Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar, Allaahu akbar walillaahil hamd
Terdengan suara takbir yang bertalu-talu dari arah musala pabrik yang terletak antara klinik dan kantin. Sekumpulan jemaah yang merupakan pekerja pabrik tengah menyambut hari raya dengan mengumandangkan takbir sebagai rasa syukur kepada yang maha besar yang telah memberikan kemudahan dalam menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan. Perasaan saya mulai tak karuan; sedih karena tamu Ramadhan akan pamit bercampur dengan rasa rindu yang mendalam untuk berkumpul dengan keluarga bersama-sama merayakan hari kemenangan.
Sejak virus corona muncul pertama kali di kota Wuhan, China sebagai wabah misterius yang menyebabkan pneumonia, jumlah pasien meningkat setiap harinya. Melansir data dari Worldometers, jumlah pasien positif Covid-19 di dunia terkonfirmasi sebanyak 5.188.656 hingga Jumat (22/5). Di Indonesia sendiri hingga Sabtu (23/5) tercatat 21.745 orang yang terinfeksi.
Untuk memulihkan kondisi ini, pemerintah sejak awal sudah gencar melakukan sosialisasi pembiasaan pola hidup bersih dan sehat, mengeluarkan anjuran stay at home, work from home, meliburkan sekolah yang diganti menjadi belajar dari rumah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga aturan beribadah di rumah.
Dampak yang paling nyata dirasakan dari adanya pandemi adalah merosotnya sektor ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April terdapat 116 ribu perusahaan yang kegiatannya tersendat akibat penyebaran Covid-19, dengan jumlah karyawan PHK mencapai 2 juta orang lebih.
Beruntungnya saya tidak termasuk dalam data PHK akibat pandemi. Hingga hari ini saya masih bisa bekerja, dengan konsekuensi harus tinggal dan dikarantina di dalam perusahaan. Terhitung sejak 20 Maret saya dan teman-teman pekerja lainnya mulai melakukan karantina di dalam lingkungan perusahaan. Selama masa karantina para pekerja tinggal dalam lingkungan perusahaan melakukan physical distancing dengan setiap orang yang berada di luar.
Keluarga dan kerabat yang ingin datang menjenguk atau sekadar mengantarkan makanan dan kebutuhan lainnya masih diperbolehkan hingga batas lokasi yang sudah ditetapkan, harus memakai masker, mencuci tangan, dan melewati mesin disinfektan.
Kemudahan Beribadah
Menjelang bulan puasa, dengan berat hati saya sudah mempersiapkan diri untuk beribadah di mess saja mengikuti anjuran MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi wabah Covid-19, di mana kita menjadikan rumah sebagai sentrum kegiatan ibadah.
Namun seiring dengan berjalannya waktu kami melewati 14 hari masa karantina di mana setiap harinya sebelum bekerja dan pulang kerja harus mengikuti protap perusahaan untuk melakukan tes suhu untuk memastikan kami semua dalam keadaan suhu badan yang normal. Selain itu memakai masker dan mencuci tangan sudah menjadi rutinitas baru yang akhirnya menjadi kebiasaan sehat. Kami pun, para pekerja, alhamdulillah dalam keadaan sehat hingga hari ini.
Akhirnya dengan penuh kegembiraan kami bisa menyambut bulan suci dengan makan bersama dengan hidangan makanan khas Bugis Makassar seperti ikan kambu, ikan bakar dan klepon pada malam pertama Ramadhan yang dilanjutkan dengan Salat Tarawih secara berjamaah di musala pabrik. Selama sebulan penuh kami bisa melakukan ibadah Ramadhan dengan khusyuk. Setiap malam Salat Tarawih diimami oleh para pekerja secara bergantian; ceramah Ramadhan pun terus diusahakan dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada.
Sungguh Tuhan tidak pernah ingkar janji; Ia berfirman dalam Surah Al-Insyirah:6 bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Pada awal masa karantina terasa sangat sulit, rasa gundah, takut, dan cemas selalu datang silih berganti. Sedih harus berpisah dengan keluarga, takut jikalau saja virus ini menjangkit salah satu di antara kami, hingga pada akhirnya berpasrah terhadap ketentuan Ilahi menjadi satu satunya pilihan.
Namun bersamaan dengan itu ada kemudahan dalam beribadah. Jika sebagian masyarakat di luar tidak bisa menjalankan ibadah Ramadhan seperti biasanya, kami di sini masih tetap bisa beribadah bahkan lebih khusyuk dari Ramadhan sebelumnya. Jika sebagian masjid di luar sana ditutup, musala kecil kami yang hanya berukuran 8x8 meter masih makmur dengan jemaah.
Jika kebanyakan orang di luar sana tidak bisa ngabuburit dan sahur bersama, kami di sini masih bisa sahur dan berbuka puasa bersama di kantin. Saya pribadi merasakan Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan dengan kegiatan ibadah paling terjadwal dibanding Ramadhan sebelumnya.
Jalan Muhasabah
Jarak antara mess tempat saya tinggal dan musala kurang lebih 500 meter. Di antaranya terdapat pos security di pintu utama. Ketika sore hari kerap saya melihat pemandangan yang begitu mengharukan. Anak-anak kecil yang datang untuk memeluk bapaknya hanya bisa melepas rindu dari jauh. Ibu-ibu yang rindu dengan anaknya datang membawa bungkusan di tangan yang berisi makanan kesukaan putra-putrinya. Rindu yang membuncah hanya bisa dilepaskan melalui pertemuan jarak jauh.
Sesak iya, tetapi keadaan ini tidak perlu dikutuk bukan? Tetapi harus disyukuri karena masih diberi kesempatan untuk mencari nafkah ketika jutaan orang lainnya telah kehilangan pekerjaan.
Jangan bersedih, bukankah Tuhan telah berfirman dalam Surah al-Baqarah ayat 286, bahwa Tuhan tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Jika Tuhan menurunkan wabah ini pada bulan Ramadhan sehingga kita terpisah sementara dengan keluarga, itu berarti kita mampu melewatinya. Bisa jadi wabah ini menjadi lonceng bagi kita yang sudah melampaui batas, kemudian menjadi jalan bagi kita untuk bermuhasabah diri.
Pendemi ini bisa menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah kita untuk meraih kemenangan tertinggi, yaitu menjadi manusia yang bertakwa. Puasa kali melatih kita untuk tidak hanya menjaga hawa nafsu dalam menahan makan dan minum, tetapi juga telah melatih untuk menahan hawa nafsu duniawi.
Pandemi ini mengajarkan kita untuk terus bersyukur di setiap keadaan. Pandemi ini mengajarkan bahwa beribadah pada masa sulit terasa begitu nikmat. Pendemi ini mengingatkan kita untuk terus hidup sehat dan menjaga kebersihan.
Tiga puluh hari berlalu begitu cepat, hingga tibalah kita pada hari kemenangan. Pagi-pagi sekali saya sudah bangun mempersiapkan diri untuk menuju tempat Salat Id. Kuayungkan kaki dengan penuh semangat sambil bertakbir mengucap syukur. Dari jauh saya melihat tenda sederhana membentang di depan kantin. Tempat yang biasanya digunakan untuk makan disulap sedemikian rupa menyerupai masjid.
Ratusan jemaah dengan pakaian serba putih sudah mulai bertakbir, menundukkan hati dan berharap ampunan dari Sang Maha Pencipta. Selesai salat tibalah waktunya kami bermaaf-maafan dengan sesama pekerja, serta menyambung silaturahmi dengan keluarga di rumah melalui daring. Kini waktunya untuk menikmati coto makassar dan ketupat yang sudah disiapkan.
Taqabbalallahu minna waminkum. Selamat meraih kemenangan di hari yang fitri!