Benar saja, manusia dewasa ini telah mengandalkan teknologi sebagai basis peradabannya. Manusia, saat ini boleh dikatakan tidak bisa hidup tanpa teknologi. Bukannya tidak mungkin, kenormalan baru (new normal) yang belakangan ini menjadi topik utama pembicaraan di era pandemi, nantinya akan melahirkan tatanan peradaban manusia yang baru (new order).
Saya mengandaikan bahwa tatanan baru ini akan melahirkan purwarupa model manusia baru, atau kalau mau lebih dramatis, spesies manusia baru. Sebut saja, spesies baru tersebut dengan istilah "coronium".
Nalar di atas, tentu saja tidak berlandas argumentasi ilmiah, hanya pengandaian, mengikuti jejak imaginasi para "ahli" yang sering mewarnai garis waktu media sosial kita. Dan jika diperkenankan untuk "nyinyir", saya rasa semua keilmuan, saintifik, profesionalitas, atau apapun yang punya legitimasi ilmiah hari ini rasanya tidak memiliki "lisensi" absolut untuk melakukan penjelasan ilmiah tentang fenomena wabah corona ini.
Semua pakar ilmiah hanya bisa mereka-reka, ahli medis hanya bisa menganalisis, ahli virus pun tampaknya "gagap" ketika menjelaskan Covid 19. WHO dalam satu kesempatan dan kesempatan lain menyarankan hal yang berbeda. Menteri Kesehatan RI tampaknya juga blunder soal "masker (hanya) untuk yang sehat".
Apalagi beberapa lembaga survei yang melakukan prediksi dengan data sekunder "angka" dan "tren", akan sangat berbeda tingkat akurasinya, dibandingkan ketika mereka survei fenomena politik, polling elektabilitas, exit poll, atau quick count. Intinya, tidak ada otoritas yang bisa menjelaskan secara akurat fenomena corona ini. Sehingga, bolehlah ketika kita mengandai, berimajinasi tentang masa depan "berdamai" dengan pandemi.
Manusia Baru
Hampir tiga bulan lamanya saya berdiam dan bekerja di rumah. Soal bosan, jangan ditanya. Gabut? Apalagi. Namun faktanya selama tiga bulan ini saya masih bisa bernapas, menikmati kehidupan, anugerah Tuhan yang tiada tara. Benar kata pepatah, "Manusia adalah makhluk yang paling mudah beradaptasi."
Kita akan menjalani pola kehidupan baru sebagai manusia sosial. Tetap di rumah, work from home, jaga jarak, social distancing, mengurangi kerumunan, memakai masker, sering cuci tangan, menjaga daya tahan tubuh adalah deretan terminologi yang menjadi "mainstream" peradaban manusia di tengah pandemi sekarang ini. Tentu saja, manusia mengisolasi diri di rumah ini tidak mungkin dilakukan selamanya --sampai ditemukan vaksin corona.
Menurut para ahli, proses penemuan vaksin sampai hilirisasi di sektor industri memerlukan waktu yang lama, bisa jadi lebih dari satu tahun. Padahal pola "di rumah" telah meruntuhkan sektor ekonomi, yang menjadi basis kehidupan umat manusia. Inilah mengapa kita harus melakukan new normal. Kembali ke kehidupan normal, dengan pola baru. Hal ini, sebagaimana yang disinggung di atas, akan melahirkan prototip manusia baru, spesies coronium.
Coronium adalah purwarupa manusia baru, di mana pola interaksi langsung yang menjadi tabiat "asli" manusia mencoba diminimalisasi. Contoh sederhana, salaman. Salaman yang selama bertahun-tahun lamanya menjadi produk peradaban manusia, apalagi pada masyarakat muslim, dengan sukarela harus mulai kita hilangkan.
Saat ini, kita sudah menyaksikan, bagaimana tradisi beragama yang selama bertahun-tahun dilestarikan harus ditinggalkan: salat berjamaah, Tarawih, Salat Id, mudik, halal bihalal, silaturahmi. Sebagai produk kebudayaan, ritus dan situs keberagamaan tersebut harus rela untuk ditinggalkan. Coronium adalah purwarupa baru yang kira-kira tidak akan melestarikan produk keberagamaan tersebut, atau walaupun masih melestarikan, namun dengan model dan format yang berbeda.
Belanja online, seminar online, webinar, belajar online, kerja online adalah karakter baru coronium ini. Belanja online yang saat ini sudah akrab dilakukan, faktanya sudah mampu menjadi pola peradaban baru, bahkan dikabarkan sudah mulai mengancam pasar, swalayan, dan toko riil.
Di sektor pendidikan, uji coba belajar dan bekerja di rumah yang selama 3 bulan ini telah diterapkan menjadi karakter selanjutnya manusia coronium. Ke depan, boleh jadi sekolah favorit tidak lagi dilihat dari berapa tingkat gedungnya. Perguruan tinggi unggul, tidak lagi mengandalkan infrastruktur megah. Melainkan, bagaimana mampu mengemas pola interaksi dan pembelajaran yang efektif, dengan polesan inovasi.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika pandemi ini terjadi pada era belum ditemukannya internet. Syukurlah, kehidupan telah "menganugerahkan" internet kepada kita, sehingga kita masih bisa survive di tengah pandemi, setidaknya ruang sosialisasi antarmakhluk sosial masih bisa dilakukan.
Kita semua tentu berharap pandemi ini akan segera berakhir, dan kita akan kembali menjadi manusia normal --tanpa kenormalan baru, tatanan baru, apalagi spesies baru. Namun, alam selalu menjaga keseimbangannya, berubah, bermetamorfosis, dan berevolusi sesuai kehendaknya.
Muhamad Mustaqim dosen IAIN Kudus
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini