Semarak dan gempita Ramadhan tahun ini tidak akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Corona mengharuskan kita melakukan pembatasan sosial (social distancing). Umat muslim pun wajib melaksanakan ibadah Ramadhan di rumah. Salat wajib, Tarawih, tadarus al Quran, dan beragam kegiatan lain yang biasanya kita lakukan di masjid atau musala kini harus dilakukan di rumah.
Perubahan cara dalam menjalani ibadah itu tentunya tidak mengubah esensi dan substansi Ramadhan. Ada atau tidak virus Corona, Ramadhan tetaplah bulan suci yang dinantikan umat Islam. Di dalamnya dijanjikan rahmat dan ampunan bagi umat Islam yang mampu menahan hawa nafsunya. Maka, pandemi Corona ini sepatutnya tidak menyurutkan ghirah kita menjalani Ramadhan, meski tetap menjalani pembatasan sosial dan tinggal di rumah.
Di era kecanggihan teknologi dan informasi seperti sekarang, menjalani Ramadhan di rumah sebenarnya bukan sesuatu yang sulit. Kita barangkali tidak bisa berjamaah salat wajib, Tarawih, dan melakukan tadarus, juga iktikaf di masjid. Namun, setidaknya kita masih bisa mengikuti kajian keagamaan yang tersedia di berbagai kanal media sosial. Kita tinggal menyeleksi kajian yang bermanfaat dan disampaikan oleh sosok yang otoritatif di bidang keilmuan Islam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat yang sama, kita mungkin tidak bisa menikmati tradisi buka bersama dengan kawan atau rekan kerja. Namun, kita justru bisa menikmati buka puasa dan sahur setiap hari bersama keluarga tercinta. Jika direnungkan lebih dalam, menjalani Ramadhan di tengah aturan pembatasan sosial barangkali justru menjadikan kita memahami hakikat puasa itu sendiri.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan: Maka puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan mengganjar pahalanya. Kalimat itu menyiratkan pesan bahwa puasa ialah ibadah yang idealnya dilakukan dalam kerahasiaan. Seseorang berpuasa tidak untuk mengesankan atau membuktikan apa pun kepada sesama manusia. Sebaliknya, manusia berpuasa semata karena beriman dan menuruti perintah Tuhan.
Merenungkan Kembali
Tidak hanya itu, jika kita merenungkan kembali ihwal ibadah Tarawih, maka hakikatnya secara fikih sebenarnya dilaksanakan di rumah. Dalam sebuah kajian, Syaikh Ahmad as Raisuni yang merupakan Ketua Ittihadul 'Alami li 'Ulamail Muslimin menjelaskan bahwa menegakkan salat malam Ramadhan secara berjamaah di masjid adalah sunah Khulafaurrasyidin. Sedangkan menjalankannya di rumah kita sendiri ialah sunah Rasulullah.
Maka, ketika kita menjalankan Salat Tarawih di rumah sendiri, pada dasarnya kita tengah menjalankan sunah yang jauh lebih mulia. Di luar argumen fikih yang tentu bisa diperdebatkan itu, bulan suci Ramadhan hendaknya menjadi ajang untuk menempa jiwa dan pikiran kita. Di luar Ramadhan, barangkali kita kerap berpikir dan bertindak berorientasi hanya pada capaian dunia yang artifisial dan harfiah.
Kita kerap memandang kehidupan hanya melalui pencapaian finansial, karier, jabatan dan sejenisnya. Alhasil, akal dan pikiran kita menjadi tumpul lantaran egoisme, bahkan aroganisme telah menguasai alam bawah sadar kita. Puncaknya, kita kehilangan the sense of humanity atau cita rasa kemanusiaan.
Rutinitas dan gaya hidup modern acap menjauhkan kita dari nilai kemanusiaan. Ditambah lagi dengan fenomena media sosial kerap membuat kita kehilangan sensitivitas membedakan benar dan salah atau fakta dan opini. Semua fakta maupun rekayasa yang bercampur baur itu membuat kita kerap terjebak pada fatamorgana kehidupan.
Jika dibiarkan berlarut, kehidupan kita akan menuju apa yang disebut filosof Friedrich Nietzsche sebagai fase kehidupan nihilistik. Yakni kondisi kehidupan yang nyaris tidak menyisakan makna kecuali hanya berisi penderitaan dan kegelisahan. Sebagai umat beriman, kita tentu tidak ingin kehidupan kita berakhir dengan kehampaan dan penderitaan.
Jalan agama yang kita tempuh saat ini salah satunya bertujuan memberikan makna pada kehidupan. Namun, makna kehidupan itu mustahil kita raih jika jiwa dan pikiran kita keruh oleh berbagai macam hal, mulai dari prasangka, kecurigaan, atau bahkan hoaks dan provokasi. Semua itu ibarat makanan berlemak jahat yang saban hari kita kudap. Sedikit demi sedikit dan lama kelamaan tanpa terasa timbunan lemak itu akan mengganggu kesehatan tubuh kita, bahkan bisa menjadi perenggut nyawa kita.
Porsi yang Sama
Ramadhan ialah momen tepat untuk kita membersihkan hati dan pikiran kita dari kerak-kerak kotor yang disisakan oleh gaya hidup dan cara berpikir pragmatis. Residu yang menutupi hati dan pikiran kita itulah yang mematikan nurani dan rasa kemanusiaan kita. Maka, tiga puluh hari dalam bulan Ramadhan idealnya kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk melakukan tarbiyah ruhani. Yakni aktivitas membina atau menggembleng sisi ruhaniyah kira agar mampu menjalani hidup dengan tenang, tenteram, dan bermakna.
Kehidupan modern menghadirkan tantangan yang tidak ringan. Dalam banyak hal, tantangan modernisme tidak akan cukup dihadapi dengan mengandalkan rasionalitas tanpa melibatkan spiritualitas. Maka, kesehatan ruhani tidak kalah penting ketimbang kesehatan jasmani. Sayangnya, manusia acap hanya berfokus pada kesehatan jasmani; rajin olahraga, makan makanan sehat, dan sebagainya.
Hal itu tentu tidak salah. Namun, kesehatan ruhani juga perlu diberikan porsi yang sama dengan kesehatan jasmani. Jiwa kita perlu asupan berkualitas. Dalam konteks inilah, aktivitas ibadah Ramadhan yang dilakukan di tengah keheningan dan keikhlasan akan menjadi asupan penting bagi jiwa dan pikiran.
Rangkaian ibadah Ramadhan merupakan sarana untuk melakukan tarbiyah ruhani. Ibadah mahdhah seperti puasa dan salat wajib akan mempertebal keimanan kita. Salat memiliki dimensi vertikal dan ruhaniyah yang kuat. Sedangkan puasa memiliki dimensi vertikal-ruhaniyah sekaligus horisontal-jasmaniyah dalam satu paket.
Puasa juga memiliki dimensi sosial yang mengajarkan manusia bersimpati dan berempati pada penderitaan kaum miskin. Sedangkan ibadah sunah seperti Tarawih, tadarus al Quran, maupun sedekah akan merontokkan residu kotor yang menempel di dinding ruhani kita.
Ibadah Ramadhan yang kita lakukan di rumah sendiri jauh dari riuhnya dunia dan penuh keheningan ini idealnya mampu mendorong kita melakukan muhasabah. Yakni aktivitas merefleksikan dan menimbang kembali segala hal yang telah kita lakukan selama ini. Kita patut bertanya, apakah semua amal dan ibadah yang kita kerjakan selama ini diniatkan semata untuk Allah, atau ada motif lainnya?
Masa pembatasan sosial yang bertepatan dengan bulan Ramadhan ini kiranya bisa menjadi etape baru bagi perjalanan spiritual kita. Jadi, mari kita nikmati Ramadhan di masa pandemi ini dengan berasyik-masyuk dengan Tuhan.
Ramadhan boleh jadi sepi dan hening di luar sana, namun harus tetap semarak di hati kita. Jangan sampai pandemi dan pembatasan sosial meredupkan gelora dan ghirah peribadatan kita. Makanlah seperlunya dan yang sehat-sehat saja. Perbanyaklah beribadah dan berpikir positif. Jauhkan diri dari informasi yang provokatif, apalagi hoaks. Niscaya, Ramadhan tahun ini akan berdampak pada kesehatan fisik, ketenangan jiwa, dan kebersihan ruhani.
Sivana Khamdi Syukria alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)