Ini sudah minggu kelima kita semua "dipaksa" untuk bekerja di rumah. Para peneliti seperti saya memperhatikan terus bagaimana karakter virus Covid-19 ini dan memberikan rekomendasi-rekomendasi berdasarkan situasi yang terus berkembang. Tidak hanya itu, yang menggemaskan saya, kita semua seperti terjebak pada dua pilihan, yakni lockdown sampai vaksin ditemukan dan pilihan yang lain adalah segera membuka semua pintu masuk dan keluar demi kepentingan ekonomi.
Perdebatan soal ini bahkan sampai digunakan sebagai alat politik. Padahal, WHO menyatakan bahwa wabah Covid-19 adalah Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Public Health Emergency) sejak Desember 2019.
Mengatur Manusia
Apakah kita melupakan bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang diberi akal dan kemampuan untuk mengatasi banyak hal? Manusia telah melakukan hal-hal yang luar biasa: mencapai bulan, menemukan obat dan teknologi untuk menyembuhkan banyak penyakit menular dan tidak menular, dan banyak sekali pencapaian-pencapaian lain.
Manusia adalah suatu makhluk yang "belum selesai" sampai dia mati. Berbeda dengan hewan yang telah "selesai" ketika mereka sudah dewasa. Kita tak perlu mengajar burung terbang, tak perlu mengajar bebek berenang, tak perlu mengajar jaguar berlari kencang; by nature mereka sudah selesai. Sementara, dalam masa wabah ini, tantangan paling sulit adalah mengatur manusia!
Manusia adalah suatu makhluk yang "belum selesai" sampai dia mati. Berbeda dengan hewan yang telah "selesai" ketika mereka sudah dewasa. Kita tak perlu mengajar burung terbang, tak perlu mengajar bebek berenang, tak perlu mengajar jaguar berlari kencang; by nature mereka sudah selesai. Sementara, dalam masa wabah ini, tantangan paling sulit adalah mengatur manusia!
Covid-19 juga telah memperlihatkan kebaikan dan keburukan sekaligus pada kemanusiaan. Ya, pahlawan kemanusiaan. Pemberitaan kita selama minggu-minggu terakhir ini adalah pahlawan-pahlawan di dunia medis seperti pengorbanan para dokter, para perawat, dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 di banyak tempat di Indonesia.
Di lain sisi, kita melihat juga bahwa stigmatisasi juga terjadi. Baru-baru ini kita dengar tentang perawat yang diusir dari tempat kosnya di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah. Atau jenazah perawat yang ditolak oleh warga untuk dikuburkan di daerah perawat itu tinggal.
Rasisme juga berlangsung, terutama di awal-awal wabah; kita membenci pendatang-pendatang dari China. Sementara di Malaysia dan Singapura sempat terjadi bahwa para tenaga kerja asinglah yang menjadi sumber penularan Covid-19 di negara tersebut. Pengusiran juga sempat terjadi.
Orang-orang tak bertanggung jawab juga melakukan penimbunan barang-barang tertentu demi keuntungan jangka pendek. Kita tentu masih ingat, bagaimana di awal pandemi Covid-19 ini harga masker (surgical masks) dan hand sanitizer harganya melonjak berkali-kali lipat.
Kenaikan kasus kekerasan rumah tangga juga dilaporkan meningkat. Korbannya perempuan dan anak-anak. Ada dua kali kecelakaan mobil mewah di jalan tol Jagorawi yang rupanya melaju dengan amat cepat, mungkin saking gembiranya jalan tol menjadi lengang. Pemberitaan-pemberitaan buruk tentang perilaku ini selama wabah ini makin membuat hati pilu.
Disinformasi
Media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube, Whatsapp menyumbang banyak sekali disinformasi tentang Covid-19 ini. Netizen tiba-tiba ada yang melabeli diri mereka sendiri sebagai pemerhati kesehatan padahal bekerjanya tidak di lembaga atau institusi di bidang kesehatan. Selebritis media sosial (influencer) juga ramai-ramai ikut memberi tips pencegahan Covid-19.
Petty S Fatimah membaginya di statusnya tentang influencer yang memberikan tips berbahaya bagi pengikutnya, yakni memasukkan cairan disinfektan ke dalam diffuser untuk dihirup. Banyak sekali contoh lain. Semua merasa berhak untuk tampil. Dan semua hanya berdebat soal yang sama, yakni lockdown dan tidak lockdown.
Media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube, Whatsapp menyumbang banyak sekali disinformasi tentang Covid-19 ini. Netizen tiba-tiba ada yang melabeli diri mereka sendiri sebagai pemerhati kesehatan padahal bekerjanya tidak di lembaga atau institusi di bidang kesehatan. Selebritis media sosial (influencer) juga ramai-ramai ikut memberi tips pencegahan Covid-19.
Petty S Fatimah membaginya di statusnya tentang influencer yang memberikan tips berbahaya bagi pengikutnya, yakni memasukkan cairan disinfektan ke dalam diffuser untuk dihirup. Banyak sekali contoh lain. Semua merasa berhak untuk tampil. Dan semua hanya berdebat soal yang sama, yakni lockdown dan tidak lockdown.
Di saluran TV tertentu para ahli mendesak seluruh Indonesia lockdown dan mengatakan pembatasan sosial berskala besar (PSbB)) adalah kebijakan yang setengah-setengah. Sementara, maaf kata, para peneliti dan para ahli ini --sebagian besar saya mengenal mereka-- kerap hanya melihat pada satu aspek saja.
Selama ini, kemungkinan sebagian besar dari kami para peneliti memang menikmati derma dari pemerintah dan donatur untuk membiayai penelitian kami, sehingga kerap para peneliti (termasuk saya) tak mempertimbangkan aspek lain saat merekomendasikan sesuatu. Yakni, aspek etik (moral), hukum, dan keuangan. Ini agaknya (mungkin) yang menjadi pertimbangan pemerintah dan para penasihat di sekitarnya sehingga lockdown tidak pernah diimplementasikan sampai sekarang.
Saya kira, ada baiknya media-media mainstream memberi ruang yang cukup sering diskusi terbuka antara para ahli kesehatan (para peneliti), para bankir atau ahli finansial, para pengusaha baik itu kelas kecil, menengah dan besar, dan juga para ahli hukum. Ya, tidak terbatas hanya bertanya pada dokter atau ahli kesehatan masyarakat soal-soal yang parsial, tetapi mesti melihat secara holistik
Ingat, kita sudah menghadapi kematian yang memilukan nyaris setiap hari. Hingga saat ini kita masih berjibaku dengan kematian akibat penyakit infeksi seperti malaria, tuberculosis, demam berdarah, HIV/AIDS. Kita juga di masa pandemi ini mendengar kematian akibat penyakit jantung seperti dialami Didi Kempot, dan juga kematian akibat kecelakaan lalu lintas.
Ya, jadi pernyataan yang menyatakan lebih baik menyelamatkan nyawa dengan lockdown daripada menyelamatkan ekonomi, itu benar-benar pernyataan yang sungguh tidak bertanggung jawab. Kita sudah menghadapi kasus kematian-kematian akibat pengabaian beragam aspek.
Membuka Hati dan Pikiran
Banyak dari kita merasa sudah pintar. Kita merasa profesi kitalah yang paling penting pada masa pandemi ini. Kita seringkali merasa bahwa kita ini tak perlu lagi mendengar kalimat-kalimat orang lain, toh kita sudah Ph.D, sarjana paripurna, dan sudah profesor. Sehingga, kita ini tak suka mendengar pendapat orang lain, apalagi yang tak pernah ditampilkan media-media mainstream.
Yang juga menjadi sindrom kegagalan kita dalam menemukan pemecahan masalah adalah kita ini tak suka melihat atau mendengar di luar apa yang kita percaya dan yakini; kita lebih suka mendengar dan melihat pernyataan atau kenyataan yang mengafirmasi keyakinan kita. Nah, apakah kita siap membuka hati dan pikiran bagi kenyataan di luar apa yang kita yakini?
Saya percaya dengan brainstorming seluruh stake holders dalam kasus Covid-19 ini akan muncul pemecahan masalah yang rasional dan memenuhi aspek moral (etik), hukum, budaya, dan keuangan sekaligus! Mari!
Dr. CSP Wekadigunawan, MPH, Ph.D alumnus Fakultas Kedokteran Universiti Kebangsaan Malaysia, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul Jakarta, Anggota Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran UNS, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini