Meniti Jalan Penderitaan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Meniti Jalan Penderitaan

Jumat, 15 Mei 2020 11:00 WIB
Fajar Kurnianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Saat bulan Ramadhan, seorang muslim  yang melakukan ibadah akan mendapatkan pahala berlipat ganda. Salah satunya dengan membaca kitab suci Al Quran.
Foto: Getty Images/Kai Schwoerer
Jakarta -

Puasa adalah jalan penderitaan. Bayangkan, sejak pagi sampai sore, selama satu bulan penuh --dua puluh sembilan atau tiga puluh hari-- umat muslim tak boleh makan dan minum, siapa yang tak menderita? Padahal sebelumnya mereka boleh makan atau minum apa pun. Kenapa mereka mesti melakukan laku puasa seperti ini? Mereka dengan rela menjalaninya demi apa yang mereka sebut sebagai ketaatan kepada ajaran Tuhan, demi iman, sesuatu yang sangat abstrak (mahagaib) dan sulit dijangkau dengan panca indra manusia.

Tetapi, puasa tak sekadar jalan penderitaan tanpa tujuan atau sesuatu yang riil dan nyata manfaatnya, apalagi dianggap sebagai "hukuman" atau "ujian" Tuhan bagi mereka yang melakukannya, sehingga selepas itu mereka kembali suci seperti bayi yang baru lahir. Puasa bukan semata soal iman atau keyakinan kepada sesuatu yang dianggap abstrak. Ini adalah soal hidup itu sendiri. Hidup memang adalah jalan penderitaan untuk menggapai apa yang manusia sebut sebagai tujuan hidup. Entah itu berupa apa yang disebut sebagai "surga", bertemu Tuhan, atau kehidupan yang lebih baik di masa depan (kesuksesan, kekayaan, kesejahteraan).

Kita sangat familier dengan peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Juga dengan (judul) roman klasik Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada 1929. Puasa sebagai laku hidup penuh penderitaan sejatinya juga jalan untuk mencapai kebahagiaan, meskipun ini juga masih bersifat abstrak dan serba mungkin. Masa depan siapa yang tahu? Masa depan tetaplah penuh teka-teki dan misteri. Sebagaimana kita memaknai hidup saat ini juga sarat teka-teki; benarkah apa yang kita lihat adalah hakiki? Jangan-jangan hanya ilusi atau tipuan. Kita hanya bisa menerka, tentu bukan sembarang menerka melainkan berdasarkan pengetahuan kita dan pengalaman orang lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenapa orang-orang dahulu, beragama apa pun mereka, menjalankan laku puasa yang penuh derita ini? Malah ada yang melakukan puasa lebih dari sebulan. Tapi, mereka rela melakukan itu dan terbukti membawa manfaat bagi diri mereka, tak hanya secara fisik, tapi juga nonfisik (spiritual, kejiwaan, perasaan). Malah ada yang berpuasa sepanjang hari dalam setahun yang disebut dalam istilah Islam sebagai "puasa wishal". Nabi menyebut ini sebagai puasa yang berlebihan, sudah melewati batas penderitaan yang normal tak sanggup dilakukan orang biasa. Tentu tak menafikan ada banyak orang yang sanggup melakukannya. Bagi umat Islam, puasa wajib hanya sebulan Ramadhan, selebihnya dilakukan atau tidak, tak masalah.

Puasa sejatinya memiliki manfaat. Bukankah hidup tanpa puasa pun manusia terkadang merasakan penderitaan? Jika puasa adalah bagian dari itu, kenapa mesti masygul ketika menjalaninya? Bagi kelas pekerja di masyarakat perkotaan, misalnya, yang harus masuk kerja dari jam delapan pagi hingga lima sore, dan libur hanya hari Sabtu dan Minggu, apa ini bukan bentuk penderitaan? Sementara, ada jalan di luar itu yang bisa membuat mereka lebih bebas dan leluasa tanpa terikat waktu. Perjalanan menuju ke tempat kerja juga penuh penderitaan. Mesti menghadapi macet, juga risiko tinggi misalnya mengalami kecelakaan atau hal-hal buruk dan membahayakan, seperti polusi udara, hujan badai, banjir, rawan kejahatan, dan seterusnya. Juga penderitaan-penderitaan lainnya.

ADVERTISEMENT

Namun, toh mereka melakukan itu juga. Mereka rela menderita karena yakin itu ada gunanya, ada maknanya. Misalnya, dengan bekerja seperti itu mereka mendapatkan gaji bulanan yang pasti, sehingga membuat sanak keluarga atau mertua senang bahwa mereka bisa hidup mandiri dan menghidupi keluarga. Tetangga juga melihat mereka sebagai orang bertanggung jawab, punya pekerjaan, lalu memberikan pujian. Mereka tak hidup miskin, luntang-lantung menganggur yang berpotensi memunculkan pikiran jahat, misalnya mencuri, merampok, dan sejenisnya.

Begitu juga dengan puasa. Sebulan penuh mereka tak makan dan minum dari pagi hingga sore, tapi toh dilakukan juga. Itu karena mereka yakin mendapat upah berupa pahala, surga, ampunan, pujian, kemuliaan, cinta dan kedekatan dengan Tuhan. Di balik penderitaan ada kesenangan yang dijanjikan akan dirasakan.

Dalam agama Buddha, misalnya, dikenal empat ajaran utama. Pertama, dukha (penderitaan). Dukha adalah penderitaan itu sendiri. Hidup sejatinya adalah menderita. Kedua, samudaya (penyebab penderitaan). Menurut Buddha, "kehausan atau keinginan" (tanha) merupakan sumber segala penderitaan dan kepedihan hidup. Ia adalah sumber nafsu yang tak dapat menimbulkan rasa puas manusia selama hidupnya. Ketiga, nirodha (pemadaman). Pemadaman dilakukan dengan menghapus keinginan, menyangkalnya, memisahkan diri darinya, dan tidak memberinya tempat. Menghapus keinginan adalah menghapus penderitaan, dan menghapus penderitaan adalah dengan nirwana, memadamkan api kerakusan, kebencian, dan angan-angan. Keempat, marga (jalan mengakhiri penderitaan).

Untuk mengakhiri penderitaan, ada delapan jalan yang dilakukan: (1) pandangan yang benar, (2) pikiran yang benar, (3) perkataan yang benar, (4) tindakan yang benar, (5) kehidupan yang benar, (6) usaha yang benar, (7) kesadaran yang benar, dan (8) konsentrasi yang benar.

Tuhan menyuruh hamba-Nya untuk berpuasa tentu ada tujuan baik atau manfaat dan makna yang dalam (hikmah). Bahkan, pada apa pun yang Dia perintahkan selain puasa --misalnya salat, zakat, berhaji-- ada tujuan baiknya. Apa yang kita sebut sebagai perintah agama, kita yakin itu adalah untuk kebaikan kita. Tuhan sendiri tak memaksa kita untuk berpuasa bila kondisi kita tak normal, misalnya tengah sakit, berusia tua, masih anak-anak, perempuan yang tengah menstruasi, menyusui, usai melahirkan, atau sedang dalam perjalanan jauh seperti mudik ke kampung halaman dan lain-lain. Mereka boleh tak berpuasa. Dalam istilah fikih Islam, ini disebut rukhshah (dispensasi).

Kegembiraan dan kebahagiaan hakiki sering kali kita rasakan setelah melalui jalan yang sulit, berliku, penuh perjuangan dan penderitaan. Orang yang sukses secara material, padahal ia berasal dari dari keluarga tak mampu, misalnya, sehingga harus bekerja keras, pantang menyerah dan putus asa, mengalami banyak kegagalan, sebelum akhirnya sukses, pasti rasanya akan berbeda dengan orang kaya yang memang sejak kecil berasal dalam keluarga berpunya, lalu mewarisi kekayaan itu dari orang tuanya. Kita banyak membaca kisah-kisah sukses orang seperti itu, dan biografinya selalu menginspirasi banyak orang.

Begitu pula dengan puasa, tanpa penderitaan kita mungkin tak akan merasakan kenikmatan yang betul-betul nikmat. Dengan menderita, menjalani laku puasa, kita mencari makna hidup dan menemukannya. Kata Nabi, puasa tak sekadar menahan lapar dan haus, tapi salah satu sarana yang menjadikan kita lebih saleh, baik secara spiritual maupun sosial.

Fajar Kurnianto alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tinggal di Depok

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads