Beberapa saat lagi, Ramadhan beranjak dari persemaiannya. Meninggalkan jejak pengabdian, menyisakan keakraban makhluk dengan penciptanya. Sebulan penuh ia membakar, menghancurkan, dan menghanguskan. Dimensi kemanusiaan yang dipenuhi gulita dosa dan salah, ia sucikan dengan amalan.
Sedih bercampur gembira, ditinggal oleh "tamu" yang kehadirannya tidak pernah lekang untuk dirindu. Terasa berat untuk berpisah, sebab tak seorang pun mampu menjamin dirinya tidak lagi membutuhkan kemuliaan Ramadhan berikutnya. Kala pahala berlipat ganda, ibadah berderajat tinggi, dan kemanusiaan begitu dihargai.
Tapi kegembiraan juga tidak bisa dimungkiri. Terdapat dua kegembiraan bagi mereka yang berpuasa: saat berbuka (berhari raya), dan bertemu dengan Tuhannya, demikian ungkapan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Bukan hanya karena berbuka dan berhari raya mampu melegakan lapar dan dahaga, tapi dengannya mereka yang berpuasa merayakan kemanusiaannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa kemanusiaan perlu dirayakan, sebab di dalamnya terkandung kesyukuran dan pengakuan. Syukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan, bahwa setelah meneladani sifat-sifat-Nya (tidak makan dan tidak minum), manusia pada gilirannya mengakui bahwa ia adalah makhluk yang lemah dan bergantung kepada-Nya. Jika demikian, tidak ada sedikit pun tempat bagi keangkuhan dan kesombongan.
Menjadi manusia adalah fitrah, sementara merasa diri sebagai "Tuhan" adalah sikap "melampaui batas". Bukankah iblis diusir dari surga disebabkan oleh keangkuhan dan kesombongan, bukan semata karena keengganannya beribadah kepada Tuhan? Murka-Nya tertuju pada keengganan iblis mengakui kesetaraan, kesamaan, dan kepedulian kepada sesama makhluk.
Perjumpaan dengan Tuhan adalah momen yang lestari dan berkelanjutan. Aktivitas menahan selama Ramadhan sesungguhnya menggiring dimensi kemanusiaan untuk senantiasa bertindak dan berperilaku dengan mengatasnamakan Tuhan sebagai latar dan tujuan. Nyaris tidak ada tempat bagi kepentingan lain, selain penghambaan kepada-Nya.
Disadari tidaklah mudah meletakkan Tuhan dalam segala kesibukan keseharian. Namun sebagai fitrah, manusia memiliki potensi untuk meraih situasi itu. Itulah sebabnya, fitrah diartikan sebagai kecenderungan kepada agama Tuhan. Sejauh apapun manusia tergelincir, momen-momen perjumpaan dengan-Nya akan menemuinya. Manusia cukup membuka diri, maka Tuhan akan hadir, lebih dekat dari urat lehernya.
Dalam suasana pandemi Covid-19, perayaan kemanusiaan kita sedang diuji. Menjaga dan menyelamatkan diri sendiri sama halnya dengan menjaga dan menyelamatkan orang lain. Dampak pembatasan sosial berskala besar yang menyurutkan kehidupan sosial dan ekonomi, memantik kesadaran manusia sebagai makhluk sosial. Mereka tidak bisa hidup sendiri, senang sendiri, sehat sendiri, tanpa menghadirkan ketenangan, kesenangan dan kesehatan yang dinikmati bersama-sama.
Hidup adalah ujian pembuktian keimanan. Tuhan memperingati manusia yang merasa cukup dengan apa yang mereka persembahkan, tanpa merasa perlu menjalani ujian. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi? Demikian pernyataan-Nya dalam QS Al-Ankabut: 2. Ujian yang terhampar dalam Ramadhan adalah ujian kedekatan manusia dengan penciptanya.
Betapa kedekatan kepada Tuhan adalah juga merupakan kedekatan kepada hamba-Nya. Rasulullah bersabda, "Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu." (HR. At-Thabranî). Berpuasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan meneladani sifat dan sikap-Nya, menunjukkan bahwa kemanusiaan manusia sedang mengarah kepada penciptanya.
Selama ini kita merasa dekat dengan sesama manusia. Saling berinteraksi dan bekerja sama. Selama ini kita merasa dekat dengan keluarga, saling bercanda dan tertawa bersama. Namun, boleh jadi kedekatan itu semu, terpupuk saat dilatari oleh kesenangan, keuntungan, dan kepentingan. Ketika kesulitan tiba, duka menghampiri, kerumitan hidup menimpa, interaksi, kerja sama, canda dan tawa turut berubah. Manusia kembali pada dirinya, mengkalkulasi kepentingan, untung maupun rugi yang membayang di hadapannya.
Tapi ritual puasa menunjukkan jalan lain. Kedekatan kepada Tuhan dan manusia justru terjalin dalam kesulitan dan kesusahan. Semakin manusia merasakan lapar dan dahaga, semakin ia dituntun untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Semakin manusia berkecukupan dan berkelebihan, semakin mereka dituntut untuk membagi kenikmatan yang dimilikinya.
Jalan kemanusiaan memanglah terjal, bahkan terkadang lebih mendaki ketimbang jalan untuk melepaskan rasa kemanusiaan itu sendiri. Merasa diri berkelebihan dari manusia lainnya lebih mudah dan mengasyikkan ketimbang merasa diri lebih rendah atau setara. Merasa diri lebih benar, lebih kuat, lebih suci, cenderung menarik, daripada merasa diri dipenuhi salah, lemah dan penuh dosa . Dengan kata lain, menjadi "tuhan" mungkin lebih mudah ketimbang menjadi "manusia".
Ramadhan di tengah pandemi sebentar lagi berlalu. Siapapun berharap akan menemui bulan suci itu kembali dengan suasana yang tentu saja berbeda. Walau berulang kali Ramadhan menghampiri, tapi tidak satupun kita merasa cukup dengannya. Saat bulan itu kembali mendekat, saat itu pula kita berdoa untuk kembali dipertemukan.
Sebentar lagi kumandang takbir, tahlil, dan tahmid bersahutan. Membesarkan, menyucikan dan memuji Allah sebagai Tuhan. Di saat bersamaan, kita menegaskan diri sebagai manusia. Di situlah letak tujuan penciptaan yang sesungguhnya, sebentuk pengabdian kepada-Nya sebagai wujud perayaan kemanusiaan yang lestari dan abadi.
Muhammad Adlan Nawawi pengajar Pascasarjana PTIQ Jakarta