Belum pernah saya menangisi kepergian seorang pesohor sesedih saya menangisi Mas Didi Kempot hari ini. Dia bukan hanya idola. Bukan hanya tokoh hebat yang dipuja-puja. Bukan hanya superstar yang berdiri megah jauh di panggung sana.
Dia seorang teman. Dia mendatangi kita satu per satu, merangkul pundak-pundak kita, lalu mengajak kita menikmati kepedihan bersama-sama. Bahkan, sesekali menertawakannya.
Kepedihan karena cinta yang bertepuk sebelah. Kepedihan karena dikhianati diam-diam dari balik tengkuk kita. Kepedihan karena diberi janji tanpa pernah ditepati. Semua itu semesta cerita kepedihan paling purba dari para sudra asmara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, sepedih apa pun, seorang maestro seagung Didi Kempot mampu menyulap tangis dan luka, menjadi festival yang dirayakan seriuh pesta-pesta. Tak gintang gintaaang! Tak gintang gintaaang! Tak gintang gintaaang! Slolololo! Joss!
Saya belum pernah berjumpa muka dengannya. Namun saya melihat wajahnya ada di mana-mana. Bukan hanya di Pelabuhan Tanjung Mas, di Pantai Parangtritis, atau di Terminal Tirtonadi. Sebab ada juga wajahnya di wajah pengamen dalam bus Sedya Utama dan Langsung Jaya. Di wajah kondektur kereta api Pramex. Di wajah pengasong arem-arem yang mangkal di emperan Stasiun Lempuyangan Jogja.
Saya belum pernah sungguh-sungguh mengucurkan air mata bersamanya. Tapi saya melihat kepedihan yang "sangat Didi Kempot" ada di mana-mana. Di pipi seorang tukang tambal ban. Di pelupuk mata seorang pedagang angkringan. Di pelipis seorang pemuda pengangguran, yang setia nongkrong di ujung kampung dari malam hingga kembali malam.
Bahkan, belakangan kepedihan itu dinyanyikan dalam mars yang rancak di wajah-wajah dari sisi dunia lainnya. Di wajah seorang pemuda metropolitan yang tak pernah berpeluh karena hidupnya berpindah dari ruangan ber-AC satu ke ruangan ber-AC lainnya. Di wajah seorang gadis ABG yang rutin tersentuh skin care, sampai kadar kemulusannya mengalahkan hasil karya front camera HP China.
Mereka semua merayakan tangis bersamamu, Mas Didi. Jika dan hanya jika ditemani seorang Didi Kempot, sekarang ini segala jenis manusia bisa bergembira dalam air mata bersama-sama.
Dan, inilah yang namanya kemanusiaan. Sejatinya kemanusiaan.
Banyak orang menyaksikan Didi Kempot mengakhiri sejarahnya dengan sebuah aksi kemanusiaan. Tentu saja karena ia menggelar konser amal, yang berhasil menggerakkan umat fanatiknya untuk membantu para korban wabah dengan mengumpulkan uang bermiliar-miliar.
Tentu saja itu benar. Namun, mempersempit kemanusiaan Didi Kempot sekadar dengan aksi penggalangan dana adalah reduksi yang agak keterlaluan. Sebab, seorang Didi Kempot memang pejuang kemanusiaan di sepanjang jejak perjalanannya.
Kita telah lama lupa bahwa kemanusiaan adalah segenap hal tentang menjadi manusia. Kemanusiaan adalah segenap ikhtiar agar kita kembali menjadi manusia. Dan selain dengan kasih sayang dan bela rasa, kemanusiaan yang utuh juga hadir ketika ada tawa, ada tangis, ada luka.
Ke situlah Mas Didi Kempot membawa kita, menggandeng kita, memulihkan ingatan kita bahwa kita adalah sebenar-benarnya manusia.
Maka, menjadikan barisan orang-orang kalah bisa terus bergoyang dalam kekalahan mereka, bisa terus bersenandung dalam kehancurleburan semangat mereka, adalah aksi kemanusiaan yang senyata-nyatanya.
Lihat, di saat negara kerap kali ngos-ngosan tak cukup mampu mengantarkan kebahagiaan kepada rakyatnya dari lapis paling bawah dan lapis paling kalah, Didi Kempot justru tak pernah absen memberikannya.
Didi Kempot telah menyajikan kegembiraan untuk semua, teristimewa untuk para jelata. Ia bersinar terang benderang lagi setelah redup sekian lama. Ia memungkasinya dengan aksi konkret berbagi kebahagiaan bersama umat fanatiknya, untuk mereka yang tengah roboh terhantam petaka.
Lalu ia menyudahi semuanya, dengan berkemas pergi pada sebuah pagi di bulan yang suci.
Orang satu ini tampaknya memang baik sekali. Baik sekali. Saya melihat jejak kebaikan itu ada di mana-mana. Dari cerita-cerita yang selalu manis tentang tindakan-tindakannya. Hingga dari wajah gembira Arda, bocah tunanetra bersuara empuk yang dia pungut dalam sebuah hajatan pesta, lalu ia fasilitasi penuh untuk rekaman dengan lagu-lagunya.
Husnul khatimah, Mas Didi. Husnul khatimah. Sepertinya memang harus sekarang ini njenengan menutup semuanya, di saat kepadamu jutaan orang sedang sayang-sayangnya....
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)