Pandemi, Komunikasi Risiko, dan Kepercayaan Publik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi, Komunikasi Risiko, dan Kepercayaan Publik

Kamis, 30 Apr 2020 14:00 WIB
Puspita85
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -
Tidak ada negara yang benar-benar siap dengan pandemi kali ini. Padahal hampir semua negara terhitung memiliki waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak yang ditimbulkan. Rata-rata negara di dunia memiliki waktu dua minggu hingga dua bulan hingga kemunculan kasus pertama di negara masing-masing.

Kasus infeksi di luar China pertama kali dilaporkan oleh Thailand pada 13 Januari 2020, dua minggu setelah China melaporkan kasus pertamanya ke WHO. Amerika Serikat (AS) sudah diperingatkan sejak awal Januari, namun memilih untuk mengabaikan peringatan tersebut. Sedangkan Indonesia sendiri punya rentang waktu dua bulan lebih hingga kasus infeksi pertama diumumkan oleh Presiden Jokowi. Ini adalah waktu kritikal yang seharusnya diisi dengan beragam bentuk antisipasi.

Semua negara memberi perhatian lebih, tetapi tidak cukup untuk membuat mereka dinilai masyarakat melakukan tindakan antisipasi yang konkret. Penilaian cepat atau lambatnya antisipasi tergantung dari perbedaan persepsi pemerintah maupun publik terhadap skala risiko yang sedang mengintai. Contoh, Presiden AS Donald Trump di awal wabah menganggap flu biasa lebih berbahaya daripada virus corona.

Sama halnya dengan yang diutarakan oleh Menteri Kesehatan Indonesia dr. Terawan. Meskipun secara ilmiah pernyataan itu didukung oleh sebagian ilmuwan, dalam konteks antisipasi bencana, akibat yang ditimbulkan karena keyakinan itu amat fatal. Pesannya sama, tak ada yang perlu dikhawatirkan, virus ini akan hilang dengan sendirinya dan semua akan terkendali. Hampir semua jajaran di pemerintahan pusat menyampaikan pesan yang sama.

Meskipun di balik itu pemerintah sebenarnya menginginkan rakyatnya bersikap tenang, di mata rakyat, pemerintah terkesan lebih mengkhawatirkan kerusakan ekonomi yang mulai membayangi. Presiden Bolsonaro dari Brasil bahkan lebih ekstrem lagi. Dia turun ke jalan-jalan meminta warganya untuk tidak melakukan lockdown karena kekhawatiran akan ambruknya ekonomi.

Disadari kemudian bahwa pandemi ini ternyata bukan semata krisis kesehatan lalu berhenti sampai di situ saja, melainkan krisis kesehatan global yang mampu menggoyang hebat kekuatan ekonomi negara masing-masing. Sebuah perisitiwa yang dampak negatif terhadap ekonominya diramalkan melebihi krisis moneter 1998.

Pandemi Covid-19 yang oleh banyak ahli dianggap sebagai titik balik aspek globalisasi, sistem sosial dan lingkungan, ekonomi, kultur dan kebiasaan, menempatkan pemimpin negara seluruh dunia dalam sebuah tes, ujian kepemimpinan. Virus corona telah menunjukkan, apa sebenarnya yang paling penting bagi seorang pemimpin. Dan sikap meremehkan serta penyangkalan yang dilakukan sudah meminta banyak korban dan biaya yang sangat tinggi.

AS telah menuai akibatnya. Kematian warga negara AS akibat pandemi ini telah melampaui Italia dan menjadi episentrum baru. Meraih kepercayaan publik akan kompetensi pemerintah menanggulangi pandemi ini menjadi pekerjaan yang berkali lipat lebih berat. Para pemimpin negara sekarang bergantung dengan tepatnya komunikasi risiko yang dijalankan berikutnya. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.

Setiap pemerintahan negara melakukan komunikasi publik kepada rakyatnya untuk mendiseminasi informasi dan implementasi kebijakan dan program. Dalam situasi bencana, komunikasi publik itu dilakukan melalui bentuk yang berbeda dan lebih spesifik, yaitu komunikasi risiko (risk communication).

Komunikasi risiko adalah bagian dari mitigasi bencana, termasuk juga dalam pandemi Covid-19 yang pada saat tulisan ini disusun telah menginfeksi 185 negara. Dikutip dari laman WHO, komunikasi risiko merujuk pada pertukaran informasi, saran atau pertimbangan, dan opini secara real-time di antara para ahli dan masyarakat yang sedang menghadapi ancaman kesehatan, ekonomi maupun kesejahteraan sosial. Tujuan utamanya memampukan orang yang terpapar risiko mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diperlukan untuk melindungi dirinya dan orang lain, mengubah keyakinan dan/atau perilaku.

Perlu diapresiasi bahwa pelan tapi pasti pemerintah sudah berusaha mencapai tujuan itu. Melalui update regulernya setiap sore hari, juru bicara pemerintah untuk penanganan wabah corona Achmad Yurianto memberikan keterangannya. Konferensi pers tersebut sesekali diselipkan dengan keterangan dari tokoh masyarakat, menteri, atau pihak berwenang lain untuk memberikan informasi mengenai upaya apa saja yang dilakukan pemerintah atau untuk mengajak masyarakat untuk mematuhi imbauan pemerintah. Presiden Jokowi pun muncul dalam berbagai kesempatan untuk menjelaskan maupun membantah tuduhan-tuduhan dan informasi yang simpang siur.

Selanjutnya apakah tujuan tersebut telah dipecah lagi dalam target yang terukur? Inilah yang dapat menjadi panduan bagi pemerintah dalam mengevaluasi keberhasilan komunikasi risiko. Setiap target dapat disesuaikan kembali pada tiap periode waktu tertentu sesuai hasil pemonitoran dan evaluasi. Kegagalan memonitor dapat menciptakan perasaan telah mencapai keberhasilan, yang sebenarnya semu belaka, serta membuang waktu dan sumber daya berharga.

Pada masa serba tidak pasti ini, mematangkan rencana komunikasi risiko yang efektif adalah sebuah tantangan. Kita tidak menginginkan setiap imbauan, instruksi, atau kebijakan terkait penanganan wabah tidak diindahkan masyarakat. Apalagi jika kemudian sikap dan perilaku masyarakat justru kontraproduktif dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah. Lihat saja bagaimana pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Lalu lintas masih ramai, kerumunan orang masih terlihat di pasar maupun terminal. Padahal, tak sedikit masyarakat yang sebelumnya menginginkan implementasi karantina wilayah atau istilah populernya lockdown.

Hanya mungkin yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat adalah baik PSBB maupun lockdown memiliki konsekuensi bahwa aturan tertentu akan ditegakkan. Mengingat sifat bencana yang risiko tertingginya adalah jatuhnya korban jiwa, maka kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah sangat krusial. Dengan catatan, kebijakan tersebut adalah kebijakan yang dinilai paling tepat untuk diambil. Sayangnya, di situlah letak tantangannya. Masyarakat semakin "kritis" dan memiliki banyak pilihan sumber informasi melalui berbagai platform, termasuk teknologi digital, sehingga mereka dapat membentuk opini sendiri terhadap kebijakan tersebut.

Pergeseran


Komunikasi risiko dahulu dipandang hanya sebagai diseminasi informasi kepada publik mengenai risiko kesehatan dan terjadinya suatu peristiwa krisis kesehatan. Sekarang, komunikasi risiko harus lebih responsif terhadap perkembangan di lapangan, bersifat dua arah, serta lebih berorientasi pada solusi. Gaya Gamhewage, Kepala Departemen Support for Response in the Infectious Hazard Management WHO menyebut ada tiga pergeseran besar yang mempengaruhi perubahan di bidang komunikasi risiko.

Pertama, para pakar dan pihak berwenang kurang dipercaya. Masyarakat yang marah, kecewa, khawatir, cenderung tidak mempercayai pembawa pesan informasi. Karena itu, kepercayaan terhadap pemerintah dan pakar sebagai sumber informasi harus terus dibangun dari waktu ke waktu. Contoh paling mudah tentang adanya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah adalah banyaknya rakyat Indonesia menyalahkan pemerintah atas keterlambatan respons terhadap wabah. Juga adanya kesangsian terhadap data jumlah kasus yang disampaikan pemerintah dari hari ke hari, sehingga banyak yang menuntut transparansi data.

Belum lagi kebijakan pemerintah yang dianggap aneh seperti pembebasan narapidana oleh Kemenkumham dengan dalih kemanusiaan. Lalu keluarnya kebijakan pemerintah yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kontradiksi antara Peraturan Menteri Perhubungan dengan Peraturan Menteri Kesehatan yang menimbulkan kebingungan masyarakat mengenai boleh tidaknya ojol membawa penumpang saat PSBB.

Tapi ketidakpercayaan ini tidak hanya datang dari masyarakat ke pemerintah atau pakar. Pemerintah pun dapat menunjukkan adanya rasa tidak percaya kepada pakar, begitu pula sebaliknya. Mungkin sebagian dari kita sudah membaca, bahwa banyak ahli yang menyatakan bahwa virus corona tipe baru ini bukan hasil modifikasi manusia, melainkan berasal dari alam. Tetapi spekulasi tentang dari mana virus ini berasal masih terus berkembang. Bahkan AS tetap ingin menginvestigasi langsung ke Wuhan Institute of Virology, laboratorium virus yang dicurigai sebagai asal virus ini.

Masih segar dalam ingatan kita saat Profesor Marc Lipsitch dari Harvard terkaget-kaget karena Menteri Terawan bersikap defensif atas hasil prediksinya tentang adanya kasus positif yang tidak terdeteksi di Indonesia. Kita mungkin juga bisa mengambil pelajaran dari perseteruan antara pemerintah dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, yang mengklaim telah beberapa kali memperingatkan pemerintah akan wabah ini. Kehebohan baru lainnya yang di luar nalar adalah ketika para ahli dibuat melongo oleh Presiden Trump karena mengusulkan agar pasien Covid-19 mengonsumsi cairan disinfektan untuk membunuh virus dalam tubuh mereka.

Perselisihan-perselisihan antara pemerintah dan pakar tadi sama sekali tidak perlu dan tidak layak dipertontonkan. Komunikasi dan kerja samalah yang mestinya ditingkatkan di antara mereka.

Pergeseran kedua, publik tidak lagi hanya mencari saran kesehatan langsung ke ahli medis, dokter atau sumber lain yang kredibel. Mereka beralih ke internet, media daring dan jejaring sosial. Laporan Global Web Index menyebut, 71% generasi milenial, 69% generasi X, 67% generasi Z, dan 54% Boomers mencari update berita virus corona secara online. Sayangnya, seperti yang sudah lumrah dipahami, tidak ada yang bisa menjamin kredibilitas dan reliabilitas sumber informasi tersebut. Menyandarkan sepenuhnya filter informasi pada masing-masing individu jelas tidak mungkin mengingat tingkat literasi informasi masyarakat yang rendah.

Trio dis-informasi, mis-informasi, dan mal-informasi pada saat pandemi hanya akan menimbulkan kebingungan, ketidakpastian, kepanikan bahkan terpicunya pengambilan tindakan yang keliru di masyarakat. Itu di level individu. Bukan tidak mungkin keresahan itu akan terekskalasi lebih besar pada level berikutnya. Lagi pula siapa yang mampu memvalidasi semua informasi yang beredar di masyarakat dalam waktu supersingkat sebelum informasi tersebut menimbulkan dampak?

Belum lagi jika kita memperhitungkan fakta bahwa sifat kebaruan virus ini membuat sebagian besar informasi baru tentang penyakit ini lekas menjadi obsolet ketimbang menjadi kebenaran absolut.

Yang terakhir, cara media bekerja sudah berubah karena tuntutan jurnalisme "24 jam" sehingga mengurangi kualitas dan kedalaman berita, meningkatnya jurnalisme warga, serta munculnya opini-opini versus sumber-sumber rujukan dari peristiwa lalu yang sumbernya terverifikasi. Menurunnya ketergantungan terhadap pakar di bidang medis diikuti dengan meningkatnya ketergantungan pada pendapat dari jaringan yang publik percayai.

Masyarakat harus mewaspadai munculnya pseudo-scientist, pakar palsu yang menyebarkan hasil analisisnya dengan sangat meyakinkan, namun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang tergiring opini yang bisa jadi sangat membahayakan. Ditambah kehadiran para influencer yang dengan secuil informasi bisa mempengaruhi keyakinan fansnya. Dengan adanya logo sebuah instansi pemerintah pada vlog YouTube saja sudah bisa membuat penonton berpikir bahwa konten dalam video tersebut dapat dipercaya.

Yang pasti, ketersediaan dan aksesibilitas yang tinggi terhadap informasi dapat membuat siapapun yang terpapar, tiba-tiba merasa telah menjadi yang paling paham tentang pandemi ini. Membuat mereka berani mengeluarkan pendapat dan menyebabkan perdebatan.

Kepercayaan


Semua perubahan dalam bidang komunikasi risiko yang didorong oleh ketersediaan dan aksesibilitas teknologi digital tadi turut mempengaruhi tingkat kepercayaan publik dalam penanggulangan pandemi. Dihimpun dari berbagai survei, lebih dari 80% warga China dan hampir 65% warga Korea Selatan menyatakan kepercayaan mereka kepada pemerintahnya dalam menjaga kesehatan masyarakat dalam pandemi ini. Sementara Italia hanya meraih angka 52%, dan AS hanya 44%.

Sementara itu, dalam survei terhadap 135 ribu orang baru-baru ini, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat tingginya sentimen negatif responden terhadap pemerintah Indonesia (66,28%). Padahal, kepercayaan publik kepada pemerintahan adalah elemen penting, mata uang transaksi bagi suksesnya komunikasi risiko. Maka memelihara kepercayaan terhadap pemerintah adalah mutlak dalam komunikasi kedaruratan. Absennya tindakan membangun kepercayaan dengan segera akan berakibat gagalnya penanggulangan krisis.

Kini komunikasi risiko tidak bisa lagi dipandang sempit hanya sebagai diseminasi informasi tentang sebuah krisis kesehatan, tetapi juga meliputi seluruh kebijakan pemerintah yang dikeluarkan untuk sektor-sektor yang terdampak karena krisis tersebut. Mengkomunikasikan sebuah risiko kepada orang yang memiliki kepedulian terhadap suatu isu di waktu yang normal termasuk mudah, meskipun strategi komunikasinya bukan yang terbaik.

Sebaliknya, berkomunikasi di tengah keadaan bahaya, dalam waktu yang sempit, dengan audiens yang berada di bawah tekanan, dan alat komunikasi yang benar-benar harus terseleksi dengan baik, dengan data dan informasi yang masih harus terus diverifikasi dan tingkat kepercayaan yang rendah adalah pekerjaan yang menguras perhatian dan sumber daya. Inilah upaya yang perlu diperkuat lagi oleh pemerintah. Oleh karena itu, pandemi ini adalah kesempatan bagus untuk menulis catatan kunci dalam mempersiapkan diri menghadapi krisis-krisis berikutnya.

Lia Puspitasari alumnus UGM dan University of Tsukuba, Jepang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads