Hampir kurang lebih dua bulan ini, pendidikan kita menjalani interaksi sosial baru yaitu pendidikan dalam jaringan (daring). Hal ini sejalan dengan instruksi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, semua sistem pendidikan bertumpu pada sistem jaringan selama wabah Covid-19.
Sebuah kenyataan bahwa sistem pendidikan harus adaptif dalam semua keadaan. Berbagai evaluasi bermunculan tentang sejauh mana sistem pendidikan daring telah dilaksanakan, namun evaluasi itu berkelindan tak terarah, sehingga sulit menentukan kualitas apa yang telah dicapai dari pendidikan sistem daring tersebut.
Dalam pandangan reflektif, hilangnya jarak geografis karena aturan physical distancing, justru dalam pendidikan kita secara implisit sedang menuju pada budaya kosmopolitanisme. Secara tidak sadar, terkoneksikannya manusia dalam jejaring global melalui teknologi internet meningkat secara distorsif.
Gagasan tentang kosmopolitan bukan hal baru semenjak arus modern dan globalisasi secara merata hadir di belahan bumi. Infrastruktur kosmopolitanisme adalah kosmopolis. Kosmopolis menurut Guru Besar Unpar Bambang Sugiharto dalam bukunya Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi adalah semacam jejaring, terbentuk lewat interaksi masyarakat yang saling berkomunikasi dan membentuk kerumunan atau kelompok temporer dalam ruang maya ataupun nyata.
Dalam KBBI kita, istilah kosmopolitan diartikan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas dan terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai bagian dunia.
Habitus Baru
Gaya pendidikan kita yang sangat menggantungkan pada pembelajaran kelas, interaksi langsung, dan sederet administrasi akademik kini harus menerima sebuah kenyataan bahwa kelas-kelas itu telah bermigrasi dari ruang sosial langsung menjadi ruang sosial maya melalui bermacam-macam perangkat lunak. Migrasi dari kelas ke dalam layar gadget dan laptop menciptakan habitus baru dalam dunia pendidikan; habitus itulah yang disebut kosmopolitanisme.
Bersamaan dengan itu, gagasan kosmopolitan menandai batas kultural, sistemnnya menjadi jejaring, di mana semua medan imajiner itu saling terkait dan sangat dinamis.
Tak dipungkiri, sistem pendidikan gaya lama masih mengakar kuat. Ruang kelas yang terdiri dari guru dan murid atau dosen dan mahasiswa membentuk ruang interaksi yang mensyaratkan gestur, perfoma, dan public speaking. Dalam dunia jaringan, apakah gestur, perfoma, dan public speaking dapat kita temui? Lantas bagaimana sistem pengajaran daring yang strategis? Kondisi yang terjadi justru pembelajaran tak jauh beda dengan ruang kelas nyata.
Sebenarnya yang tengah terjadi justru pendidikan termediasi menuju budaya kosmopolitanisme. Pendidikan kosmopolitanisme pusat gravitasinya bukan pada kemampuan mengajar dan menyerap pembelajaran, namun pada relevansinya pada isu-isu global. Pendidikan kosmopolitan mengandaikan kita terhubung pada percaturan dunia yang luas, keterlibatan kita dalam melihat cakrawala yang tak terbatas.
Pembelajaran kelas yang syarat gestur, perfoma, dan public speaking berubah menjadi lebih ke"'dalam" yaitu pada sikap responsif. Ini bisa dimulai ketika semua disiplin ilmu pembelajaran merespons dengan kemampuan akademiknya terkait pandemi Covid-19 dengan nalar ilmiahnya. Hal ini berdampak pada pendidikan kita menjadi semakin toleran terhadap isu global, sehingga menghindari penghakiman massal dan bukan malah menambah kepanikan masyarakat.
Kendala yang paling dominan adalah habitus pendidikan kita yang masih mendewakan ruang kelas, materi yang tekstual dan kaku menghadapi kurikulum, sehingga ketika harus bermigrasi pada ruang maya menjadi gagap, potensi menuju kosmopolitanisme pendidikan menjadi terhalang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konteks Global
Situasi kosmopolitan salah satunya dibayangkan oleh Bambang Sugiharto yaitu ketika dari "jendela" komputer masing-masing tiap orang memiliki pandangannya sendiri tentang dunia sebagai bagian dari kotanya, atau sebaliknya kotanya bagian dari dunia.
Dalam dunia pendidikan nalar ilmiah kita dalam konteks kosmopolit diajak untuk menjadi bagian dan berkontribusi melalui kemampuan akademiknya. Kerangka inilah yang harus ditanamkan dalam pendidikan daring saat pandemi ini. Nalar ilmiah tetap harus ditanamkan. Pasalnya sikap non-ilmiah yang tidak berdasarkan data bertebaran di mana-mana sehingga yang terjadi adalah kekhawatiran, informasi kerap berubah menjadi intervensi.
Sikap ilmiah yang terkoneksi dengan kosmopolitan menjadi filter dan pandu dalam menyerap informasi serta memiliki tanggung jawab dalam penyebaran informasi valid.
Tak cukup bila pendidikan daring kita hanya berkutat pada materi tanpa merelevansi pada konteks global. Nalar kosmopolit mengajak kita pada diorama sudut pandang pemikiran sehingga dari yang global tersebut kita mendapat kearifan. Arif dalam mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah, selektif pada berita dan informasi, tergugah dalam mencari perspektif kebenaran sehingga menjadi insan toleran.
Dengan penerapan pendidikan kosmopolitan, kasus stigmatisasi dan diskriminasi pada korban Covid-19 tidak akan terjadi, karena nalar ilmiahnya selalu terhubung dengan data yang luas dan mengglobal. Kita harapkan pendidikan kosmopolit ini, pengajar maupun peserta didik mampu adaptif dan responsif dalam percaturan global dan arif dalam tindakan.
Damar Tri Afrianto staf pengajar di Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan