New Normal, Old Fashion, dan Dentingan Huntington
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

New Normal, Old Fashion, dan Dentingan Huntington

Selasa, 26 Mei 2020 10:55 WIB
Xavier Quentin Pranata
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Reopening for business adapt to new normal in the novel Coronavirus COVID-19 pandemic. Rear view of business owner wearing medical mask placing open sign OPEN BUSINESS AS NEW NORMAL on front door.
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Chansom Pantip
Jakarta - Apa itu new normal? Saya mendapatkan jawaban menarik bukan dari jurnal para pakar, melainkan dari ekspresi orang di pasar. Seorang ibu sedang memperhatikan suaminya sarapan dan nyeletuk, "Mulai besok kamu yang masak, itulah yang namanya new normal!" Saya yang membaca komik itu jadi ngakak sendiri.

Jika dulu saya bisa dianggap gila, sekarang itu new normal. Di atas MRT, trem atau subway, saya sering menyaksikan orang tertawa sendiri sambil memandang gadget-nya. Kalau ini malah new normal yang tidak benar-benar new. Dulu orang yang ngomong sendirian dianggap miring otaknya, tetapi sejak smartphone dan bluetooth menjadi keseharian, pemandangan seperti itu jadi biasa sekali.

Demikian juga dengan new normal. Orang sepakat itu adalah tatanan dunia baru, lebih tepatnya gaya hidup dan kebiasaan yang baru. Salah satu meme menarik tentang new normal menggambarkan dua orang pria. Jika dulu leyeh-leyeh (Jawa, tiduran) di sofa dianggap malas, sekarang dianggap warga teladan karena mematuhi PSBB.

Sebagai orang yang cukup kagum (bukan mengidolakan) Samuel Phillips Huntington, saya merasa bahwa pemikirannya tetap up to date. Cahaya pemikirannya tetap berpijar saat dunia sedang digelapkan oleh Covid-19. Orang yang membaca karyanya yang amat beken Clash of Civilizations maupun mengikuti sharing ilmiahnya di World Economic Forum yang berjudul When Cultures Conflicts di Davos, Swiss akan mengakui kejeniusan pakar politik dunia ini.

Harapan Tak Seindah Kenyataan

Doi yang sedang in love, matanya silau oleh gemerlap cinta sehingga tidak bisa membedakan antara harapan dan kenyataan. "And they lived happily ever after" dalam drama maupun film diakhiri dengan penutupan layar. Apa maksudnya? Karena di balik layar itu, pasangan itu bertengkar dengan hebatnya.

Huntington berkata, "Expectations should not always be taken as reality; because you never know when you will be disappointed." Saya manggut-manggut saja, apalagi saat dihubungkan dengan SARS-Cov-2 ini. Kepala pemerintahan atau negara di seluruh dunia menyebarkan harapan. Ini bagus, agar kita tidak pesimis. Namun, apakah harapan itu real or fake?

Kita sudah telanjur basah kuyup diguyur hoaks sampai kehilangan arah. Apakah kata-kata manis dari orang nomor satu di setiap negara benar-benar valid atau justru seperti klaim setiap produsen kecap?

Rasanya sudah berbulan-bulan saya membaca mereka berkata bahwa vaksin corona segera ada. Bisa jadi memang ada, tetapi apakah manjur? Buktinya sampai hari ini belum terwujud. Apakah janji tinggal janji atau memang kalah ulet ketimbang virus yang tak kasat mata ini? Di Indonesia pun karena 'kalah melulu' dengan musuh tak kelihatan ini, sehingga pusat kekuasaan ditarik paling tidak oleh dua gajah yang sedang berkelahi.

Gajah yang satu ingin agar PSBB dilonggarkan atau bahkan dicabut agar makanan di hutan tetap melimpah dan penghuninya tidak kelaparan. Gajah yang lain ingin agar PSBB justru diperpanjang agar tidak banyak makhluk hutan yang terpapar. Akibatnya? Pelanduk yang terkapar!

Barat Tak Selalu Hebat

Suhu yang mengajar ilmu silat hubungan politik antarnegara di Harvad ini melontarkan bom nuklir ke masyarakat Barat, khususnya Amerika Serikat: "In the emerging world of ethnic conflict and civilizational clash, Western belief in the universality of Western culture suffers three problems: it is false; it is immoral; and it is dangerous."

Banyak politisi yang tertampar oleh pendapat Huntington ini baik yang berambut jagung maupun yang merasa orang Barat selalu hebat. Donald Trump menuduh bahwa Wuhan (baca= China) yang menjadi episentrum pandemi ini. Teori konspirasi mengatakan bahwa karena merasa kalah di bidang persenjataan mainstream, maka China memakai senjata biologi untuk mengalahkan negara adidaya ini. Pernyataan yang berbahaya sekali, bukan?

Tentu saja orang-orang yang tidak sependapat beraksi. Mereka yang kebakaran jenggot tetapi tidak tahu bagaimana caranya balas membakar jenggot musuhnya, melakukannya dengan cara yang mirip. Ada video yang tersebar di dunia maya yang menunjukkan prajurit Amerika yang mengoleskan ingusnya ke tiang pegangan di bus kota. Dalam sikon seperti ini, penafsirannya jelas. Justru orang Amerikalah yang menularkan penyakit itu ke China.

Mana yang bisa dipercaya? Abaikan saja. "Begitu saja kok repot," ujar Gus Dur dulu.

Apa esensinya? Ini yang penting, yaitu bahwa 'kerinduan Barat' untuk membudayakan dunia dengan kultur mereka sangat berbahaya. Mengapa? Karena salah, tidak bermoral, dan berbahaya.

Siapa saja yang mempercayai ide gila itu bukan saja salah, tetapi juga tidak bermoral. Bahayanya terjadi perang dunia baru yang tidak terbayangkan. Dalam sikon seperti ini, yaitu saat menghadapi musuh bersama, sudah sepantasnyalah kita bergandeng tangan, bergotong royong, bahu membahu, melawan invisible but invincible enemy ini.
Kuncinya adalah Kebersamaan

"Collective will supplants individual whim," begitu kata Huntington. Di saat seperti ini mari kita enyahkan virus yang justru sudah berabad-abad ngendon di tubuh kita: egoisme.

Karena ego, banyak orang yang tidak mau memakai masker. Yang risihlah. Yang ngrepotinlah. Yang mahallah. Pakar human capital --lebih manusiawi ketimbang human resources-- berulang-ulang dalam berbagai kesempatan berkata, "Winners find ways for their success; losers make excuses for their failure."

Jika kita ingin menang --melawan wabah-- jangan berkata, "Terserah gue!" Pemenang selalu berusaha mencari solusi, sementara pencundang mahir mencari alasan ketidaksanggupan dengan berkata nyinyir.

Sudah bukan saatnya lagi kita terjebak dengan nasionalisme semu, bahkan palsu, sehingga terlalu berlebihan memandang bangsa sendiri yang paling hebat, sedangkan bangsa lain layak dilaknat. Jangan mengikuti apalagi mewarisi semangat salah kaprah Nicolas Chauvin --yang kita kenal dengan chauvinisme-- sehingga makin terpuruk.

Para leluhur kita mengutamakan kerukunan dan keselarasan. Mari kita gantikan kata 'hegemoni' dengan 'harmoni', 'arogansi' dengan 'atensi' dan 'kompetisi' dengan 'kooperasi' untuk melawan pandemi ini. Bersama kita bisa!

Xavier Quentin Pranata pelukis kehidupan di kanvas jiwa

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads