Kegagalan Berhukum Menghadapi Pandemi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kegagalan Berhukum Menghadapi Pandemi

Rabu, 06 Mei 2020 11:44 WIB
Zenwen Pador
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
PSBB di Provinsi Gorontalo berlaku mulai hari ini, Senin (4/5/2020).
Foto: Ajis Khalid/detikcom
Jakarta -

Pada saat beberapa narapidana yang dilepaskan terkait asimilasi wabah corona diberitakan mengulangi kembali kejahatannya, beberapa kalangan kembali mempertanyakan urgensi kebijakan asimilasi tersebut. Bahkan ada yang dengan sarkas menyindir, masyarakat diminta di rumah saja, sebaliknya narapidana malah dibebaskan. Padahal kata Menkopulhukam Mahfud Md, penjara itu tempat isolasi yang baik dari wabah virus corona.

Ketika Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 dikeluarkan, beberapa kalangan mempertanyakan pasal imunitas bagi pejabat pemerintahan terkait alokasi dan pengelolaan dana penanganan wabah. Kabarnya saat ini beberapa tokoh masyarakat dan kelompok profesional lainnya sedang melakukan uji materiil Perpu tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Pada bagian lain kritik kalangan masyarakat pun masih belum berhenti tentang penilaian atas kelambanan pemerintahan Presiden Jokowi mengambil sikap dan mengeluarkan peraturan untuk pelaksanaan lockdown ataupun karantina yang diyakini bisa menjadi solusi penghentian penyebaran virus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika justru Perpres Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang keluar dan beberapa daerah seperti Jakarta, Depok, Bogor, dan Bekasi sudah mulai menerapkan, langkah tersebut dinilai sudah sangat terlambat. Faktanya sudah 8.882 warga Indonesia telah dinyatakan positif terpapar virus corona serta merengut 743 lebih nyawa warga Indonesia meninggal dunia sampai Minggu (26/4).

Kalah Cepat

Hukum selalu kalah cepat dari masalah empiris yang berkembang di tengah masyarakat. Penyebaran virus corona memang melebihi kecepatan pemerintah untuk menanggulangi apalagi mencegahnya.

Namun persoalannya yang banyak menjadi keberatan publik ternyata bukan hanya soal lambannya tindakan pemerintah dalam membuat aturan yang menjadi dasar hukum untuk bertindak cepat dalam menanggulangi wabah ini. Kelambanan tindakan dan aturan sepertinya berangkat dari pemahaman dan sikap remeh terhadap penyebaran wabah ini.

ADVERTISEMENT

Walaupun ada juga pengamat yang menilai bukan soal menganggap remeh, tetapi soal bersikap hati-hati dalam mengambil tindakan --kekhawatiran lockdown akan membawa dampak yang besar bagi perekonomian. Opsi karantina wilayah pun, yang dimungkinkan dalam UU Karantina Kesehatan, tidak diambil Presiden Jokowi salah satunya karena pertimbangan perekonomian juga. Maka yang dilakukan kemudian hanyalah PSBB.

Namun faktanya hantaman terhadap perekonomian negara sudah nyata di depan mata. Bahkan tidak hanya bagi Indonesia saja, tetapi wabah virus ini telah berpengaruh secara global. Sehingga dampak perekonomian tidak hanya dialami sendiri oleh Indonesia, tetapi hampir seluruh negara mengalaminnya.

Artinya, pemerintah sepertinya mengkhawatirkan sesuatu yang sebenarnya memang sudah akan menjadi akibat secara otomatis, apapun langkah yang akan diambil dalam menghadapi wabah ini. Kekhawatiran yang sia-sia tampaknya.

Namun apakah langkah, kebijakan, dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah di tengah wabah Covid-19 ini dapat dijadikan cerminan akan konsep dasar, paradigma, dan moralitas hukum dan kebijakan yang dianut pemerintah?

Berpikir Pragmatis

Begawan hukum Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum mempunyai paradigma, yaitu suatu perspektif dasar. Paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan untuk melihat hukum sebagai institusi yang mengekspresikan paradigma tersebut.

Kita tidak dapat mengabaikan pembicaraan mengenai paradigma tersebut tanpa mengalami gangguan dalam pemahaman kita mengenai hukum. Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami hukum lebih baik daripada jika kita tidak mengetahuinya (Satjipto Raharjo, 2010).

Benarkah dalam kondisi darurat di tengah terjangan wabah Covid-19 ini pemerintah masih berpikir pragmatis tentang pertumbuhan ekonomi ketimbang aspek moral kemanusiaan penyelamatan nyawa?

Dengan kata lain, kenapa peraturan presiden tentang penerapan PSBB yang dikeluarkan, bukan karantina wilayah yang diambil, sepertinya sangat berkaitan erat dengan pemahaman pragmatisme efisiensi ekonomis yang melatarbelakanginya.

Menurut Fuller sebagaimana dikutip Prof. Satjipto, hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali apabila bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut sebagai hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan. Yakni, pertama, kegagalan mengeluarkan aturan.

Kedua, kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling bertentangan. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain. Ketiga, kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktek penerapannya. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Bila kita kaitkan dengan berbagai persoalan (hukum) yang mengemuka sejak awal mula wabah Covid-19 ini melanda Indonesia, tampaknya teori tersebut menemukan realitas empirisnya. Terkait kegagalan pertama, negara dinilai telah gagal untuk mengeluarkan aturan hukum dengan cepat menyikapi wabah. Wacana antara lockdown, karantina wilayah, sampai akhirnya PSBB yang diterapkan sedikit banyaknya telah menguras energi dan banyak membuang waktu, sementara penyebaran wabah terlihat demikian cepatnya.

Kegagalan kedua tergambar dari munculnya beberapa aturan dan kebijakan yang saling bertentangan. Dalam kasus penanganan Covid-19 ini pun terjadi antara lain bedanya Permenkes tentang PSBB dengan Permenhub. Yang satu melarang ojek online membawa penumpang, tetapi satunya lagi membolehkan ojek online bawa penumpang (orang).

Belum lagi beda sikap antara pemda dengan pemerintah. Terkait karantina wilayah misalnya, sejak awal sebelumnya keluarnya Perpres tentang PSBB, Gubernur DKI Anies Baswedan telah mengajukan permohonan agar Jakarta disetujui untuk menerapkan karantina wilayah. Tetapi kemudian pemerintah tidak memberikan persetujuan.

Kontradiksi lain adalah setelah diterapkannya PSBB di Jakarta dan hampir semua daerah penyangga, para kepala daerah sepakat meminta agar operasional kereta comutter line dihentikan selama PSBB diterapkan. Hal ini dirasa penting untuk menekan laju mobilitas warga daerah penyangga ke Jakarta atau sebaliknya agar penyebaran virus dari dan ke wilayah DKI Jakarta dapat dikurangi, kalaupun tidak bisa dihentikan. Namun ternyata usulan tersebut ditolak pemerintah.

Kegagalan ketiga tercermin dari tidak sinkronnya aturan yang dikeluarkan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Terkait larangan masuknya orang bahkan warga negara Indonesia sendiri pun yang jadi tenaga kerja di luar negeri atau bagi mereka yang kuliah di negara lain diminta untuk tidak kembali dulu ke Indonesia. Namun faktanya ada ada tenaga kerja asing yang tetap diizinkan masuk.

Rendahnya Kepatuhan

Namun memang kegagalan berhukum selama wabah corona ini sepertinya tidak hanya didominasi oleh pemerintah beserta aparaturnya. Warga masyarakat banyak juga yang gagal berhukum dan tidak patuh melaksanakan aturan yang telah dikeluarkan.

Sebagai contoh penyebaran berita hoaks selama terjadinya wabah ini juga menjadi salah satu gambaran yang memprihatinkan yang pada akhirnya ikut memperkeruh dan menghabiskan energi aparat ketimbang berkonsentrasi membantu penanganan wabah.

Belum lagi rendahnya kepatuhan warga untuk mematuhi anjuran untuk tetap diam di rumah, bekerja dan beribadah di rumah, jaga jarak dan senantiasa menggunakan masker bila terpaksa harus keluar rumah. Bahkan di beberapa daerah yang sebenarnya tergolong pandemi masih banyak yang masih menggelar Salat Jumat dan salat lima waktu berjamaah di mesjid dengan argumentasi yang seakan sulit dibantah, takut virus atau takut kepada Tuhan?

Akibatnya banyak korban yang berjatuhan terpapar virus berawal dari aktivitas keagamaan seperti ini. Seperti yang terjadi di sebuah mesjid di Jakarta Barat yang ratusan jemaahnya terpaksa diisolasi di mesjid sebelum dikirim ke rumah sakit setelah diketahui beberapa orang di antara mereka positif virus corona.

Bahkan di sebuah mesjid di Bogor ditemukan seorang jemaah meninggal dunia saat mengikuti Salat Jumat. Memang belum pasti korban karena virus corona. Tetapi sekali lagi ini gambaran betapa masyarakat menganggap remeh dan menyepelekan anjuran untuk sementara tidak beribadah di rumah ibadah secara bersama-sama.

Kita berharap gambaran minus berhukum di tengah wabah corona ini dapat kembali menguatkan pemahaman kita akan pentingnya berhukum secara benar. Apalagi dalam menghadapi bencana wabah penyakit global semacam ini.

Dengan kesadaran hukum bersama pemerintah, pemda, serta warga masyarakat diharapkan dapat menyatukan energi yang kita miliki sehingga semakin kuat dalam berperang menghadapi virus ini.

Zenwen Pador advokat, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads