Kemanusiaan sedang terancam. Secara pemikiran dan perilaku sudah sering dinarasikan, berkaitan dengan rasa kemanusiaan maupun hak asasi. Secara ragawi, sekarang sedang terjadi; manusia terancam oleh wabah penyakit. Fokus perhatian dunia tertuju pada masalah ini. Dunia khawatir. Hal ini dikarenakan manusia terancam oleh spesies lainnya yang kecil, namun membahayakan.
Tidak hanya di tingkat lokal dan nasional, ancaman ini telah menjadi pandemi global. Segala kepentingan lainnya terpaksa dikorbankan demi menyelamatkan kemanusiaan ini. Aspek kesehatan menjadi yang diprioritaskan. Kepentingan lainnya dalam sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya dikesampingkan sejenak.
Memang sekilas banyak kepentingan bahkan kebutuhan lain manusia yang terabaikan, dan lingkungan bumi terlihat lebih sehat dengan polusi udara berkurang atau sungai lebih bersih. Namun pada aspek lingkungan dan hayati yang lain juga terjadi degradasi. Contohnya, dengan adanya peningkatan permintaan plastik sekali pakai yang kemudian menghasilkan sampah plastik lebih banyak.
Dampak terhadap hewan juga terlihat dengan banyaknya satwa di kebun binatang yang mulai kelaparan akibat terbengkalainya perawatan. Sampai pada usaha disengaja untuk memberantas kehidupan lain seperti mulai dicoba pemerintah Rusia untuk menangkap anjing dan kucing liar lalu membasmi tikus. Juga wacana yang sempat dilontarkan Bupati Subang untuk membasmi kelelawar liar, demi mencegah penyebaran virus.
Bahkan Ocean Conservancy, komunitas lingkungan di Washington, melalui wakil presidennya Doug Cress memahami fenomena pembatalan secara drastis usaha menurunkan jumlah sampah plastik saat krisis ini. Hal ini semakin menegaskan bahwa pandemi Covid-19 tidak begitu saja baik bagi lingkungan selain manusia dan memang disikapi dengan tujuan menyelamatkan manusia kemudian mengabaikan spesies lainnya.
Pusat Kehidupan
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal, manusia bisa mengaku sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan ciptaan lainnya. Segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia didasarkan pada kinerja akalnya. Namun kemudian dikarenakan ada akal tersebut, manusia menjadi memiliki keinginan melakukan hal lainnya di samping memenuhi kebutuhan hidup. Manusia juga memiliki kemampuan untuk membuat segala kebutuhannya menjadi semakin mudah.
Revolusi Industri bisa dijadikan contoh konkret pernyataan tersebut. Revolusi Industri, sejak gelombang pertama ketika ditemukannya mesin uap, menandai perubahan besar-besaran yang mengarah kepada perkembangan industri yang akan memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Perubahan dan perkembangan ini kemudian terjadi dengan makin cepat pada tiap tahapnya.
Percepatan ini kemudian berbanding lurus dengan emisi dan dampak lingkungan yang disebabkan. Ekosistem mulai tercemar dan emisi menyebabkan bumi semakin panas. Hal inilah yang mengukuhkan antroposentrisme sebagai perspektif yang melihat manusia sebagai pusat dari kehidupan, dan entitas lainnya di alam sebagai objek pemenuh kebutuhan manusia.
Antroposentrisme sebagai perspektif etika lingkungan seperti disampaikan oleh Sonny Keraf dalam Etika Lingkungan Hidup (2010) merupakan perspektif yang memandang manusia sebagai pusat kehidupan. Manusia dan kepentingannya adalah nilai tertinggi, dan menjadi komponen paling menentukan dalam setiap kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan alam.
Secara filosofis, sebenarnya pengetahuan pun antroposentris. Tidak ada ilmu pengetahuan yang berkembang dengan sumbangan pemikiran selain akal manusia. Sederhananya, segala pengetahuan sejatinya adalah pengetahuan manusia atas hal tertentu, karena hanya manusia yang sadar dan memiliki akal. Namun lebih dari pengetahuan atas segala hal di sekitarnya, antroposentris tumbuh menjadi rasa penguasaan manusia terhadap kehidupan lain dan seisi lingkungan.
Cara pandang antroposentrisme kemudian sering dihadapkan pada ekosentrisme atau yang diperkenalkan Arne Nauss, seorang filsuf Norwegia, sebagai deep ecology. Ekosentrisme tidak menempatkan manusia di atas kehidupan lainnya, namun berada di dalam komunitas ekologis yang setiap komponennya memiliki keterhubungan. Oleh karena itu, manusia yang hanya bagian dari jaringan tersebut memiliki tanggung jawab untuk menjaga komponen biotik bahkan abiotik lainnya agar keselarasan tetap terjaga.
Ekosentrisme kemudian berkembang menjadi cara pandang yang erat dengan kepedulian terhadap lingkungan, dan kadang menjadi antitesis dari antroposentrisme yang hanya memikirkan manusia. Akhirnya, ekosentrisme sebagai cara pandang, jelas melampaui nilai dan norma kemanusiaan.
Mengubah Bumi
Sejak Revolusi Industri, jumlah spesies yang terancam punah meningkat drastis. Paul Crutzen memperkenalkan istilah antroposen untuk menjadi penanda masa di mana manusia mengendalikan bumi. Akibat hal tersebut juga manusia menjadi pemengaruh dari setiap ancaman kepunahan di bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan makin banyaknya penurunan keragaman dan kelangkaan, pada era antroposen ini bumi dihadapkan pada ancaman kepunahan massal keenam, dan penyebabnya adalah manusia.
Sebenarnya sejak berkembangnya peradaban manusia ketika mulai era berburu dan meramu, manusia sudah mengubah bumi. Namun yang terjadi pasca-Revolusi Industri hingga era modern ini begitu signifikan dengan akselerasi yang begitu cepat. Terlebih sejak 1950-an, para ilmuwan melihat suatu peningkatan tajam pada sistem sosial-ekonomi global yang kemudian dinamakan sebagai The Great Acceleration. Dan tingkat kepunahan serta penurunan keragaman kehidupan meningkat tajam sejak akselerasi itu.
Kesadaran akan keanekaragaman hayati mulai mengglobal ketika KTT Bumi atau UN Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 di Rio melahirkan salah satunya Konvensi Keanekaragaman Hayati. Konvensi tersebut menandakan tumbuhnya komitmen global terhadap pembangunan berkelanjutan, yang berbasis pada pentingnya keanekaragaman hayati. Bukan hanya aktivitas manusia mengancam kehidupan spesies lainnya di bumi, namun penurunan keragaman menyebabkan terganggunya sistem ekologis yang akan berdampak pada manusia juga.
Dewasa ini kita sering menarasikan keberagaman dalam kemanusiaan. Manusia itu beragam ras dan budayanya, dan memiliki kesamaan dalam hak asasi dan perlakuan. Namun bagaimana dengan keragaman hayati? Bisakah kita memosisikan diri secara setara dengan hayati lainnya untuk bisa saling mendukung dalam menjaga ekosistem? Jika kita mengenal istilah unity in diversity, dalam konteks yang lebih luas, diversitas yang ada meningkat dari hanya sekadar diversitas ras, budaya, dan agama manusia, menjadi diversitas makhluk hidup atau biodiversitas.
Pada narasi International Day for Biological Diversity (22/5) atau Hari Keanekaragaman Hayati Internasional tahun ini, tema yang diangkat sebenarnya juga bisa dilihat dengan sangat antroposentris: Our Solutions are in Nature. Menggambarkan solusi kita manusia yang segalanya ada di alam. Di samping itu kita memang tidak bisa menutup mata akan keniscayaan pemanfaatan alam untuk kebutuhan, memang solusi secara nature-based lebih baik untuk lingkungan dan keberlangsungan ekosistem, dibandingkan banyaknya olahan manusia yang mencemari lingkungan.
Untuk saat ini memang kita sebagai manusia sedang meningkatkan ego antroposentrisnya dikarenakan sedang terancam oleh virus. Kepentingan di sektor lainnya bisa dikesampingkan, apalagi kepentingan hayati lain. Namun ketika kehidupan hayati lain juga mulai terancam di tengah keterancaman manusia sendiri, rasa kepedulian kita sebagai bagian dari biodiversitas diuji kembali. Dan hal itu rasanya butuh lebih dari sekadar rasa kemanusiaan.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini