Ketika Rakyat Melawan Petugas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Ketika Rakyat Melawan Petugas

Senin, 25 Mei 2020 12:00 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kang hasan
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Minggu lalu viral video seorang tokoh masyarakat yang ribut dengan petugas yang sedang mengatur pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Petugas yang menganggap tokoh tersebut melanggar ketentuan PSBB memintanya tidak meneruskan perjalanan. Tapi tokoh tersebut menolak. Ia sempat mendorong petugas beberapa kali. Akhirnya ada petugas yang tak bisa menahan emosi, lalu bertindak membalas dorongan tokoh tersebut, kemudian memukulnya.

Ini bukan kejadian pertama yang videonya pernah beredar di media sosial. Ada begitu banyak kejadian di mana orang melawan petugas. Banyak dari kejadian itu yang sungguh konyol. Pelanggar aturan merekam perselisihannya dengan petugas, menganggap dirinya benar. Ia merekam dengan niat mengadukan kejadian itu, agar dilihat oleh publik. Ada yang dengan bangga mengancam bahwa video itu akan diviralkan. Tanpa sadar dia sedang merekam kebodohannya, kemudian menyebarkannya pula.

Ada hal dasar yang tidak disadari banyak orang dalam kejadian-kejadian seperti ini. Para petugas itu ada dan berada di sana karena kita membutuhkan mereka. Mereka dibayar oleh negara, dengan uang yang dipungut dari rakyat dalam berbagai bentuk, di antaranya berupa pajak. Artinya, kita membayar para petugas itu, mereka bekerja untuk menunaikan kebutuhan kita.

Apa kebutuhan kita? Jalan yang teratur, aman dari kecelakaan adalah kebutuhan kita. Memang sulit untuk mengakuinya sebagai kebutuhan. Yang segera kita rasakan ketika diatur oleh petugas adalah hilangnya kebebasan dan terkekangnya kehendak. Pada saat itu juga petugas jadi tampak sebagai musuh yang harus dilawan.

Kita bisa membayangkan hal sebaliknya, kalau petugas itu tidak ada, apa yang akan terjadi? Kekacauan. Konyolnya, orang yang melawan petugas ketika ditertibkan itu adalah orang yang juga mengeluhkan ketiadaan petugas ketika ada kekacauan.

Ada satu hal yang sangat penting yang dilupakan orang ketika ia melawan petugas. Petugas itu tidak hadir di sana sebagai pribadi. Mereka hadir mewakili kepentingan masyarakat tadi. Melawan mereka secara substansi bisa disebut melawan masyarakat. Karena itu melawan petugas dapat dikenai sanksi hukum pidana.

Apa yang harus terjadi ketika seseorang melawan petugas? Petugas bisa menindaknya. Ia bisa ditangkap, ditahan, lalu diadili. Bila bukti-buktinya kuat, ia bisa masuk penjara. Perselisihan antara seseorang dengan petugas negara bukan perselisihan pribadi yang bisa diselesaikan dengan saling memaafkan. Prinsipnya begitu.

Orang yang melawan petugas itu melawan masyarakat, melawan negara. Kalau pun penyelesaiannya adalah minta maaf, maka yang melawan petugas itu harus minta maaf kepada masyarakat, bukan sekadar kepada petugas itu secara pribadi.

Lalu ada kabar bahwa setelah saling bermaafan, petugas tadi mendapat hadiah dibiayai pergi umrah. Ingat, sekali lagi, petugas itu bukan orang pribadi. Ia adalah wakil masyarakat. Dalam pelaksanaan peran itu ia tidak boleh menerima pemberian dari masyarakat yang ia layani. Pemberian yang terkait dengan statusnya sebagai aparat negara adalah gratifikasi.

Konsekuensi lain dari status seseorang yang menjadi petugas negara adalah ia pun tidak boleh membawa kepentingan priibadinya saat bertugas. Bentuk nyatanya bagaimana? Misalnya kalau ada orang melawan, petugas tidak boleh marah berbasis emosi. Petugas tidak boleh memukul orang untuk menyalurkan amarahnya. Amarah itu urusan pribadi, petugas tidak boleh marah dalam keadaan bertugas.

Jadi kalau misalnya petugas memukul anggota masyarakat karena emosi, itu sudah salah. Lalu apa yang harus dia lakukan? Sebenarnya sudah ada petunjuk teknis tentang bagaimana ia menghadapi hal-hal seperti itu. Orang yang melawan dilumpuhkan untuk diamankan. Bila dalam upaya pelumpuhan itu dibutuhkan tindakan keras, misalnya memukul, itu dibolehkan. Memukul orang karena emosi dengan memukul dalam rangka pelaksanaan tugas adalah dua hal yang berbeda secara substansial.

Karena bukan sebagai orang pribadi, maka petugas sebenarnya mengemban amanah yang sangat berat. Ia harus bekerja menegakkan peraturan. Maka ia harus memastikan bahwa sikap-sikapnya sesuai dengan aturan yang mau dia tegakkan, juga sesuai dengan prosedur pelaksanaan tugas.

Apakah petugas kita sudah demikian? Belum. Masih banyak pelanggaran yang justru dilakukan oleh para petugas sendiri. Kita bisa dengan mudah menemukan anggota polisi naik sepeda motor tanpa memakai helm, atau melawan arus, melanggar rambu-rambu dan marka jalan. Belum lagi soal polisi yang menerima pungutan liar atau suap.

Rakyat yang melawan petugas atau memusuhinya antara lain karena petugas tidak berwibawa. Petugas tidak berwibawa karena ia sendiri masih suka melanggar dan korup. Artinya, masih sangat banyak hal yang harus kita benahi. Masyarakat harus terus belajar untuk membangun kesadaran bahwa para petugas itu ada untuk melayani kepentingan dan kebutuhan mereka.

Para petugas juga harus belajar bahwa mereka ada karena kebutuhan masyarakat. Mereka adalah penegak aturan. Mereka bukan orang-orang yang dikecualikan dari peraturan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads