Tak Patut Jadi Anggota Masyarakat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Tak Patut Jadi Anggota Masyarakat

Senin, 04 Mei 2020 10:11 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kang hasan
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Berbagai stasiun TV memberitakan banyaknya orang yang masih berusaha mudik, meski sudah dilarang. Dikabarkan bahwa polisi sudah menghentikan lebih dari 4000 kendaraan, dan menyuruh pengemudinya kembali ke Jabodetabek. Berbagai cara dilakukan orang-orang untuk lolos dari pemeriksaan polisi. Ada yang sampai bersembunyi dalam kontainer pengangkut barang.

Sementara itu ajakan untuk tidak berkumpul masih saja terus dilanggar. Sejak masih berupa imbauan sampai pada aturan yang ada sanksinya, sikap sebagian anggota masyarakat masih sama, bandel dan membangkang. Sudah dianjurkan untuk tidak salat berjamaah, anjuran disampaikan dengan dukungan dalil-dalil sahih dari para ulama, tapi yang membangkang juga tetap banyak.

Orang-orang seperti itu sebenarnya tak patut jadi anggota masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan orang yang terkelola oleh sejumlah aturan. Kumpulan orang yang tak punya aturan tak bisa disebut masyarakat. Artinya, orang-orang yang tak mau dan tak bisa mengikuti aturan tak layak menjadi anggota masyarakat.

Mengapa perlu ada aturan? Aturan ada untuk mencegah kekacauan. Kalau ada orang hidup sendiri di sebuah pulau, ia tak memerlukan aturan. Begitu ada lebih dari satu orang di situ, mungkin akan terjadi benturan kepentingan. Agar hal itu tak terjadi, maka dibuatlah aturan.

Contoh sederhana bisa saya berikan. Di kampung tempat saya tinggal di masa anak-anak dulu kami punya jalan yang lebar. Pengguna jalan sebagian besar pejalan kaki. Jumlahnya pun sangat sedikit. Kalau kita hitung jumlah orang yang lewat di suatu titik sepanjang hari mungkin tak lebih dari 50 orang. Pemilik kendaraan, yaitu sepeda, di seluruh kampung tak lebih dari 10 orang. Sepanjang hari jalan lengang. Tak pernah ada orang bertabrakan di situ.

Dalam situasi itu kami tak punya aturan soal penggunaan jalan, karena tidak perlu. Situasinya tentu berbeda dengan jalan di kota yang ramai. Kalau tidak ditetapkan orang harus bergerak di sisi kanan atau kiri, dalam sekejap akan terjadi tabrakan. Kalau tidak diatur di mana kendaraan boleh berhenti, akan terjadi kemacetan. Kalau tak diatur soal batas kecepatan, akan banyak orang mati karena kecelakaan.

Ilustrasi itu secara sederhana menjelaskan kenapa ada aturan. Dalam soal situasi yang kita hadapi sekarang pun alasannya jelas. Kita sedang menghadapi wabah penyakit akibat virus Covid-19. Virus ini sangat gampang menular. Sudah ada tiga juta lebih orang tertular. Tidak hanya itu, virus ini berbahaya. Di Amerika Serikat sekarang sudah lebih dari satu juta orang tertular, dan lebih dari dua ribu orang mati setiap hari. Bila tidak diatur, kita bisa jadi akan mengalami hal yang sama.

Maukah kita menyaksikan sanak saudara dan teman kita mati setiap hari? Tentu tidak. Situasi kita memang tak seburuk itu. Tapi juga tak bisa disebut bagus. Saat ini sudah sebelas ribu orang yang positif tertular. Angka kematian sudah 800 lebih. Makin banyak orang tertular, akan makin cepat pertumbuhannya. Makin banyak orang tertular, makin banyak orang mati. Ini harus disadari semua orang.

Kita ini tak istimewa. Kalau virus ini bisa menginfeksi satu juta orang di Amerika, tidak ada keistimewaan yang kita miliki yang membuat hal itu tak terjadi di sini. Satu-satunya hal yang bisa membendung laju pertumbuhannya adalah dengan menjaga jarak. Juga menjaga pergerakan manusia. Menjaga jarak untuk mencegah penularan. Menjaga pergerakan manusia tujuannya untuk melolalisasi penularan agar lebih mudah ditangani.

Aturan dibuat untuk kebaikan bersama. Aturan lalu lintas dibuat agar tidak terjadi kecelakaan. Aturan larangan berkumpul dan bepergian dibuat agar kita tak tertular penyakit. Sama-sama untuk menyelamatkan kita.

Situasinya memang tak nyaman. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Banyak orang yang makan saja susah. Tapi apakah membangkang akan membuat situasi lebih baik? Tidak. Membangkang justru akan membuat situasi ini jadi lebih meluas dan berkepanjangan. Sama seperti aturan lalu lintas, kalau dilanggar akan mencelakakan. Aturan ini pun begitu.

Ini sebenarnya soal sederhana. Orang tak sekolah pun sebenarnya bisa memahaminya. Yang terjadi sebenarnya bukan tak paham, tapi tak mau patuh. Sikap tak mau patuh ini ada di segenap lapisan masyarakat, tak peduli tingkat pendidikan maupun status sosial yang disandangnya.

Dalam keseharian kita biasa melihat orang melanggar aturan lalu lintas. Mulai dari tukang becak yang tak pernah sekolah, tukang ojek yang hanya tamat SMP, sampai ke pejabat negara yang titelnya berjejer. Kaya miskin tak berpengaruh. Yang berpengaruh cuma satu, kemauan untuk tunduk atau tidak.

Para pelanggar aturan ini selalu menganggap diri mereka boleh dikecualikan dari aturan. Para pejabat tinggi mengira aturan itu hanya berlaku untuk yang bukan pejabat. Rakyat jelata menganggap bahwa kalau rakyat jelata melanggar itu wajar. Yang parah, para aparat penegak aturan seperti polisi pun melanggar. Orang beragama menganggap melanggar aturan bukan masalah, karena yang dilanggar bukan aturan buatan Tuhan.

Yang kita saksikan pada situasi pandemi Covid-19 ini memang bukan hal istimewa. Ini hanyalah refleksi dari keseharian kita. Dalam keseharian memang banyak orang yang tak patuh. Dengan kata lain, dalam keseharian memang ada banyak orang yang sebenarnya tak patut untuk menjadi anggota masyarakat.

Bila ada sebuah perkumpulan, yang untuk masuk ke situ orang harus memenuhi sejumlah syarat, maka yang tak memenuhi syarat itu tak akan jadi anggota. Sialnya, dalam hal masyarakat, orang-orang otomatis menjadi anggota. Kita ketiban sial, harus menjadi satu bangsa, satu provinsi, satu kota, atau bahkan satu RT dengan mereka. Itu ibarat kita berada satu kapal dengan orang yang suka melubangi lambung kapal.

Tidak ada jalan lain, orang-orang ini harus diberi tindakan keras. Undang-undang sudah menetapkan bahwa yang melanggar aturan darurat kesehatan dapat dikenai sanksi pidana. Yang membangkang, jebloskan saja ke dalam tahanan. Dua-tiga hari di situ mungkin cukup untuk memberi mereka pelajaran. Hukuman itu mungkin akan cukup pula untuk membuat orang lain mengurungkan niatnya untuk melanggar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads