Pandemi dan Penurunan Kesehatan Mental
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pandemi dan Penurunan Kesehatan Mental

Kamis, 30 Apr 2020 12:30 WIB
Rifan Eka Putra Nasution
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hoaks virus corona: Google blokir 18 juta email setiap hari
Foto ilustrasi: BBC World
Jakarta -

Kepanikan dan ketakutan memunculkan hal buruk pada setiap orang. Perasaan takut terinfeksi virus corona merupakan hal wajar pada masa pandemi ini. Namun, perasaan tersebut wajib dikalahkan oleh masyarakat. Setiap orang harus memunculkan semangat gotong-royong dan kewaspadaan, alih-alih merasa ketakutan.

Terdapat perbedaan besar antara kepanikan dan kewaspadaan. Pada kewaspadaan terdapat tanggung jawab, penghormatan terhadap besarnya masalah, dan kesadaran yang tenang tentang apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi atau menghadapi masalah tersebut.

Setiap orang mungkin tahu tentang virus corona, bagaimana penyebarannya, apa gejalanya, dan langkah apa yang harus dilakukan untuk memperkecil penyebarannya. Tapi, tingkat pengetahuan setiap orang tidaklah sama. Begitu pula dengan sikap dan tanggung jawabnya. Pada masa ini, ada sebagian kecil masyarakat yang malah menjadi penyebar ketakutan.

Mereka menyebarkan informasi hoaks atau informasi salah seputar Covid-19. Informasi yang salah ini akan memunculkan ketakutan yang lebih besar pada setiap orang. Terutama bagi mereka yang menerima begitu saja informasi tanpa menyaring atau mengklarifikasi setiap informasi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia terdapat lebih dari 400 hoaks seputar Covid-19 yang beredar di Indonesia pada hingga Maret 2020. Jumlah ini sangat besar, beredar serta menyebar lebih cepat dibandingkan penyebaran wabah ini.

"We're not just fighting an epidemic; we're fighting an infodemic," ujar Direktur Umum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sambutannya pada kegiatan Munich Security Conference, (15/2/)

ADVERTISEMENT

Kita tidak hanya sedang berperang melawan Covid-19, tapi juga berperang melawan banyaknya informasi yang salah atau hoaks seputar kondisi Covid-19 (infodemik).

Setiap hari lebih dari 60 juta percakapan terjadi pada Whatsapp dan Facebook. Mayoritas percakapan tersebut merupakan opini pengguna dan pasti terdapat informasi yang salah. Sinan A, peneliti dari Massachusetts Institute of Technology pada Journal Science menyatakan bahwa informasi yang benar butuh waktu 6 kali lebih lama untuk dilihat 1500 orang dibandingkan dengan informasi salah atau hoaks. Sudah pasti informasi salah lebih cepat menyebar.

Covid-19 ini memang pandemi virus yang menakutkan karena penyebarannya yang begitu cepat dan mematikan. Tapi, pada masa depan, masyarakat dunia akan kembali dihadapkan pada wabah yang sulit dinilai dengan angka-angka statistik kesehatan. Dampak ini muncul karena ketakutan yang berasal dari informasi salah seputar Covid-19.

Perasaan takut yang muncul karena wabah dapat mengganggu kesehatan mental setiap orang. Reardon S (2015) pada Jurnal Nature menyatakan bahwa jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental jauh lebih besar dari pada orang yang terkena infeksi pada masa wabah. Covid-19 dapat menjadi trauma atau tragedi masa lalu di kemudian hari. Kondisi ini dapat menyebabkan dampak yang besar terkait kesehatan mental masyarakat.

Gangguan mental ini bahkan sudah muncul di kalangan masyarakat. Pelaku perjalanan adalah orang yang baru saja pulang dari wilayah dengan riwayat penularan lokal virus corona. Mereka ini sering kali mendapatkan diskriminasi dengan warga masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka dianggap sebagai orang pembawa virus.

Demikian pula dengan jenazah pasien dalam pemantauan (PDP). Banyak warga masyarakat yang menolak jenazah PDP dimakamkan pada pemakaman umum di sekitar tempat tinggal mereka. Cerita lainnya juga muncul dari tenaga medis. Beberapa tenaga medis yang merawat pasien positif Covid-19 ditolak untuk kembali kediaman mereka oleh masyarakat.

Ketiga cerita atau gambaran di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya gangguan mental telah terjadi pada masyarakat. WHO menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi kesejahteraan yang disadari oleh seorang di mana mampu untuk mengelola stres, bekerja secara produktif, dan berperan dalam komunitasnya.

Masyarakat yang mencap pelaku perjalanan sebagai seorang pembawa virus, menolak jenazah PDP untuk dimakamkan di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, dan masyarakat yang menolak tenaga medis untuk kembali ke kediaman mereka setelah merawat pasien positif terinfeksi virus corona pada dasarnya telah mengalami penurunan kesehatan mental karena tidak dapat lagi mampu mengelola rasa takut atau stres terhadap COVID-19 ini dan tidak mampu berperan pada komunitasnya.

Rasa takut terjangkit kondisi Covid-19 secara berlebihan telah membuat masyarakat menjadi orang yang tidak dapat mengelola stres atau tekanan karena informasi seputar wabah ini pada diri mereka. Langkah terbaik untuk mengatasinya adalah membatasi diri untuk menerima informasi seputar Covid-19.

Saring dan pastikan informasi yang diterima benar sebelum dibagikan ke orang lain. Kelola stres dengan teknik sederhana termasuk meluangkan waktu untuk meditasi atau beribadah dengan khusyuk. Gotong-royong membantu sesama terutama pasien dalam pengawasan atau pasien Covid-19 yang merawat diri mereka di rumah juga dapat menurunkan tingkat stres dan mengembalikan kesehatan mental. Tetap jaga jarak, jangan berkumpul, dan semoga wabah ini segera berakhir.

Rifan Eka Putra Nasution dokter umum di UPTD Puskesmas Sukarame, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads