Menguji 'Islamisme' di Tengah Arus Zaman
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Pustaka

Menguji 'Islamisme' di Tengah Arus Zaman

Sabtu, 09 Mei 2020 10:15 WIB
Putri Sani
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -

Judul Buku: Dakwah & Kuasa, Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas Politik Mesir; Penulis: Ahmad Rizky M Umar; Penerbit: Basabasi, 2020; Tebal: 264 Halaman

Ada hantu bergentayangan di Eropa --hantu Islamisme. Demikian kalimat pembuka dalam buku ini. Mengingatkan saya pada adagium dan sinisme yang akrab di telinga, begitu lekat, dan pernah mengundang sejenis histeria ideologis di muka bumi, yang ditulis oleh Marx berabad silam --tentu saja dengan redaksi yang sedikit berbeda.

Diawali dengan kalimat provokatif, sejatinya kita bisa menebak arah wacana yang hendak dituju oleh penulisnya. Sebuah kritikan --untuk tak menyebutnya sindiran-- terhadap pandangan yang tak berimbang, paranoia tanpa sebab, ketakutan yang telanjur mapan, dan justifikasi yang cenderung streotipikal terhadap Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persoalan yang cukup mendasar adalah bagaimana melihat Islam, Islam Politik, dan Islamisme secara lebih utuh. Tiga istilah tersebut kerap dibaca dalam satu tarikan napas, sehingga banyak yang menyebut Islam adalah sinonim dengan Islamisme, dan Islamisme adalah Islam Politik (halaman 21).

Tesis Samuel P. Huntington tentang Clash of Civilization juga analisis Bernard Lewis perihal "persoalan mendasar Agama Islam", di bab awal buku ini dibantah dengan cermat dan teliti. Dua teks tersebut dengan pelbagai macam over-generalisasi dan pengabaian terhadap pemahaman Islam yang variatif, turut merekonstruksi citraan terhadap Islamisme --yang cenderung monolitik-- dan bias-bias pandangan terhadapnya.

ADVERTISEMENT

Buku dengan judul Dakwah & Kuasa: Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas Politik Mesir yang ditulis oleh Ahmad Rizky M Umar ini memberi pemaknaan alternatif terhadap Islamisme.

Teks yang semula dijadikan skripsi di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM ini menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai prototip untuk menguji sejauh mana Islamisme mampu menyerap modernitas, menunjukkan eksistensinya di tengah prahara politik, dan menjaga relevansi di tengah arus gerak zaman.

Ahmad Rizky, yang meminjam konsepsi Laclau dan Maouffe tentang hegemoni sebagai proses pembentukan makna dari relasi sosial (Worsham and Olson, 1999), mendefinisikan Islamisme sebagai wacana politik yang mencoba untuk merebut pemaknaan tentang Islam dan meletakkannya dalam tatanan politik --dalam konteks ini, Mesir.

Ikhwanul Muslimin pada mulanya tak lain adalah gerakan yang dibuat untuk menyerukan pelbagai ajaran moral belaka, lalu pada gilirannya ia bertransformasi menjadi aktivisme politis (Bab 3). Gerakan keagamaan yang didirikan oleh Hasan Al-Banna ini sempat ditekan dari berbagai macam arah oleh Rezim Nasser, sehingga mereka harus terkatung-katung untuk sekadar bertahan. (Bab 4)

Gajah mati meninggalkan gading, penguasa otoriter mati meninggalkan borok. Pasca berakhirnya Rezim Nasser (1970), ada kecenderungan untuk mempertahankan satu ideologi populis yang menjadikan Islam semata alat meraup suara rakyat; ideologi itu disebut Nasserisme (Podeh dan Winckler, 2004). Ia terus lestari, meski dengan rekonstruksi di beberapa bagian, hingga Hosni Mubarak rontok dari tampuk kekuasaan.

Sulit untuk tak mengatakan bahwa teks ini semacam riwayat gerakan keagamaan yang cukup komprehensif dan "beda"; ia menawarkan alternatif pandangan di sana-sini dengan validitas yang bisa dipertanggungjawabkan.

Tragedi Arab Spring menjadi titik balik bagi kelompok yang mengartikulasikan wacana Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan Salaf (Bab 6). Ikhwanul Muslimin mulai menancapkan hegemoninya dengan bergabung pada pentas demokrasi elektoral, Hizb Al-Hurriyah wal-Adalah mulai dibentuk sebagai partai politik resmi mereka. Periode ini sekaligus menjadi penanda berubahnya corak gerakan yang awalnya Ideologis menjadi teramat populis.

Ikhwanul Muslimin akhirnya sukses keluar sebagai pemenang pemilu, meski hanya dalam waktu relatif singkat juga harus kehilangan kekuasaan. Tak kurang dari satu tahun kemenangannya, Militer memberikan ultimatum untuk Morsi memenuhi tuntutan rakyat. Morsi digulingkan dari kekuasaan, Ikhwanul Muslimin menggali liang kuburnya sendiri.

Buku ini layak dijadikan rujukan utama saat mengkaji gerakan keagamaan, utamanya Islam, sebab berhasil menelaah konflik internal sekaligus gesekan dari luar yang menyebabkan satu kelompok bertransformasi, bertahan, dan lengser.

Tulisan penutup berjudul Pembelajaran untuk Indonesia adalah telaah reflektif penting di tengah maraknya gerakan keagamaan yang berpretensi pada "politik eksklusif". Kelompok semacam ini, di mana akomodasi pada yang liyan dipersempit, hanya akan mengulangi kegagalan Ikhwanul Muslimin, atau kelompok-kelompok sejenis.

Buku ini semacam dokumen yang mendedahkan satu ujian yang ambivalen; apakah gerakan dengan corak keagamaan masih relevan di tengah arus zaman?

Saniati mahasiswa Aqidah Filsafat Islam

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads