Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia sangat dahsyat. Pandemi ini telah menimbulkan guncangan ekonomi yang sangat luas dan merata (economic wide shocks) terhadap hampir seluruh sektor ekonomi; menimbulkan goncangan yang sangat dahsyat terhadap Aggregate Demand dan Aggregate Supply secara bersamaan.
Kondisi ini juga diperparah dengan hancurnya rantai pasok global sehingga berdampak ke hampir seluruh lapangan usaha terutama untuk sektor-sektor industri yang berorientasi ekspor dan sektor-sektor industri yang masih menggunakan bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor.
Guncangan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan hampir seluruh sendi perekonomian nasional, dan kelompok yang paling terdampak adalah kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Jika pada krisis ekonomi 1998 silam UMKM mampu menjadi penolong (bumper) perekonomian nasional, maka pada krisis ekonomi akibat pandemi ini UMKM menjadi korban utama yang paling menderita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibat guncangan dahsyat yang terjadi di kelompok UMKM, roda perekonomian nasional hampir berhenti total. Hal ini terjadi karena posisi UMKM selama ini telah menjadi mesin pendorong bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lebih dari 97% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor UMKM. Bahkan lebih dari 55% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbang oleh sektor UMKM.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 ibarat siklus lingkaran yang tak berujung. Pandemi Covid-19 telah menghentikan aktivitas produksi kelompok industri menengah besar yang pada akhirnya berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) masal di kelompok industri tersebut. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat setidaknya terdapat 6 juta orang tenaga kerja yang telah dirumahkan dan di-PHK akibat pandemi Covid-19 ini.
PHK masal ini secara kolektif telah menurunkan daya beli masyarakat yang berujung pada menurunnya permintaan produk-produk UMKM. Jika siklus krisis ekonomi tidak segera dihentikan, maka perekonomian Indonesia akan semakin terseret pada jurang krisis yang sangat dalam.
Bantuan Pemerintah
Untuk meminimalisasi dampak buruk pandemi Covid-19 terhadap kelompok UMKM, pemerintah telah mengeluarkan 5 paket Skema Perlindungan Pemulihan UMKM. Lima skema tersebut adalah bantuan sosial untuk UMKM yang sangat rentan, insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit serta subsidi suku bunga, perluasan pembiayaan modal kerja, dan penetapan BUMN dan pemda sebagai penyangga UMKM.
Namun pertanyaan berikutnya, apakah 5 skema bantuan pemerintah itu sudah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan UMKM?
Terdapat beberapa masalah krusial UMKM yang sebenarnya belum terjawab di dalam skema bantuan pemerintah tersebut. Permasalahan krusial pertama terkait validitas data. Menurut catatan pemerintah, saat ini terdapat 60 juta UMKM dan 23 juta di antaranya belum bankable. Namun sejauh ini pemerintah belum memiliki data yang akurat terkait sebaran dan mitigasi UMKM, mana yang perlu dibantu dan mana yang bisa ditangguhkan. Sektor UMKM apa saja yang menjadi sektor kunci dan menjadi prioritas di masa pandemi ini.
Belum adanya data yang valid terkait jumlah dan kondisi riil UMKM, maka besar kemungkinan penyaluran bantuan berdasarkan skema yang tadi tidak akan tepat sasaran sehingga akan menurunkan tingkat efektivitasnya.
Padahal di sisi lain, untuk memulihkan kondisi ekonomi nasional pemerintah memiliki anggaran yang sangat terbatas. Total dukungan APBN untuk pemulihan ekonomi hanya sekitar Rp 479,15 triliun yang terdiri dari Belanja Negara Rp 355,13 triliun, Pembiayaan Rp 93,92 triliun, dan Tambahan Belanja K/L dan sektoral Rp 30,1 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp 1 triliun yang diperuntukkan bagi UMKM yaitu melalui program Penjaminan untuk Kredit Modal Kerja Baru bagi UMKM.
Anggaran ini memang masih jauh dari kata ideal. Apalagi jika pandemi berlangsung dalam jangka waktu, lama maka anggaran pemerintah yang dibutuhkan untuk membantu UMKM akan semakin membengkak. Oleh karena itu, efektivitas anggaran belanja negara untuk membantu UMKM harus benar-benar diperhatikan. Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang kebijakan moneter, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus serius dan bersatu padu membantu UMKM melawati masa-masa kritis di saat pandemi Covid-19 ini.
Belum Cukup
Langkah pemerintah melalui 5 Skema Perlindungan dan Pemulihan UMKM di masa Pandemi Covid-19 perlu diapresiasi. Namun program tersebut belum cukup untuk menjawab dan mengeluarkan UMKM dari permasalahan riil yang selama ini menjangkiti kinerja UMKM. Setidaknya terdapat empat masalah utama yang selama ini menjadi faktor penghambat perkembangan UMKM.
Keempat masalah tersebut adalah terbatasnya akses pasar terutama akses pasar ekspor, tingkat daya saing rendah yang disebabkan oleh tingginya biaya logistik, akses permodalan yang masih terbatas dan tingginya biaya modal, dan masalah terakhir adalah masih tingginya barang-barang impor yang menjadi substitusi produk UMKM.
Program-program bantuan pemerintah untuk UMKM selama ini lebih sering fokus pada aspek permodalan seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR), pembiayaan Ultra Mikro (UMi), dan program Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar). Padahal masalah paling krusial bukan terletak pada aspek permodalan. Masalah terbesar yang dihadapi oleh UMKM adalah terbatasnya akses pasar terutama untuk pasar ekspor. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki program yang bisa membuka akses pasar potensial serta mendorong para pelaku UMKM untuk memasuki pasar-pasar potensial tersebut.
Masalah akses pasar ini sering kali berkaitan dengan tingkat daya saing produk-produk UMKM yang relatif masih rendah. Kompetisi di pasar global mengharuskan setiap pelaku industri termasuk UMKM memiliki tingkat daya saing yang tinggi. Jika indeks daya saing produk-produk UMKM masih rendah maka kecil kemungkinan para pelaku UMKM tersebut mampu bersaing dengan para pelaku industri dari luar negeri.
Oleh karena itu, pemerintah wajib menghilangkan high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama dari rendahya indeks daya saing produk-produk UMKM tersebut. Salah satu penyebab utama dari high cost economy di dalam sistem perekonomian Indonesia adalah masih tingginya biaya logistik.
Biaya logistik di dalam sektor industri Indonesia bisa mencapai lebih dari 25% dari total biaya produksi. Jumlah yang sangat besar dan mengakibatkan sistem produksi industri kita sangat tidak efisien. Pemerintah harus berusaha keras untuk menurunkan biaya logistik ini dengan menciptakan sistem transportasi yang terintegrasi dan berbiaya murah, serta menurunkan ongkos bongkar muat yang selama ini dikenal mahal.
Selain biaya logistik, biaya modal untuk UMKM juga mahal. Kewajiban jaminan pembiayaan (collateral) serta tingkat suku bunga efektif yang tinggi menjadikan biaya modal untuk UMKM cenderung jauh lebih mahal dibanding biaya modal untuk usaha menengah besar. Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah harus bekerja sama secara sinergis dengan BI dan OJK sebagai pemegang otoritas moneter dan industri keuangan.
BI harus menetapkan Loan to Value (LTV) yang besar untuk sektor UMKM sehingga besaran Down Payment (DP) untuk UMKM bisa jauh lebih rendah. Penetapan suku bunga acuan untuk sektor-sektor yang melibatkan UMKM ditekan serendah mungkin sehingga suku bunga efektif lembaga pembiayaan untuk UMKM bisa lebih rendah lagi. OJK juga harus mendorong lembaga-lembaga pembiayaan untuk beroperasi lebih efisien lagi sehingga lembaga-lembaga pembiayaan untuk UMKM tersebut bisa menetapkan biaya yang lebih rendah yang pada akhirnya bisa menurunkan suku bunga efektif bagi para pelaku UMKM.
Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan UMKM tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Namun dengan usaha yang serius, kolektif, dan terintegrasi, serta pantang menyerah dari pemerintah, sektor UMKM dapat maju dan bisa naik kelas menjadi usaha menengah dan usaha besar. Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk mengubah dan mendorong sektor UMKM menjadi jauh lebih baik lagi.
Agus Herta Sumarto dosen FEB UMB dan Ekonom INDEF
(mmu/mmu)