Pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjelang Lebaran. Seiring hal tersebut, kekhawatiran semakin meluasnya penyebaran wabah Covid-19 menyeruak. Dua kejadian menegaskan kekhawatiran tersebut: berkumpulnya massa pada penutupan McDonald's Sarinah dan penumpang pesawat yang membludak tanpa penerapan aturan jaga jarak di Bandara Soekarno-Hatta.
Wargajala menyesalkan dua kejadian ini dan memprediksi munculnya kluster-kluster baru Covid-19. Data sebaran wabah pun meningkat dari hari ke hari. Hingga kini, jumlah kematian akibat wabah sudah mencapai angka di atas 1000 orang. Kekhawatiran yang bukan tak berdasar. Para tenaga medis yang bekerja di garda depan pun putus asa. Di media sosial, mereka mengunggah foto dengan tagar "Indonesia Terserah".
Terlepas dari perluasan sebaran wabah, apa yang lebih mendasar adalah menguatnya hasrat mendirikan masyarakat bergerbang pasca relaksasi PSBB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak virus corona dinyatakan sebagai wabah, masyarakat dilanda ketakutan dan kecurigaan satu sama lain. Kebijakan pembatasan sosial yang digulirkan pemerintah telah menguatkan semangat saling curiga tersebut. Gerbang dan portal dibangun, bahkan di jalan-jalan yang biasa dilewati warga. Alasan awal tentu saja untuk mengendalikan sebaran virus dengan membatasi pergerakan orang.
Gang-gang yang biasa menjadi jalan tikus untuk menghindari kemacetan atau mempersingkat jarak, kini dibatasi. Orang tidak bebas lagi lalu lalang. Lingkungan yang baru mendirikan gerbang atau portal itu menjadi semakin eksklusif dan mencurigai laluan orang tak dikenal.
Heteropia
Gerbang dan portal yang sudah didirikan secara swadaya oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka nyaris mustahil dihancurkan kembali setelah wabah berlalu. Kecurigaan akan orang asing masih menggelayut meski tidak ada tanda-tanda membahayakan bagi lingkungan. Dalam arti itu, pasca-pagebluk, ada ketakutan bahwa masyarakat menjadi semakin terpecah dan eksklusif.
Dalam arti yang lebih luas, munculnya masyarakat bergerbang membawa wacana akan akhir kehidupan ruang publik. Lebih jauh, kecenderungan menjadi eksklusif memberi ancaman bagi demokrasi. Pembangunan gerbang dan portal lingkungan umumnya dibangun sepihak tanpa melibatkan suara warga.
Pada 1967, Michel Foucault dalam tulisannya yang berjudul Of Other Spaces memperkenalkan istilah heteropia dalam sebuah ceramah tentang arsitektur, merujuk kepada berbagai institusi dan tempat-tempat yang mengganggu keberlanjutan dan normalitas ruang keseharian.
Heteropia secara harfiah berarti "tempat berbeda". Secara teoretis, heteropia merupakan bentuk aktualisasi dari ruang utopis, ruang di mana yang biasa memenuhi yang luar biasa dalam kondisi-kondisi keserempakan, penjajaran, ambivalensi, dan penyebaran.
Di kota-kota terdapat tempat-tempat yang secara nyata ada, tetapi juga sekaligus menyatakan ruang lain di dalamnya. Seringkali ruang berbeda ini tidak disadari dan bahkan diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Dalam kondisi heteropia, syarat yang diajukan adalah sistem buka dan tutup, baik untuk mengisolasi atau membuatnya dapat dimasuki.
Meski ada heteropia lain yang seharusnya menjadi ruang bersama, terbuka untuk publik dan dapat diakses, namun masyarakat memiliki peran menciptakan ruang ilusi yang membongkar semua ruang nyata, atau sebaliknya menciptakan ruang nyata lain yang sempurna dan sangat rinci.
Heteropia bekerja dalam irama yang sama, kebiasaan, kewajiban, kesamaan maksud, tujuan dan kepentingan, suka, tidak suka, dan sebagainya. Masyarakat suatu tempat dapat memberikan ilusi bagi orang atau pengunjung yang lewat secara acak. Tujuannya untuk melakukan kontrol.
Masyarakat bergerbang merupakan perwujudan heteropia ini. Dalam bentuk modernnya, masyarakat bergerbang adalah bentuk komunitas residensial atau kluster perumahan dengan gerbang masuk yang dikontrol secara ketat bagi para pejalan kaki, sepeda, motor maupun mobil, dan kerap dicirikan oleh batas tembok dan pagar-pagar tertutup. Tujuan dari gerbang ini bukanlah untuk menangkal atau mencegah kejahatan, melainkan semata memberikan persepsi keamanan dan eksklusivitas.
Masyarakat bergerbang umumnya berisi jalanan perumahan kecil dan menyertakan berbagai kenyamanan bersama. Bagi masyarakat yang lebih kecil, kenyamanan-kenyamanan ini bisa melibatkan sebuah taman atau area bersama. Bagi masyarakat yang lebih besar, kebanyakan aktivitas harian memungkinkan penghuninya untuk tetap dalam komunitas.
Maraknya pendirian gerbang dan portal di lingkungan masyarakat perkotaan menegaskan bahwa masyarakat membutuhkan rasa aman. Pergerakan manusia harus dikendalikan. Gerbang dan portal itu menjadi semacam baluarti masyarakat untuk menjaga kemungkinan serangan dari orang asing. Tidak peduli mereka membawa bahaya atau tidak, penangkalan perlu dilakukan. Pendirian gerbang dan portal itu menjadi semacam tindak preemptif sekaligus preventif.
Kebiasaan Baru
Presiden Jokowi menyatakan dalam sebuah video (7/5) bahwa kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 sampai ditemukannya vaksin yang efektif. Padahal, pada 26 Maret dalam pertemuan virtual KTT G20 di Bogor, Jokowi mengajak negara-negara anggota G20 untuk berperang melawan virus corona. Maksud berdamai yang dinyatakan Jokowi ditafsirkan sebagai penyesuaian dengan kehidupan, yang artinya masyarakat harus tetap produktif di tengah wabah COVID-19.
Masyarakat kemudian didorong kembali bekerja di luar rumah dengan protokol ketat mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak. Pasca pagebluk kita akan melihat kenormalan kerumunan seperti ini selama melakukan aktivitas. Wabah harus dijadikan kebiasaan baru layaknya menghadapi penyakit-penyakit menular yang belum ditemukan vaksinnya seperti HIV dan influenza.
Teknologi memang memudahkan kita menjalani kebiasaan-kebiasaan baru tersebut. Selama PSBB, masyarakat terbiasa untuk bekerja dari rumah, bersekolah dari rumah dan melakukan nyaris segala kegiatan dari rumah dengan bantuan teknologi. Tetapi makna sosial dari sebuah masyarakat menjadi berkurang, untuk tidak menyebutnya hilang, dengan kebiasaan baru tersebut. Kecenderungan asosial meningkat.
Di sisi lain, pendirian gerbang dan portal juga semakin mengukuhkan kebiasaan baru itu. Dengan alasan keamanan, masyarakat semakin dibuat eksklusif dan 'diharuskan' saling curiga. Pada akhirnya, masyarakat mudah dikontrol. Panoptikon, kalau dalam istilahnya Foucault. Dengan begitu, kita akan menjalani kehidupan yang mana segalanya diawasi dan dikendalikan.
Mirza Jaka Suryana mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
(mmu/mmu)