Di tengah kondisi pandemi, hampir semua institusi pendidikan mengubah metode pembelajaran. Umumnya dari metode konvensional menjadi pembelajaran secara daring. Harasim (1989) dan Talebain et al (2014) menyatakan bahwa kelas tradisional bergantung pada waktu dan tempat, sementara kelas daring menghadirkan lingkungan alternatif yang memungkinkan pelajarnya melakukan kontrol terhadap waktu, kecepatan, tempat, dan interaksi dengan pengajarnya serta peserta lainnya.
Dengan kata lain, metode daring membuat pengawasan belajar sepenuhnya ada pada pelajar sendiri. Kontrol dari pengajar menjadi berkurang. Bukan karena kehadiran pengajar yang tidak berwujud seperti di sekolah atau kampus, namun karena daya nalar belajar setiap murid yang berbeda.
Tidak semua murid mempunyai kemampuan literasi yang mencukupi dalam menelaah suatu cerita. Ada yang lebih mudah menangkap petunjuk yang diberikan secara verbal, bisa jadi ini karena cara belajar mereka yang cenderung auditori alias tipe belajar yang efektif dengan mendengar daripada melihat (visual) atau gerakan (kinestetik).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengacu dari tipe belajar yang berbeda, kita perlu mengingat kembali kecerdasan majemuk yang mengafirmasi gagasan bahwa perbedaan individu itu penting. Terdapat sembilan kecerdasan menurut Gardner (2011), yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika atau matematis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan spiritual.
Dengan demikian, anak cerdas tidak hanya dimaknai karena mendapat nilai sempurna dalam mata pelajaran tertentu. Pemahaman bahwa setiap anak punya kecenderungan pada tipe kecerdasan tertentu menjadi hal yang mendasar bagi dimulainya metode belajar daring yang mulai banyak diterapkan di Indonesia. Terlepas dari kondisi pandemi sekarang, perubahan dalam metode belajar adalah keniscayaan. Tidak hanya guru dan murid, para orangtua pun juga menjadi objek dari perubahan ini.
Mau Membedakan
Pengajar yang ideal bukan yang bisa mengubah anak bodoh menjadi pintar, melainkan yang mau membedakan proses belajar mengajar siswa berdasarkan kesiapan, minat, dan gaya belajar para siswa. Selain karena tidak ada anak yang terlahir bodoh, pengajar juga diharapkan tidak melihat murid dari sudut pandang seragam.
Banyak orangtua berpersepsi bahwa anak yang cerdas adalah yang mendapatkan nilai yang tinggi dalam pelajaran di sekolah terutama mata pelajaran matematika (Chatib, 2014). Menyoal fakta ini, para orangtua dan tentunya pengajar menjadi pihak penting dalam menggugurkan persepsi "bias" tersebut.
Teknik diferensiasi bisa menjadi salah satu solusi dalam proses belajar daring. Diferensiasi menghindari bentuk penyeragaman pada murid. Pengajar dituntut bisa memodifikasi strategi mengajarnya pada konten, proses, dan produk. Diferensiasi di kelas daring lebih diperlukan, mengingat kondisi siswa dalam menerima proses pembelajar tidak bisa diprediksi.
Ada yang secara teratur diawasi oleh orangtua, ada yang lebih nyaman belajar tanpa pengawasan orangtua, ada yang tempat tinggalnya punya koneksi internet yang kurang stabil, ada hambatan-hambatan lainnya. Dengan demikian, diferensiasi berpotensi memberikan lingkungan belajar yang fleksibel di mana semua siswa dapat berkembang dengan kecepatannya sendiri.
Sebenarnya, secara implisit regulasi pendidikan dan kurikulum sudah memberi sinyal yang membebaskan sekolah dan pengajar melakukan teknik diferensiasi. Namun warisan pengajaran yang berorientasi pada guru masih mengakar dalam menuntut pelajar untuk tumbuh dalam keseragaman standar yang memprihatinkan.
Akan Selalu Berkembang
Terlepas dari metode daring akan bertahan atau tidak setelah pandemi, metode belajar normal yang baru akan selalu berkembang. Dan, tidak hanya melibatkan pelajar dan pengajar, orangtua akan selalu mengambil peran besar dalam perubahan ini. Orangtua, sebagai pendamping di rumah, diharapkan juga beradaptasi dalam proses perubahan secara "tiba-tiba" maupun berkala.
Demi tercapainya tujuan pembelajaran pun, komunikasi yang dibangun antara orangtua dan pengajar tidak lagi instruktif, melainkan bersifat koordinatif. Orangtua diharapkan percaya pada pilihan setiap institusi pendidikan dalam memberikan metode pembelajaran untuk sang murid. Bisa jadi sekolah A lebih nyaman menggunakan kelas daring berbasis video, bisa jadi kampus B lebih cocok menggunakan podcast.
Semua institusi pendidikan punya pertimbangan sendiri dalam memilih bentuk pembelajarannya. Para pengajar pun diharapkan mampu memberikan metode belajar di rumah yang secara teknis, tidak harus selalu melibatkan orangtua, mengingat tanggung jawab pekerjaan yang juga diemban. Dan yang pasti, pengajar juga diharapkan terus belajar mencari format metode daring terbaik yang mudah dicerna oleh pelajar.
Perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah normal. Ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia terus berubah. Jadi, terdengar masuk akal bila kita dituntut untuk terus belajar.
Dinda Lisna Amilia mengajar di Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Surabaya
(mmu/mmu)