Menciptakan Ruang Aman Kita Sendiri
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menciptakan Ruang Aman Kita Sendiri

Senin, 11 Mei 2020 12:46 WIB
B Zee
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Guna menerapkan hidup sehat dan mengurangi penyebaran virus Corona yang merebak, penyediaan fasilitas cuci tangan mulai disediakan di beberapa tempat umum seperti ini. Termasuk di halaman Kantor perbankan Cabang Bank BRI Blitar, Jawa Timur.
Penyediaan fasilitas cuci tangan di tempat umum (Foto: dok. BUMN)
Jakarta -

Di sebuah gang di desa, portal menuju kompleks ditutup. Terlihat sekelompok orang berjaga di sana, berdekatan, kadang merokok, dan tentu saja tanpa masker. Jika ada warga yang akan masuk, mereka akan menghentikannya, menyediakan penyanitasi tangan untuk digunakan sebelum masuk kompleks. Jangan tanya masalah jarak.

Di sebuah swalayan, pengunjung diwajibkan mencuci tangan sebelum masuk area belanja, diukur suhunya, dan harus memakai masker. Di area kasir sudah ada tanda berjarak sekitar satu meter atau lebih untuk pengunjung yang hendak antre membayar. Namun di lorong-lorong sempitnya masih ada juga beberapa pramuniaga bergerombol sambil bergosip. Masih memakai masker, tetapi tak ada jarak.

Mungkin manusia sudah bosan. Sebagai makhluk sosial, pembatasan jarak ini mungkin melelahkan dan menjemukan bagi banyak orang. Namun, ada alasan mengapa semua petunjuk pembatasan sosial itu diucapkan berulang-ulang dan berbarengan: cuci tangan, gunakan masker, jaga jarak, hindari berkerumun --satu paket yang tidak bisa dipilih salah satu atau salah dua yang dianggap lebih nyaman. Tentu jika tujuannya hendak menghindari penularan Covid-19. Karena jika memang sengaja tidak dilakukan akibat sudah tak percaya lagi adanya virus atau penyakit ini, akan berbeda lagi pembahasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mungkin sebagian besar orang bukannya sengaja membangkang atau tidak patuh; mungkin mereka hanya belum paham sepenuhnya. Dengan begitu masifnya informasi, latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi yang berbeda, jika komunikasi tidak dibangun dengan efektif akan sulit membuat pemahaman masyarakat sesuai dengan apa yang hendak disampaikan.

Berkenalan dengan Virus

ADVERTISEMENT

Pertama, ada baiknya berkenalan dengan virus. Secara umum, virus adalah mikroorganisme yang memerlukan inang untuk tetap hidup dan bisa berkembang biak. Tak terkecuali virus corona baru penyebab Covid-19 ini, yang sejak akhir 2019 lalu mulai menginfeksi manusia sebagai inang barunya. Dari situ, ada penularan manusia ke manusia yang hingga saat ini dinyatakan melalui droplet (percikan ludah). Ini kita bicara di setting masyarakat umum; di setting rumah sakit kondisinya bisa berbeda.

Mudahnya, untuk memutus rantai penularan, kita perlu menghindari agar droplet satu orang tidak mencemari orang lain. Terlebih pada kasus Covid-19 ini tidak semua orang yang sakit atau terinfeksi akan menunjukkan gejala, tetapi tetap dapat menularkan. Cara memutus rantai penularan di antaranya dengan cuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.

Mengapa mencuci tangan? Karena kita tidak tahu benda yang kita pegang di luar sana, sebelumnya dipegang oleh siapa, dan apakah yang memegang sebelumnya tangannya bersih atau tidak, atau jangan-jangan dia barusan batuk atau bersin di depan benda itu, sehingga ada droplet tak terlihat yang menempel di situ untuk beberapa waktu.

Namun, jangan membayangkan virus itu akan terbang masuk ke tubuh kita meski kita tidak menyentuhnya, atau menyerap lewat pori-pori kulit jika kita menyentuhnya. Tidak. Virus itu bisa masuk jika setelah kita memegang benda yang terkontaminasi, kita makan, memegang mulut, hidung, mata, atau memegang benda lain. Jadi, cuci tangan sebelum makan, setelah beraktivitas, setelah tiba di rumah --yang sebenarnya sudah dianjurkan jauh-jauh hari-- memiliki maksud yang seperti ini. Dulu bahkan sebelum ada Covid-19 kita juga punya musuh jutaan mikroorganisme yang dapat menyebabkan batuk, pilek, diare, muntah, dan sebagainya.

Apakah menggunakan sarung tangan memberikan kita perlindungan tambahan? Tergantung. Tergantung cara kita memakainya, sikap kita saat memakainya, cara melepaskannya, dan menyanitasi tangan sebelum dan setelahnya. Sarung tangan bukan antivirus atau antikuman. Sarung tangan juga bisa terkontaminasi, sehingga jika tidak memahami betul-betul, jangan-jangan kita bisa terjebak oleh rasa aman yang semu.

Itu baru virus yang menempel di benda. Bagaimana dengan virus yang baru keluar bersama droplet, misalnya saat seseorang batuk, bersin, atau bahkan berbicara biasa? Masker dan jarak adalah jawabannya. Masker untuk menjaga agar droplet tidak sembarangan ke mana-mana; jarak untuk menjaga agar kalaupun ada droplet yang lolos melalui pori-pori masker tidak mengenai orang lain. Kenapa masker saja tidak cukup, karena bahkan masker bedah yang belakangan diburu banyak orang pun tidak menjamin perlindungan 100% dari mikroorganisme.

Bersosialisasi tidak dilarang. Mungkin memang sulit bagi sebagian masyarakat kita untuk tidak saling menyapa dan bertukar informasi (baca: bergosip) antartetangga atau kawan, tetapi ada rambu-rambu yang sebenarnya tidak sulit untuk dilakukan: tetap jaga jarak dan memakai masker. Toh kita sudah terbiasa saling bersuara keras dan tertawa bersama hingga terdengar ke tetangga atau gang sebelah, jarang ada yang protes.

Kalau begitu, jika semuanya sudah mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak lebih dari satu setengah meter boleh dong kita mengadakan pertemuan di satu ruangan? Nah, di sinilah celah yang kerap terlewatkan: menghindari kerumunan. Dengan adanya banyak orang dalam satu ruangan, kualitas udara di ruangan tersebut semakin tidak baik.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, masker tidak dapat memberikan perlindungan 100% terhadap mikroorganisme. Apalagi jika ruangan tersebut tidak memiliki ventilasi yang memadai untuk pertukaran udaranya, jadilah pertukaran mikroorganisme antar pernapasan satu orang dengan orang lainnya. Termasuk di dalam kendaraan prinsipnya sama.

Sampai di sini, rasanya empat mantra tadi sudah cukup aman untuk melindungi kita. Bisa dibayangkan jika satu saja terlewat. Ibaratnya, kita menutup semua celah, seperti kita menjaga rumah kita dari pencuri. Jika sebuah rumah memiliki beberapa pintu dan jendela, tentunya pada malam hari kita memastikan semua pintu dan jendela tertutup rapat. Jika satu saja pintu atau jendela lupa tidak ditutup, lalu pencuri masuk, kita tidak terkejut, bukan? Dengan memilih dua atau tiga pintu dan jendela saja yang ditutup, lalu merasa sudah aman, padahal masih ada yang belum terkunci adalah pemikiran yang naif.

Sama seperti itu, mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan adalah upaya kita mengunci semua celah yang ada. Kita belum bicara masalah kekebalan tubuh sebagai pertahanan dari dalam tubuh kita, yang mungkin perlu pembahasan tersendiri.

Namun demikian, karena virus ini tergolong baru, masih tidak menutup kemungkinan mantra ini bisa berubah dan bertambah, sesuai penemuan peneliti yang termutakhir. Jangankan virus baru, penyakit lama pun tidak jarang mengejutkan kita dengan penemuan baru. Oleh karenanya, riset adalah hal yang tak pernah lepas dari ilmuwan untuk mendapatkan jawaban apa pun dari masalah apa pun, bahkan yang tak pernah terpikirkan oleh kita sebelumnya. Kita yang hanya tinggal menikmati hasil dari penelitian itu rasanya tidak sulit.

Kemudian, ada juga penyemprotan disinfektan yang juga menjadi kontroversi. Orang-orang yang enggan menjaga jarak bisa menjadikan disinfektan sebagai senjata mereka --semprot saja orangnya, aman kita. Tidak. Bukan begitu cara kerjanya. Disinfektan hanya membunuh kuman yang ada di permukaan benda, tetapi virus yang ada di dalam tubuh tidak ikut mati. Jangan berpikiran untuk meminum atau menyuntikkan disinfektan ke dalam tubuh. Jika semudah itu, ilmuwan tidak perlu susah-susah dan mengeluarkan banyak uang untuk meneliti obat. Tenggak saja disinfektan, jikalau kumannya berhasil mati, sudah barang tentu inangnya sudah mati duluan.

Bisa dikatakan penyemprotan disinfektan tidak dapat menggantikan mantra-mantra yang sudah kita bahas sebelumnya. Ada baiknya disinfektan digunakan di tempat-tempat yang kerap dipegang, misalnya gagang pintu, sandaran kursi, tombol lift, atau benda-benda lain yang berisiko terkontaminasi. Dan mungkin pada banyak kasus tidak perlu disemprotkan, yang berisiko mencemari pernapasan (dapat teriritasi, yang dalam jangka panjang justru meningkatkan risiko infeksi), cukup digosokkan saja. Tak perlulah menyemprotkan disinfektan sampai ke sudut-sudut yang bahkan manusia tak pernah ke sana; ini bukan penyemprotan nyamuk demam berdarah.

Bisa Mengontrol Sendiri

Sebenarnya, seperti sudah disinggung di awal, virus tidak dapat hidup tanpa inang. Sehingga kuman yang ada di permukaan benda, cepat atau lambat akan mati. Masalahnya memang pada area yang kerap disentuh banyak orang, kita tidak dapat tahu pasti kapan virus itu menempel di sana dan kapan akan mati, sehingga tindakan pencegahan membersihkan permukaan dan mencuci tangan diperlukan. Namun, untuk benda-benda pribadi, kita bisa mengontrol sendiri.

Tidak perlu jadi berlebihan dengan mencuci uang di dompet, misalnya. Cuci tangan saja setelah memegang uang, dan setelah di dalam rumah, kita tidak perlu lagi kan bertransaksi apa pun, sehingga dompet bisa disimpan dengan aman. Tak perlu takut virusnya melompat atau memperbanyak diri di situ. Inilah pentingnya pemahaman, bukan hanya menjadikan kita waspada, tetapi juga menghindari kita bereaksi berlebihan.

Dengan mengenali sifat-sifat virus dan penyebarannya, kita bisa menciptakan ruang aman kita sendiri, yang tidak membuat kita gelisah untuk cuci tangan berlebihan, atau mengucilkan orang berlebihan. Tetangga yang bekerja di rumah sakit, yang pulang ke rumahnya sekadar untuk beristirahat, yang bahkan tidak ada kesempatan untuk menyapa, tidak perlu dikhawatirkan menjadi sumber penularan. Apalagi jenazah yang sudah tidak bisa ke mana-mana. Justru rekan gosip kita, yang kita tidak tahu sudah berinteraksi dengan siapa saja, atau sebersih apa menjaga dirinya, jangan-jangan malah lebih rentan untuk menularkan virus.

Busya mahasiswi S2 dan dokter residen di Universitas Gadjah Mada

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads