Wabah Corona dan Proses Belajar Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Wabah Corona dan Proses Belajar Kita

Senin, 11 Mei 2020 14:00 WIB
Hardo Manik
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Guna menerapkan hidup sehat dan mengurangi penyebaran virus Corona yang merebak, penyediaan fasilitas cuci tangan mulai disediakan di beberapa tempat umum seperti ini. Termasuk di halaman Kantor perbankan Cabang Bank BRI Blitar, Jawa Timur.
Jakarta -

Jika ditanya kepada saya secara pribadi, apa berkah dari pandemi Covid-19, maka jawaban saya adalah kita berhasil mengakumulasi banyak pengetahuan baru dalam waktu yang relatif cepat.

Riset-riset virologi pesat berkembang di Indonesia. Riset-riset tanaman herbal khas Indonesia untuk meningkatkan sistem imun mendapat panggung. Setiap hari masing-masing kita, apapun profesinya, mencari dan membaca berbagai rujukan seperti jurnal ilmiah, artikel-artikel kesehatan, buku-buku serta menyimak berbagai ulasan para ahli, baik di webinar-webinar maupun di televisi.

Setiap hari juga orang-orang di berbagai daerah bahkan pelosok harus mendisrupsi seluruh kebiasaan lama agar mampu bertahan hidup, terutama terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat, pola rantai pasok ekonomi, pola produksi dan konsumsi, dan sebagainya. Rombak ulang kebiasaan-kebiasaan lama tersebut menghasilkan pengalaman-pengalaman belajar baru yang sangat berharga dan tersimpan di memori pikiran kita masing-masing.

Namun, cukupkah sekadar mengakumulasi atau menyimpan pengetahuan baru?

Pembawa Pengetahuan

Dalam literatur manajemen pengetahuan ada sebuah konsep yang disebut kapasitas absorptif. Ide dasarnya, kita semua berperan sebagai pembawa pengetahuan (knowledge carrier) yang terus menerus belajar hal-hal baru, bukan hanya dari universitas, tetapi juga dari universe atau alam raya.

Setiap pergantian fase/siklus kehidupan, mulai dari kelahiran, pertumbuhan, kedewasaan, dan kematian selalu diiringi dengan proses belajar. Proses belajar ini semakin intensif dan masif ketika siklus normal tersebut "diganggu" suatu peristiwa yang besar dan tak terduga, seperti pandemi Covid-19 ini misalnya.

Naluri alamiah manusia untuk bertahan hidup membuatnya terpaksa mempelajari apapun untuk selamat. Namun, Coven dan Levinthal (1990), pencetus pertama konsep ini dalam literatur manajemen pengetahuan, mengungkapkan bahwa kapasitas absorptif bukan sekadar menyerap pengetahuan baru, tetapi juga mengasimilasi dan mengaplikasikannya.

Mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan baru akan memunculkan kesadaran-kesadaran baru. Kesadaran-kesadaran tersebut meningkatkan kemampuan kita untuk beradaptasi demi kebertahanan hidup. Kesadaran baru inilah yang membuat kita menganggap bahwa perilaku hidup bersih dan sehat yang kita biasakan dalam dua bulan ini seharusnya bukanlah reaksi, tetapi aksi. Tindakan yang dihasilkan dari reaksi itu bersifat sementara, atau dengan kata lain bersifat impulsif atau tergantung situasi.

Dalam konsep kapasitas absorptif, tindakan reaktif terjadi jika kita hanya sebatas mengenali dan mengasimilasi pengetahuan baru. Tindakan reaktif akan menjadi tindakan aktif (aksi) jika muncul dari kesadaran penuh. Kesadaran ini, dalam bahasan kapasitas absorptif, muncul jika kita berhasil mentransformasi dan mengeksploitasi pengetahuan baru untuk menghasilkan inovasi.

Sederhananya, alih-alih sekadar mempelajari pengetahuan baru tentang manfaat tanaman-tanaman herbal hanya karena reaktif terhadap pandemi Covid-19, kita melangkah lebih jauh dengan membuat apotek hidup di rumah masing-masing dan rajin minum jamu, terlepas dari adanya wabah atau tidak. Intinya, jangan sampai krisis ini membuat kita kehilangan marwah sebagai Homo sapiens (manusia bijak). Krisis membawa berkah jika kita tidak berhenti belajar.

Membuka Kamuflase

Kita juga harus bersyukur sebagai bangsa bahwa kita diberikan pengalaman-pengalaman belajar yang berharga melalui pandemi ini. Setidaknya, wabah ini membuka kamuflase kondisi sistem kesehatan publik negara kita yang seolah-olah sedang baik-baik saja, padahal banyak boroknya. Membuka siapa pejabat-pejabat yang tidak becus melakukan manajemen krisis. Membuka bobrok ketimpangan ekonomi secara telanjang dan semakin disadari oleh banyak orang.

Kadang saya berpikir, apakah negeri ini telah salah prioritas dalam membangun karena ternyata situasi ini membuat tenggelamnya kabar gegap-gempita pembangunan infrastruktur besar-besaran dan diganti dengan berita-berita bobroknya fondasi paling mendasar dari kehidupan, yakni kesehatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, untuk Anda yang diberikan kuasa untuk memerintah, mari berbenah. Percaya pada sains. Jangan anggap remeh dan membuat lucu-lucuan yang tidak perlu dalam menghadapi krisis. Mari belajar tanpa henti. Segera sesudah pandemi ini mulai mereda, biarlah layanan paling mendasar dari kehidupan --kesehatan dan pendidikan-- mendapat prioritas perbaikan paling utama.

Jika tidak juga belajar dan berbenah, kita akan dikenang sebagai negara yang ngeyel, sok jago, merasa kuat dan besar, tetapi sebenarnya rapuh serapuh-rapuhnya.

Hardo Manik peneliti di NoS Institute

ADVERTISEMENT

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads