacaan doa di tiap rakaat, takbir, iftitah, dan imam memimpin Salat Id bersama jamaah kecilnya di masjid itu. Saya mengikuti sebagian ceramahnya dan memutuskan salat sendiri tanpa mengikuti ritme bacaan di layar Zoom karena waktu sudah terlalu siang di Detroit.
Bukan Hal Baru
Tayangan ibadah secara virtual sebenarnya bukan hal baru. Saya masih ingat betul bahwa setiap Ramadhan tiba, sebagian stasiun televisi di Indonesia menayangkan momen Salat Tarawih di Mekah. Namun untuk urusan salat berjamaah, secara umum konsensus yang disetujui adalah tidak memperbolehkan seseorang menempatkan diri sebagai makmum dari imam yang melaksanakan salat dari tempat yang berbeda. Konsep "jemaah" mensyaratkan kedekatan antara imam dan makmum dalam jarak tertentu.
Ada tiga interpretasi tentang jarak antara imam dan makmum dalam salat. Dr Abu Ammar Yasir Qadhi, Kepala Urusan Akademik di Al-Maghrib Institute di Houston, Texas menjelaskan tiga interpretasi tersebut (Youtube: Can I Pray with a Virtual Imam? - 15 April 2020). Yang pertama dari mazhab Maliki yang menyebutkan bahwa tidak masalah meskipun ada sungai atau jalan membentang di antara imam dan jemaahnya. Selama masih bisa terhubung, maka proses salat berjemaah tetap sah.
Mazhab Hanafi mensyaratkan jarak dua baris (sekitar 10 kaki atau 3 meter). Jika ada celah selebar itu, maka salat berjemaah itu dianggap tidak sah. Sedangkan mazhab ketiga, yakni mazhab Hambali lebih lentur dalam persyaratannya: selama makmum bisa melihat barisan jemaah atau mendengar suara sang imam, maka mereka boleh menyatakan diri mengikuti shalat jemaah bersama sang imam.
Masa pandemi Covid-19 ini mau tidak mau membuat kegiatan salat jemaah di masjid terhalang. Dan dalam kondisi darurat diperlukan kelenturan agar aktivitas ibadah bersama bisa tetap berjalan, terutama pada saat Ramadhan dan Idul Fitri. Salat Tarawih dan Salat Id punya fungsi lebih. Keduanya termasuk dalam tradisi agama yang berfungsi sebagai perekat sosial dan pembentuk komunitas, yang memungkinkan penganutnya untuk bisa sama-sama bertahan melewati masa-masa sulit, dan berbagi kebahagiaan (Rhythms of Religious Rituals: The Yearly Cycles of Jews, Christians, and Muslims, Black, Kathy dkk, 2018). Tradisi tahunan ini selalu dinanti, dan muslim di berbagai belahan dunia memiliki caranya sendiri untuk berbagi kebahagiaan dengan sesamanya.
Wabah Covid-19 tentu jadi pukulan yang cukup serius terutama bagi muslim di Amerika Serikat yang termasuk minoritas, dan banyak di antaranya yang termasuk mualaf (baru masuk Islam). Sebelum wabah terjadi, masjid adalah tempat yang sangat vital perannya untuk menyambung komunikasi antara para mualaf tersebut dengan komunitas muslim terdekat. Tak semua muslim bisa tinggal di tempat yang dekat dengan masjid, dan acara Ramadhan serta Idul Fitri merupakan kesempatan langka untuk bisa bertemu dengan muslim lainnya. Bayangkan bagaimana rasanya ketika mereka tidak bisa lagi mengikuti aktivitas di masjid lantaran adanya wabah ini.
Itu sebabnya, berbagai cara dilakukan oleh para pengelola masjid untuk tetap bisa berkomunikasi dan melibatkan jemaahnya, dan menjaga fungsi sosial dari salat berjemaah. Maka kemudian mereka menggunakan media online seperti Zoom atau Youtube untuk menayangkan acara salat berjemaah, baik untuk Salat Jumat, Tarawih, dan Salat Idul Fitri. Namun demikian, meskipun ada perkecualian yang boleh dilakukan selama masa darurat seperti wabah Covid-19 ini (Youtube: Can Taraweeh be Prayed by Following The Imam Online? β Dr. Zakir Naik, 15 Mei 2020), mayoritas masjid di AS mengikuti kesepakatan umum, di mana jemaah tidak diperkenankan melakukan salat dengan mengikuti imam secara online (Assembly of Muslim Jurist, Fatwa No. 87755 β Tarawih Prayers in the Midst of the Covid-19/Coronavirus Pandemic, 23 April 2020).
Tidak Menuntut Banyak
Saya sudah terbiasa untuk tidak menuntut banyak dalam hal tradisi sebagai muslim karena inilah konsekuensi ketika berada di sebuah negara di mana Islam adalah minoritas. Saya tidak menuntut bahwa harus ada azan yang dikumandangkan lewat speaker atau menara yang tinggi, meskipun di beberapa kota seperti Hamtramck dan Minneapolis diizinkan. Saya juga tidak menuntut bahwa di setiap kota harus ada masjid, sehingga saya tidak harus menyetir jauh ke kota lain hanya untuk bisa salat berjemaah. Bahkan bagi saya, menempuh perjalanan 45 menit dari rumah ke masjid terdekat justru menimbulkan rasa nyaman --rasa dekat dengan Tuhan yang didapat melalui keterbatasan fasilitas.
Namun ketika tak bisa lagi datang ke masjid untuk melakukan Salat Idul Fitri, saya benar-benar merasa hampa. Sebab, itu momen yang teramat istimewa. Hanya dua kali setahun (saat Idul Fitri dan Idul Adha), saya bisa menikmati pagi yang indah dengan bergabung bersama muslim lainnya yang rata-rata berasal dari negara lain untuk salat bersama dan merayakan Lebaran. Hanya dua kali setahun saya punya kesempatan berada di tengah-tengah mereka, memandang aneka ragam busana khas muslim yang berwarna-warni, saling bersalaman, dan menikmati sepotong-dua potong kue manis yang disediakan gratis untuk jamaah seusai melaksanakan Salat Id. Dan kini, tradisi itu harus terputus sementara waktu karena aturan social distancing.
Mungkin itu sebabnya, saya antusias sekali menyambut inisiatif sejumlah kecil muslim di negara ini untuk melaksanakan salat jemaah secara virtual. Lepas dari pro dan kontranya, saya merasakan itu sebagai pengobat rindu. Pengisi celah di hati yang timbul akibat tak lagi bisa datang ke masjid dan mengikuti salat berjemaah. Ketika melihat wajah sang imam di layar komputer, mengikuti alunan bacaan takbir, dan mendengarkan ceramahnya, hati saya jadi tenang dan damai. Persis seperti ketika saya mengikuti Salat Idul Fitri di Masjid IAGD.
Mungkin bagi sebagian orang ini tak penting, dan bahwa salat sunah itu tak memiliki konsekuensi dosa jika tak dikerjakan. Namun bagi saya, ini bukan sekadar soal dispensasi. Ini adalah soal tradisi, terutama tersambungnya hati dengan agama yang saya anut. Agama tanpa perayaan pasti terasa kering. Agama tanpa kebersamaan pasti terasa asing. Media virtual memungkinkan sambungan batin para jemaah tetap terjaga dan tradisi tetap bisa dilanjutkan.
Saya yakin, tak hanya saya yang bergembira dengan perkecualian ini. Terutama bagi muslim yang tinggal di kota-kota yang tak ada masjid, tak ada muslim lain, tak bisa bepergian karena alasan kesehatan, dan yang baru memeluk Islam. Mereka pasti merasakan manfaatnya dan punya kesempatan untuk tetap tersambung dengan komunitasnya. Ini tak hanya tentang wabah, namun juga tentang memperluas jangkauan masjid kepada para muslim yang tak punya banyak kesempatan untuk datang.
Artha Julie Nava penulis dan Personal Branding Strategist; menetap di Clinton Township, Michigan