Aktivitas belajar dengan sistem dalam jaringan (daring) sudah lebih dari sebulan dijalani para siswa sekolah. Terkhusus di Nusa Tenggara Barat (NTB), sejak 16 Maret 2020 pemerintah daerah beserta dinas pendidikan telah melayangkan beberapa surat edaran terkait hal tersebut. Bicara tentang kegiatan belajar daring, telah banyak media massa yang mengabarkan keefektifan sistem ini, meski tidak sedikit pula tersiar berita sebaliknya.
Pada 17 April lalu, Harian Suara NTB mengabarkan dua kondisi berbeda terhadap aktivitas belajar daring. Pertama, berita bertajuk Pembelajaran Sistem Daring Diakui Efektif; keefektifan yang dirasakan oleh Kepala SMKN 2 Mataram, Hudri Achmad tampaknya mewakili opini sebagian guru yang mengajar di sekolah negeri. Beberapa teman saya yang sekolahnya berlokasi di tengah kota berpendapat serupa. Mereka merasa tenang lahir dan batin karena dibolehkan diam di rumah sambil tetap mengajar --dan tentu saja tetap digaji.
Mendapati hal tersebut, tak perlulah kita kagum sebab akses primer untuk pendidikan telah tersedia di Kota Mataram. Lain halnya dengan di kabupaten, yang tampak jelas pada berita kedua, Kelas Daring di Lotim Tak Bisa Maksimal. Dalam berita tertulis bahwa ketidakmaksimalan disebabkan oleh minimnya jaringan internet sehingga sulit diakses oleh para siswa maupun guru. Meski demikian, melalui berita ini pun kita diberitahukan adanya upaya-upaya yang dilakukan. Salah satunya adalah mengajak para siswa untuk menonton program-program edukasi yang tersiar di stasiun TVRI dari rumah masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berangkat dari dua sari berita di atas, perbedaan situasi tersebut membuat masyarakat mudah bersimpati. Tidak hanya itu, ternyata keduanya, secara tersirat, menampakkan ketimpangan finansial antar orangtua/wali siswa. Mereka mesti sadar bahwa di masa pandemi ini, isi dompet dan isi otak yang dimiliki sangatlah nyata terlihat oleh anak-anak.
Hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab. Dimulai dari kegiatan belajar daring yang membutuhkan akses internet stabil. Seluruh kegiatan belajar dilakukan "di atas awan" --mulai dari mengunduh dan mengunggah tugas sampai bertatap muka virtual dengan guru. Apakah aktvitas ini berjalan mulus? Rupanya tidak.
Saya mengutip cerita seorang teman yang mengajar di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) negeri di pinggir Kota Mataram. "Pernah saya kasih tugas via Google Forms, eh yang kerjain cuma 15 orang dari 55 siswa," ungkapnya. Ternyata, tidak sedikit siswa-siswa sekolah negeri yang berangkat dari keluarga kelas menengah (bahkan bawah). Absennya mereka dalam pengerjaan tugas sekolah bukanlah karena rasa malas, melainkan ketiadaan gawai.
Tidak semua siswa memiliki gawai, baik telepon pintar ataupun laptop, apalagi terhubung dengan internet. Lain lagi dengan yang gagap teknologi, baik guru maupun siswa. Gawai dan akses internet sudah tersedia, tapi pengguna belum memahami tata cara penggunaan sistem daring sesuai kebutuhan; bukti bahwa evolusi sosial jauh tertinggal dari evolusi sains.
Bagi siswa-siswa yang hidup dengan privilese --punya gawai atau laptop yang bisa terhubung dengan internet-- mungkin tidak akan merasa kesulitan. Pun, lonjakan anggaran untuk paket data bukanlah masalah berarti. Tetapi, perlu ditekankan bahwa privilese tidak hanya berupa materi (bersifat finansial), tapi juga kecerdasan. Anak yang tumbuh di lingkungan suportif terhadap pendidikan, dan dari gen pemikir, akan lebih mudah juga menjalani aktivitas virtual tersebut. Mereka memiliki kesadaran untuk mengamalkan peribahasa "banyak jalan menuju Roma" atau "tak ada rotan, akar pun jadi".
Di sini, kemampuan orangtua dalam memenuhi kebutuhan anak tidak hanya dilihat dari materiil, tapi juga moril. Di tengah pandemi, keuangan keluarga mesti diatur ulang sesuai prioritas. Jika esensi dari belajar adalah mencari tahu apa yang belum diketahui, serta mengolah informasi menjadi ilmu pengetahuan, maka idealnya koneksi internet bukanlah halangan.
Sayangnya, pandangan bahwa aktivitas belajar anak adalah tanggung jawab sekolah masih melekat di benak orangtua, baik dari kalangan ekonomi atas, menengah, maupun bawah. Padahal pada hari-hari biasa (di luar pandemi), anak-anak hanya menghabiskan tujuh sampai delapan jam di sekolah; dibandingkan dengan full day school pun tetap saja waktu anak di luar sekolah lebih banyak. Dengan demikian, tanggung jawab orangtua untuk mendidik anak mestilah tidak dilepaskan begitu saja ke pundak guru-guru di sekolah.
Bila dilihat dari sudut pandang positif, mestinya pandemi menjadi momen orangtua untuk lebih mengenal cara belajar anak. Atau, ini bisa jadi kesempatan bagi orangtua untuk belajar dari anak; ikut mempelajari hal-hal terbaru sesuai kurikulum di sekolah. Bukankah belajar tidak mengenal usia? Toh, tidak perlu malu mengakui ketidaktahuan di depan anak. Justru nilai kejujuran yang dilihat anak dari orangtuanya akan menjadi teladan berharga dalam keluarga.
Sayangnya lagi, laporan (atau omelan?) yang kerap diterima para guru dari para wali siswa menunjukkan bahwa hal-hal di atas terasa utopis. Banyak wali siswa yang mengeluhkan sikap-sikap sang anak di rumah --ini banyak dialami oleh teman-teman saya yang mengajar di sekolah dasar. Para wali panik melihat anak-anak yang tidak mau mengerjakan tugas, tidak mau ikut pertemuan tatap muka daring, lebih sibuk membaca komik, asyik main di halaman mengamati belalang, dan lain sebagainya.
Padahal, dukungan moril berupa investasi waktu dapat diterapkan! Para orangtua atau wali siswa, yang tidak sedang sibuk, dapat duduk bersama sang anak dan bertanya seputar kegiatan mereka. Begitu banyak studi tentang keberhasilan pendidikan karena lingkungan yang sportif. Salah satu cara membangun lingkungan keluarga sportif adalah dengan menginvestasikan waktu bersama. Terbaca mudah, tapi nyatanya sulit. Jika mudah, maka laporan-laporan di atas tidak akan ada.
Pada dasarnya, kesadaran orangtua untuk memberi dukungan moril kepada anak tidak mengenal kelas sosial; walaupun kadarnya tidak akan sama. Orangtua yang mesti tetap bekerja di tengah pandemi tentu memiliki sedikit waktu untuk menemani anaknya. Oleh karenanya, memiliki waktu dan berkesempatan menemani anak belajar adalah sebuah privilese bagi orangtua.
Sekali lagi, perlu kita sadari bersama bahwa belajar bukanlah sekadar duduk hadir di sekolah. Percayalah, anak-anak lebih merindukan aktivitas bermain bersama teman-temannya ketimbang seabrek materi pelajaran di kelas. Pun, merindukan tatap muka langsung dengan guru-guru yang menginspirasi mereka. Akan sangat menarik bila usai pandemi ini, anak-anak kembali masuk sekolah dengan berbagai macam pengetahuan baru yang dipelajarinya di rumah bersama orangtua; karena belajar bisa dari apa saja, siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Ilda Karwayu guru Bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI)